Kamis, 01 Maret 2012

IMPLEMENTASI AKAD IJARAH DALAM LEMBAGA PERBANKAN SYARI'AH


IMPLEMENTASI AKAD IJARAH (SEWA-MENYEWA)
DALAM LEMBAGA PERBANKAN SYARI’AH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Transaksi Dalam Ekonomi Islam

Dosen pengampu : Drs. Fajar, MM.







Disusun Oleh:
Hengky Firmanda. S (109 130 22)
Ahmad Darsuki (109 130 19)



Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
 
IMPLEMENTASI AKAD IJARAH (SEWA-MENYEWA)
DALAM LEMBAGA PERBANKAN SYARI’AH[1]

A.  PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer dan sekunder dan lain-lain. Namun, tidak semua masyarakat bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat maka muncullah beberapa jasa pembiayaan yang ditawarkan diantaranya oleh lembaga perbankan syari’ah.
Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam dunia perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut berfungsi sebagai perantara pihak-pihak yang kekurangan dana (lacks of funds) dengan pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds).[2] Dengan demikian, lembaga perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank, melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Bank yang terdapat di Indonesia sekarang ini tidak hanya yang beroperasi berdasarkan prinsip konvensional saja. Prinsip bank berdasarkan syari’ah merupakan salah satu bentuk jasa perbankan, yang baru mendapatkan pengakuan secara formil yuridis setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Sehingga bank berdasarkan prinsip Islam ini mempunyai fungsi yang sama seperti bank konvensional yang telah ada yaitu sebagai lembaga perantara pihak-pihak yang kekurangan dana dengan pihak-pihak yang kelebihan dana (intermediary financial institution). Hanya saja yang membedakan adalah dalam cara pengoperasiannya, dimana bank syari’ah tidak mengenal sistem bunga dan menggunakan sistem bagi hasil bagi para nasabahnya.[3]
Konsep dari sistem ekonomi syari’ah adalah, meletakkan nilai-nilai islam sebagai konsep dasar dan landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin.[4] Lembaga perbankan dalam syariah islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bi hi fa huwa wajib” yang berarti sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah termasuk melakukan kegiatan ekonomi adalah wajib adanya,oleh karena pada saat ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.[5]
Salah satu jasa perbankan syari’ah yang ditawarkan adalah jasa pembiayaan Ijarah, pembiayaan ijarah ini mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep kredit pada bank konvensional, pembiayaan Ijarah juga dikatakan sebagai pendorong bagi sektor usaha karena pembiayaan Ijarah mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan jenis pembiayaan syari’ah lainnya. keistimewaan tersebut adalah bahwa untuk memulai kegiatan usahanya, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu, melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah, sehingga pengusaha tidak dibebankan dengan kewajiban menyerahkan jaminan, maka dapat dikatakan bahwa pembiayaan Ijarah lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya seperti Mudharabah dan Musyarakah.
Pembiayaan ijarah dengan akad sewa-menyewa pada bank syari’ah merupakan akad yang sangat fleksibel, sedangkan dalam penerapannya sangat meringankan dan memberi kemudahan bagi para nasabahnya. Nasabah yang memerlukan suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, tetapi tidak harus memiliki barang tersebut secara permanen atau membutuhkan barang tetapi tidak dapat membelinya maka dapat menggunakan akad ijarah muntahiya bit tammlik (IMBT). Akad IMBT ialah akad yang memperjanjikan antara penyewa dan pemilik sewa terhadap suatu barang namun pada masa akhir sewa maka terjadi perpindahan kepemilikan objek sewa.
Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan akad ijarah dalam bisnis perbankan, maka perlu sekiranya untuk mengetahui tentang mekanisme terkait hal tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian[6], guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja perbankan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun dalam malakah ini dapat mengambil sebuah judul “Implementasi Akad Ijarah (Sewa-Menyewa) Dalam Lembaga Perbankan Syari’ah.
b.   Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka penyusun dapat merumuskan sebuah masalah, yaitu:
1.    Bagaimana implementasi akad Ijarah (sewa-menyewa) dalam lembaga perbankan syari’ah?
B.  PEMBAHASAN
a.    Pengertian
Secara etimologi ijarah disebut juga al-ajru (upah) atau al-‘iwadh (ganti). Atau ijarah disebut juga upah, sewa, jasa, atau imbalan. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, dan lain-lain.[7] Terkait dengan itu, di sini ada beberapa definisi  ijarah yang dikemukakan ulama fikih, yaitu Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan, “transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”. Dan Ulama Syafi’i mendefinisikannya dengan, “transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”. Sedangkan Ulama Maliki dan Hanbali mendefinisikannya dengan “pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.[8] Berdasarkan definisi di atas, maka ijarah adalah sebagai akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa dan akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat.
Selain itu, Sayyid Sabiq juga mendefinisikan ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Manfaat yang dimaksud adalah berguna, yaitu barang yang mempunyai banyak manfaat dan selama menggunakan barang tersebut tidak mengalami perubahan atau musnah: Defenisi lain menyebutkan bahwa ijarah adalah pemilikan manfaat dari suatu yang halal dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ganti rugi. Yang pada dasarnya ijarah adalah penjualan manfaat.[9] Dengan demikian, ijarah merupakan transaksi yang sifatnya saling menolong antar sesama yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Sunnah.
b.   Landasan Syari’ah Ijarah
Ijarah merupakan suatu jenis akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja maka disebut upah mengupah. Pada ijarah tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.
Konsep ijarah mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khatthab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Sebagai solusi dari hal itu, maka Khalifah Umar mengambil langkah yaitu membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Adapun yang menjadi landasan syariah dalam ijarah ialah, pertama, yang terdapat dalam Al-Quran Surat al-Zukhruf ayat 32 yang artinya “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. Kedua, dapat dilihat dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya sebagai berikut “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. Ketiga, dilihat dalam Al-Quran Surat al-Qashash ayat 26 yang artinya “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Berdasarkan sunnahnya maka terdapat beberapa landasan yaitu pertama, berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majjah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. Kedua, hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW mengemukakan yang artinya “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. Ketiga, Hadis riwayat Abd. Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”. Keempat, Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak”. Kelima, Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
c.    Jenis Akad Ijarah
Dilihat dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi  menjadi dua, yaitu:
1.    Ijarah manfaat (Al-Ijarah ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa jasa, yaitu memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayarkan disebut ujrah.[10] Misalnya, sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini mu’jir mempunyai benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan imbalan tertentu dari musta’jir dan musta’jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.[11]
2.    Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional.[12] Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan upah (ujrah) atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta’jir dan musta’jir mendapatkan tenaga atau jasa dari mu’jir.[13] Misalnya, yang mengikat bersifat pribadi adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat serikat, yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak. (Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu.[14]
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sedangkan ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah. Selain dua jenis pembagian di atas, dalam akad ijarah juga ada yang dikenal dengan namanya akad al-ijarah muntahiya bit  tamlik (sewa beli), yaitu transaksi sewa beli dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa.[15] Dalam akad ini musta’jir sama-sama dapat mempergunakan obyek sewa untuk selamanya. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut ada dalam akad yang dilakukan di awal perjanjian. Karena akad ini sejenis perpaduan antara akad jual beli dan akad sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan penyewa atas barang yang disewa melalui akad yang dilaksanakan kedua belah pihak.[16]
d.   Rukun dan Syarat Sahnya Akad Ijarah
Secara hukum, agar ijarah (sewa-menyewa) memiliki kekuatan hukum maka harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun ijarah meliputi (1) dari adanya para pihak sebagai konsekuensi adanya subyek hukum yaitu penyewa dan pemberi sewa, (2) adanya objek yang disewakan yaitu baik berupa benda yang memberikan manfaat atau jasa yang diberikan, (3) harus ada ijab dan qabul dari para pihak sebagai konsekuensi pelafazan.
Adapun syarat sahnya akad ijarah harus memenuhi syarat-syarat[17] berikut (1) Mukjir dan mustakjir harus tamyiz, berakal sehat dan tidak ditaruh dibawah pengampuan, (2) Mukjir adalah pemilik sah dari objek sewa, (3) Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa, (4) Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan, (5) Objek sewa dapat digunakan sesuai dengan peruntukan atau mempunyai nilai manfaat, (6) Objek sewa dapat diserahkan, (7) Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan oleh agama, dan (8) harus ada kejelasan mengenai berapa lama suatu objek ijarah itu akan disewakan dan harus jelas harga sewa atas objek tersebut.
Setelah terpenuhinya rukun dan syarat dari akad ijarah tersebut, maka akad tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum. Jika telah memiliki kekuatan hukum, maka konsekuensi yuridisnya perjanjian tersebut harus dilaksanakan dan ditaati dengan itikad baik oleh pemberi sewa dan penyewa.
e.    Implementasi Akad Ijarah
Akad-akad yang dipergunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam operasinya merupakan akad-akad yang tidak menimbulkan kontroversi yang disepakati oleh sebagian besar ulama dan sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diterapkan dalam produk dan instrumen keuangan syari’ah. Akad-akad tersebut meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional, dan jasa investasi.[18] Terkait dengan itu, disini penyusun hanya menjelaskan praktek pembiayaan ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik dalam lembaga perbankan syari’ah.
1. Ijarah  
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Jadi dalam akad ijarah yang dibuat oleh nasabah dan pihak perbankan syariah tidak ada unsur transfer of tittle, yang ada hanyalah kesepakatan untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Penjelasan Pasal 19 huruf f, akad ijarah merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Pada PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan ijarah sebagai transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Tertanggal 17 Maret 2008 Bank Indonesia mengeluarkan surat edaran No. 10/14/DPBS yang mengatakan bahwa dalam memberikan pembiayaan ijarah, Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi langkah berikut ini, (a) Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak penguasaan atas objek  sewa baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan objek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan, (b) Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewanya, (c) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah, (d) Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas dasar ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha, keuangan dan/atau prospek usaha, (e) Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya, (f) Bank sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas objek sewa serta ketepatan waktu penyediaan objek sewa sesuai kesepakatan, (g) Bank wajib menyediakan dan untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah, (h) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar ijarah, (i) Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus, (j) Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang, (k) Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan objek sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan objek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana uraian pemeliharaan yang bersifat material dan structural harus dituangkan dalam akad, dan (l) Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan objek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian nasabah.
Berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank Syari’ah, tahapan pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut[19], (a) adanya permintaan untuk menyewakan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa oleh nasabah, (d) Bank syari’ah menyewa barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar sewa di muka secara penuh, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa, (h) Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, barang diserahterimakan kembali dari nasabah ke bank syari’ah, yang selanjutnya akan diserahterimakan ke pemilik barang.
Dari proses ijarah tersebut di atas, perlu dicermati bahwa ada beberapa bank yang menggunakan uang muka dalam  transaksi ijarah. Hal itu dikarenakan agar bank memperoleh jaminan bahwa nasabah (penyewa) benar-benar akan menyewa objek sewa tersebut.
Selain Bank Syari’ah sebagai pemberi sewa, di beberapa bank terdapat juga posisi bank sebagai wakil atau menggunakan wakalah. Bank syari’ah mewakilkan pemilik barang (objek sewa) kepada nasabah (penyewa).
2. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Di atas telah disebutkan bahwa produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan sewa yang diakhiri dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit tamlik.[20] Ijarah muntahia bit tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas (walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa ijarah.
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan.
Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17 Maret 2008 yaitu, (a) Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai pemberi janji (wa`ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan, (b) Bank hanya dapat memberikan janji (wa`ad) untuk mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa secara prinsip dimiliki oleh bank, (c) Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam bentuk tertulis, (d) Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa, dan (e) Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar akad IMBT.
Sedangkan berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank syari’ah, tahapan pelaksanaan IMBT adalah sebagai berikut[21], (a) Adanya permintaan untuk menyewa beli barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah, (b) Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa beli  barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa beli oleh nasabah, (d) Bank syari’ah membeli barang tersebut dari pemilik barang, (e) Bank syari’ah membayar tunai barang tersebut, (f) Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa beli, (h) Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran, (i) Barang diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode, dilakukan jual beli antara bank syari’ah dan nasabah.
Perlu diperhatikan bahwa dalam praktek di beberapa bank, komitmen untuk membeli barang pada akhir periode atau dengan menggunakan IMBT yang dituang dalam wa`ad, cenderung bersifat keharusan atau wajib bagi nasabah.
C.  KESIMPULAN
Implementasi akad ijarah (sewa-menyewa) dalam lembaga perbankan syari’ah yang terbagi menjadi ijarah murni dan ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS tertanggal 17 Maret 2008 yang merupakan ketentuan pelaksana dari PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Selain itu, Implementasi terkait ijarah terdapat dalam SOP yang disampaikan oleh Bank Syari’ah.
Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah, padahal dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah kepada nasabah, akad ini perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini banyak memberikan keuntungan baik pada bank syari’ah atau pun nasabah. Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah membutuhkan barang modal dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih mudah menggunakan sistem ijarah atau ijarah muntahiya bit tamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat perputaran uang dan memajukan sistem investasi yang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid, 2009, Fiqh Muamalah Dan Imlementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, Logung Pustaka.
Amin Suma, Muhammad, 2002, Ekonomi Syariah Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis.
Anshori, Abdul Ghofur, 2010, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Ascarya, 2011, Akad & Produk Bank Syari’ah, Jakarta, Rajawali Pers.
Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta, UII Press.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, 2001, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Djumhana, Muhammad, 2003, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Karim, Adiwarman, 2006, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
 Nazir, Habib dan Hasanuddin, Muhammad, 2008, Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syari’ah, Bandung, Kafa Publishing.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Widjanarto, 1997, Sekali Lagi: Soal kehati-hatian (Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan masalah Kredit Bermasalah), Jakarta, Infoarta Pratama.



[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah transaksi dalam ekonomi Islam di PPs MSI-UII Yogyakarta pada tanggal 06 Agustus 2011.
[2] Muhammad Djumhana, “Hukum Perbankan Di Indonesia”, Cet. Ke-4, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003), hlm. xi. 
[3] Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Tentang Perbankan, hlm. 5. 
[4] Muhammad Amin Suma, “Ekonomi Syariah Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional”, Jurnal Hukum Bisnis, Agustus 2002. 
[5] Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 14-15. 
[6] Widjanarto, “Sekali Lagi : Soal kehati-hatian (Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan masalah Kredit Bermasalah)”, (Jakarta: Infoarta Pratama, 1997), hlm. 14. 
[7] Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin, “Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syari’ah”, cet ke-2, (Bandung: Kafa Publishing, 2008), hlm. 279.
[8] Abdul Aziz Dahlan, dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, cet ke-5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 660.
[9] Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin, “Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syari’ah”, hlm. 279.
[10] Ascarya, “Akad & Produk Bank Syari’ah”, cet ke-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 99.
[11] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 187-188.
[12] Ascarya, “Akad & Produk Bank Syari’ah”, hlm. 99.
[13] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, hlm. 188.
[14] Abdul Aziz Dahlan, dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm. 662-663.
[15] Ibid, hlm. 100.
[16] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, hlm. 188.
[17] Ahmad Azhar Basyir, “Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam)”, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 27.  
[18] Ascarya, “Akad & Produk Bank Syari’ah”, hlm. 209.
[19] Ibid.
[20] Abdul Ghofur Anshori, “Hukum Perjanjian Islam di Indonesia”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 79.
[21] Ascarya, “Akad & Produk Bank Syari’ah”, hlm. 209.

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN WAKAF SECARA PRODUKTIF


OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN WAKAF SECARA PRODUKTIF
Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah

Dosen Pengampu: Dr. Drs. H. Dadan Muttaqin, S.H., M.Hum.



Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)





Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
 
OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN WAKAF SECARA PRODUKTIF[1]

A.  PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang
Wakaf telah di Syari’atkan dan telah dipraktikan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di Negara Indonesia. Karenanya perwakafan merupakan salah satu masalah yang penting dalam rangka hubungan antara hukum Islam dengan hukum Nasional. Dikatakan penting karena wakaf adalah suatu amalan-amalan kegiatan keagamaan baik dibidang keagrariaan maupun bidang sarana fisik yang dapat digunakan sebagai pengembangan kehidupan keagamaan khususnya umat islam dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat baik spiritual maupun materiil menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Wakaf memainkan peran ekonomi dan sosial yang sangat penting dalam sejarah Islam, wakaf berfungsi sebagai sumber pembiayaan bagi masjid-masjid, sekolah-sekolah, pengkajian dan penelitian, rumah-rumah sakit, pelayanan sosial dan pertahanan.[2] Sedangkan di Indonesia perwakafan sudah ada sejak lama, yaitu sebelum Indonesia merdeka, karena di Indonesia dulu pernah berdiri kerajaan- kerajaan islam. Wakaf dalam kaitannya dengan masalah sosial ekonomi, wakaf harus dikelola secara produktif sehingga dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat.
Dengan demikian, perlu kiranya kita mengkaji, menganalisis dan menerapkan strategi pengelolaan dalam rangka pengembangan wakaf secara berkesinambungan agar harta wakaf berguna dalam pemberdayakan ekonomi umat. Namun untuk melakukan optimalisasi fungsi wakaf dan pengembangannya disini perlu berpedoman pada aspek-aspek hukum mengenai wakaf sebagaimana dipraktikkan dalam sejarah Islam.[3] Oleh karana itu, kita perlu lebih memikirkan dan mengoptimalkan cara mengelola wakaf yang ada supaya dapat mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi wakif maupun mauquf ‘alaih (masyarakat). Dengan demikian, maka dalam konteks ini pengelolaan wakaf harus menggunakan pendekatan bisnis dan manajemen.
Terkait dengan persoalan wakaf, disini pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf karena selama ini tradisi masyarakat Indonesia khususnya dipedalaman dalam pengelolaan wakaf masih cenderung bersifat konsumtif dan pengelolaan secara produktif yang diharapkan oleh pemerintah belum maksimal. Selain itu juga persepsi masyarakat dalam memahami wakaf masih terikat dan tersekat dengan pemahaman lama yang hampir mendominasi pemikiran masyarakat Muslim Indonesia.
Dengan demikian, lahirnya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang telah disebutkan di atas adalah bagian dari semangat memperbaharui dan memperluas cakupan objek wakaf dan pengelolaannya agar mendatangkan manfaat yang maksimal untuk kesejahteraan umum dengan harapan bisa membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan yang ada di masyaraka. Akan tetapi, kalau kita melihat kenyataan di masyarakat apa yang diharapkan oleh pemerintah tersebut sampai saat ini masih jauh dari kenyataan yang ada di masyarakat. Selama ini tanah wakaf yang diberdayakan secara produktif hanya berpusat di perkotaan, sedangkan tanah wakaf yang ada di daerah masih kurang diberdayakan secara produktif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan dan pengeloaan wakaf secara produktif masih kurang maksimal. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka sebenarnya apa yang menjadi faktor penghambat pemberdayaan dan pengelolaan wakaf secara produktif dan bagaimana pengembagan benda wakaf secara produktif masih perlu dikaji. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis merasa tertarik untuk mengkaji mengenai Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan analisis kualitatif.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, melihat luasnya pembahasan mengenai Wakaf Produktif, maka penulis akan menfokuskan kajian hanya pada Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif. Oleh karena itu, penulis dapat merumuskan dua pokok masalah sebagai berikut:
1.    Apa yang menjadi faktor penghambat pemberdayaan dan pengelolaan wakaf secara produktif.
2.    Bagaimana pengembagan benda wakaf secara produktif?
B.  PEMBAHASAN
Untuk menjawab masalah yang ada pada rumusan masalah di atas, maka penulis dalam pembahasan ini menyajikan beberapa poin penting terkait hal tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.    Pengertian Wakaf Produktif
Kata “wakaf” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab al-waqf, yang berarti menahan atau menghentikan. Kata lain yang sering digunakan sinonim dengan wakaf adalah al-hubus (jamaknya al-ahbas), yang berarti sesuatu yang ditahan atau dihentikan, maksudnya ditahan pokoknya dan dimanfaatkan hasilnya di jalan Allah. Kata “wakaf” dalam hukum Islam mempunyai dua arti: Arti kata kerja, ialah tindakan mewakafkan, dan arti kata benda, yaitu obyek tindakan mewakafkan.[4] Bila wakaf bermakna objek atau benda yang diwakafkan (al-mauquf bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, istilah wakaf dapat bermakna objek yang diwakafkan atau institusi.[5] Dengan kata lain dalam arti kata benda wakaf artinya adalah benda wakaf. Bila dikatakan wakaf tidak boleh dijual artinya benda wakaf tidak boleh dijual.[6]
Secara terminologis dalam hukum Islam, menurut definisi yang paling banyak diikuti, wakaf didefinisikan sebagai “melembagakan suatu benda yang dapat diambil manfaatnya dengan menghentikan hak bertindak hukum pelaku wakaf atau lainnya terhadap benda tersebut dan menyalurkan hasilnya kepada saluran yang mubah yang ada atau untuk kepentingan sosial dan kebaikan”. Ada pula yang mendefinisikan wakaf sebagai “menahan suatu benda untuk tidak pindahmilikkan buat selama-lamanya dan mendonasikan manfaat (hasil)-nya kepada orang-orang miskin atau untuk tujuan-tujuan kebaikan.”[7] Kaitannya dengan kata “produktif” bahwa dalam ilmu manajemen terdapat satu mata kuliah yang disebut dengan manajemen produksi/operasi. Operasi atau produksi berarti proses pengubahan/transformasi input menjadi output untuk menambah nilai atau manfaat lebih. Proses produksi berarti proses kegiatan yang berupa; pengubahan fisik, memindahkan, meminjamkan, dan menyimpan.[8] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wakaf produktif secara terminologi adalah transformasi dari pengelolaan wakaf yang profesional untuk meningkatkan atau menambah manfaat wakaf. Sedangkan Muhammad Syafi’i Antonio mengatakan bahwa wakaf produktif adalah pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan ciri utama, yaitu: pola manajemen wakaf harus terintegrasi, asas kesejahteraan nazir, dan asas transformasi dan tanggungjawab.[9]
Adapun definisi wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik bahwa wakaf “perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sederhana tetapi cukup jelas tentang yaitu “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.”[10] Sedangkan dalam UU No.41 Tahun 2004 tentang Perwakafan (Pasal 1 angka 1), wakaf didefinisikan sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah.” Dalam Undang-Undang tersebut tidak ada kata-kata “untuk selama-lamanya” seperti dalam definisi KHI, karena Undang-Undang ini, wakaf tidak selalu abadi, tetapi juga ada kemungkinan untuk selama waktu tertentu.
Dari beberapa perbedaan definisi di atas, walaupun dalam peratuan perundang-undangan tidak ada penyebutan kata produktif, tapi dapat dipahami bahwa makna wakaf dan wakaf produktif itu sendiri adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya.[11] Namun, dalam pengembangan benda wakaf secara produktif tentu juga harus memperhatiakan kaidah/prinsip produksi yang Islami. Adapun kata “menyejahterakan” dalam UU No.41 Tahun 2004 di atas dapat diartikan sebagai upaya para pihak (terutama pengelola wakaf) untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam melalui pendayagunaan obyek wakaf.[12] Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam pemberdayaan obyek wakaf tidak semata-mata pendekatan ekonomi, tetapi pendekatan bisnis. Bisnis dapat ditegakkan secara kokoh bila didukung oleh sumber daya manusia yang tangguh dan manajemen yang baik.
b.   Dasar Hukum Wakaf
Para ahli hukum Islam menyebutkan beberapa dasar hukum wakaf dalam hukum Islam yang meliputi ayat al-Qur’an, hadis, ijma’, dan ijtihad para ahli hukum Islam serta hukum Indonesia yang mengatur tentang wakaf, yaitu sebagai berikut:
1.    Firman Allah,
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran [3]: 92).[13]
Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik, dan dari apa yang kamu keluarkan untuk dari alam bumi. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk daripadanya untuk kemudian kamu infakkan padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan). Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah [2]: 267).[14]
Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk melakukan infak secara umum terhadap sebagian dari apa yang dimiliki seseorang, dan termasuk ke dalam pengertian umum infak menurut jumhur ulama adalah melalui sarana wakaf.[15]
2.    Hadis Nabi Saw,
  Dari Ibnu Umur r.a. (dilaporkan) bahwa ‘Umar Ibn al-Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, lalu beliau datang kepada Nabi Saw untuk minta instruksi beliau tentang tanah tersebut. Katanya: Wahai Rasulullah, saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang selama ini belum pernah saya peroleh harta yang lebih berharga dari saya dari padanya. Apa instruksimu mengenai harta itu? Rasulullah bersabda: Jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya (melembagakan bendanya) dan menyedekahkan manfaatnya. [Ibnu Umar lebih lanjut] melaporkan: Maka Umar menyedekahkan tanah itu dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkankannya kepada orang fakir, kaum kerabat, bidak belian, sabilillah, ibn sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi orang yang menguasai tanah wakaf itu (mengurus) untuk makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta. [HR Bukhari].[16]
Dari Abu Hurairah r.a. (dilaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang di manfaatkan atau anak salih yang mendo’akannya. [HR. Muslim].[17]
Sedekah jariah yang disebutkan dalam hadis Abu Hurairah tidak lain yang dimaksud adalah wakaf, dimana pokok bendanya tetap sedang manfaat benda yang diwakafkan itu mengalir terus (jariah=mengalir) sehingga wakif (pelaku wakaf) tetap mendapat pahala atas amalnya meskipun ia telah meninggal dunia.[18]

3.    Ijma’,
Selain dasar dari al-Qur’an dan hadis di atas, para ulama sepakat (Ijma’) menerima wakaf sebagai suatu amal jariyah yang disyari’atkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.[19]
4.    Ijtihad,
Ketentuan-ketentuan detail mengenai perwakafan didasarkan kepada ijtihad para ahli hukum islam.
5.    Dalam hukum Indonesia sumber-sumber pengaturan wakaf antara lain meliputi PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Permendagri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik, Permenag No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan berbagai surat keputusan Menag dan Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama, serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Yang lebih penting di atas semua itu adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan. Dalam pasal 70 ditegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
c.    Rukun Wakaf
Dalam hukum Islam untuk terwujudnya wakaf harus dipenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf menurut jumhur ulama ada empat, yaitu: (1) wakif, (2) benda yang diwakafkan, (3) mauquf ‘alaih (penerima wakaf/Nazir), (4) ikrar (pernyataan) wakaf. Dalam UU No. 41/2004 tentang Perwakafan (pasal 6), selain empat unsur di atas dimasukkan juga sebagai rukun wakaf: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Untuk orang yang berwakaf disyaratkan: (a) orang merdeka, (b) harta itu milik sempurna dari orang yang berwakaf, (c) baligh dan berakal, (d) cerdas.[20] Wakif ialah orang, atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Adapun organisasi dan badan hukum diwakili oleh pengurusnya yang sah menurut hukum dan memenuhi ketentuan organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda miliknya sesuai dengan ketentuan anggaran dasarnya.[21]
Benda wakaf adalah segala benda baik yang bergerak atau tidak bergerak. Benda ini disyaratkan memiliki daya tahan dan tidak habis hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.[22] Selain itu benda milik pelaku wakaf, bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.[23] Dalam madzhab Hanafi benda wakaf juga dapat berupa uang, yaitu dinar dan dirham. Disini jelas bahwa uang dapat ditahan pokoknya dan diambil hasilnya, seperti uang yang ditempatkan dalam deposito mudharabah, misalnya; menghasilkan keuntungan yang dapat di manfaatkan tanpa menghabiskan pokoknya, sesuai dengan konsep wakaf berupa menahan pokok dan mengambil manfaat.[24]
Ikrar (pernyataan) wakaf adalah pernyataan kehendak untuk melakukan wakaf, dan harus dilakukan secara lisan dan/atau tulisan oleh wakif secara jelas dan tegas kepada nazir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan 2 orang saksi. PPAIW kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf. Selanjutnya adalah nazir, hal ini dapat terdiri dari perorangan, organisasi atau badan hukum. Apabila perorangan, nazir harus memenuhi syarat-syarat, berupa dewasa, sehat akal dan cakap bertindak hukum.[25] Selain itu, dalam UU No. 41/2004 pasal 10 disyaratkan juga warga negara Indonesia, amanah, beragama Islam. Untuk nazir berupa organisasi disyaratkan bahwa pengurusnya memenuhi syarat nazir perorangan dan organisasi itu bergerak di bidang sosial. Nazir badan hukum selain memenuhi dua syarat organisasi di atas, juga harus memenuhi syarat bahwa badan hukum itu merupakan badan hukum Indonesia dan dibentuk berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia. Adapun tugas nazir dalam UU No. 41/2004 pasal 11 dinyatakan bahwa nazir berkewajiban untuk melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkannya sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindunginya, serta melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia.
d.   Tujuan Wakaf
Wakaf dilakukan untuk suatu tujuan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam ikrar wakaf. Dalam menentukan tujuan wakaf berlaku asas kebebasan kehendak dalam batas-batas tidak bertentangan dengan hukum syariah, ketertiban umum dan kesusilaan. Sebelumnya di atas sudah disinggung bahwa dalam hadis Nabi saw wakaf dilarang dijual, dihibahkan atau diwariskan. Secara umum pada asasnya tidak dibenarkan melakukan perubahan wakaf dari apa yang ditentukan dalam ikrar wakaf. Perubahan itu hanya dimungkinkan karena ada alasan yang lebih kuat berdasarkan prinsip istihsan.[26]
Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf, dan dalam UU No. 41/2004 pasal 23 ditentukan bahwa peruntukan wakaf itu dilakukan oleh wakif pada waktu membuat pernyataan ikrar wakaf. Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan tidak boleh dijadikan jaminan, disita, dijual, dihibahkan, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Namun dikecualikan penggunaan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan syariah, dan hal ini hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
e.    Faktor Penghambat Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif
Adapun yang terkait dengan faktor penghambat pemberdayaan wakaf secara produktif, menurut Uswatun[27] disini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat, yaitu sebagai berikut:
1.   Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.
 Selama ini, umat Islam di Indonesia khususnya masyarakat dipedalaman masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah. Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 Tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.[28]
2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Sampai saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih  kurang maksimal. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan  melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
 Terkait dengan pengelolaan wakaf secara produktif, disini ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan, ketiga aspek tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Aspek Kelembagaan Wakaf
Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang Nomer 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dalam Pasal 47 adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Disini BWI merupakan lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksankan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan mana-pun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.[29] BWI berkedudukan di ibu kota dan dapat membentuk perwakilan di provensi atau kabupaten sesuai dengan kebutuhan, lembaga ini selain memiliki tugas-tugas konstitusi BWI harus menggarap wilayah tugas sebagai berikut:[30]
a.    Merumuskan kembali fikih wakaf baru di Indonesia, agar wakaf dapat dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai lembaga Islam yang kekal.
b.    Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
c.    Menyusun dan mengusulkan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah.
 Ketiga tugas di atas tentu merupakan tugas yang berat bagi BWI, oleh karena itu orang-orang yang duduk dalam lembaga tersebut harus benar-benar orang yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam mengelola wakaf dan hal-hal yang terkait dengan wakaf.
Kedua, Aspek Akuntansi
Dalam pengertian yang paling sederhana, akuntansi dapat dipahami sebagai kegiatan pencatatan kegiatan usaha bisnis, baik komersial ataupun bukan, untuk tujuan tertentu.[31] Berdasarkan tujuan dasar dan pola operasi sebuah entitas, akuntansi dapat dipilah menjadi dua, yaitu;[32] Pertama, akuntansi untuk organisasi yang bermotifkan mencari laba (profit oriented organization), ini biasanya diwakili oleh perusahaan-perusahaan komersial, baik yang bersifat menjual jasa, perdagangan, dan perusahaan manufaktur. Kedua, akuntansi untuk organisasi nirbala (non-profit oriented organizaation), ini diwakili oleh organisasi pemerintahan di segala tingkatan (pusat, propinsi, kabupaten, dan seterusnya), lembaga pendidikan, organisasi massa dan sosial kemasyarakatan, termasuk organisasi dan badan hukum yang banyak mengelola kekayaan wakaf. Oleh karena itu, aspek akuntansi ini sangat dibutuhkan dalam pengelolaan wakaf secara produktif sehingga apa yang menjadi tujuan dari pemberdayaan benda wakaf tersebut tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Disamping itu, harus memperhatikan apa yang menjadi tuntutan akuntansi yang dipandang lebih mendekati dengan prinsip syariah baik dari aspek tujuan dan aspek metode tekniknya.
Ketiga, Aspek Auditing
Auditing dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan sebagai pemeriksaan dan secara harfiah yaitu bahwa pihak tertentu melaporkan secara terbuka tugas atau amanah yang diberikan kepadanya, dan pihak yang memberi amanah mendengarkan. Jadi, ini merupakan manifestasi pertanggung jawaban pihak tertentu yang diberi tanggung jawab kepada pihak yang memberi amanah.[33]Dalam kontek lembaga wakaf secara umum dibentuk dan didirikan adalah mengelola sebuah atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk kesejahteraan umat umumnya, dan menolong mereka yang kurang mampu.[34] Dalam proses auditing harus tidak melanggar asas-asas syariah, walau sementara ini tujuan dan prosudur auditing secara konvensional dapat dipakai. Namun, disini diperlukan segera upaya untuk melakukan penyempurnaan agar bagian-bagian yang tidak islami dapat dikurangi.
   
3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan  uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan  wakaf  tersebut  berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya.[35]
f.     Pengembangan Benda Wakaf Secara Produktif
Kesadaran masyarakat untuk mengamalkan tingkat religiusitasnya dengan cara wakaf memang cukup tinggi. Namun sayangnya, banyak aset wakaf yang tingkat pendayagunaannya stagnan, dan tidak sedikit yang tidak berkembang sama sekali. Penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya mewakafkan tanah, namun kurang memikirkan biaya operasional sekolah, sehingga yang harus dilakukan adalah pengembangan wakaf produktif untuk mengatasi hal tersebut.
Pilihan menganut manajemen modern menjadi niscaya dan harus dilakukan serta kelaziman bahwa harta benda wakaf adalah hanya harta benda tak bergerak harus segera diubah bahwa harta benda wakaf bergerak juga bisa diwakafkan dan potensial untuk dikembangkan. Keterikatan dengan pemahaman yang diyakini dan kualitas nadzir yang tidak futuristik dalam mengelola aset wakaf menyebabkan potensi harta wakaf tidak berkembang semestinya.[36] Terkait dengan itu, hal yang harus dilakukan pertama adalah manajemen kenadziran dan profesionalitas nadzir, baik mengenai (a) kredibilitas terkait dengan kejujuran, (b) profesionalitas terkait dengan kapabilitas, maupun (c) kompensasi terkait dengan upah pendayagunan sebagai implikasi profesionalitasnya, yang kedua adalah peruntukan aset wakaf. Kemungkinan alih fungsi (rubah peruntukan) dan relokasi menjadi kemestian yang harus dilakukan untuk pengembangan aset wakaf yang boleh jadi juga terpengaruh oleh mekanisme pasar yang mempengaruhi kebutuhan peruntukan aset wakaf agar lebih produktif.
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif dapat dilakukan dengan berbagai cara. Kategori produktif[37] yang dapat dilakukan antara lain: cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan, usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf diperlukan penjamin, maka diperlukan lembaga penjamin syariah.[38] Lembaga tersebut adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjamin atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan dan pengelolaan fungsi aset wakaf secara produktif merupakan upaya menghidupkan kembali harta wakaf yang statis atau cenderung mati.
Dalam rangka untuk mengembangkan benda wakaf secara produktif, disini ada 2 (dua) model pembiayaan proyek wakaf produktif, yaitu secara tradisonal dan institusional. Adapun penjelasan keduanya adalah sebagai berikut:
1.    Secara Tradisional
Dalam model pembiayaan harta wakaf tradisional, buku fikih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu:[39] (a) pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama, jenis pembiayaan dengan menambah harta wakaf baru pada harta wakaf yang lama ini sudah lama ada dalam sejarah Islam, seperti pada masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, universitas, dan kuburan dan lain-lain. (b) pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional harta wakaf dan pemeliharaan untuk mengembalikan fungsi wakaf sebagaimana mestinya. (c) penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf, dalam hal ini paling tidak memberikan pelayanan atau pendapatan yang sama tanpa perubahan peruntukan yang ditetapkan wakif. (d) pembiayaan Hukr (sewa berjangka panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar, ini untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf. Dari pada menjual harta wakaf, Nazir dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan suatu nilai nominal secara periodik. (e) pembiayaan Ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran). Disini ada dua bagian, yaitu: pertama, berupa uang muka lump sum yang besar untuk merekonstruksikan harta wakaf yang bersangkutan, dan kedua, berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa.
2.    Secara Institusional
Dalam rangka mengembangkan wakaf secara produktif, disini ada empat model pembiayaan yang membolehkan pengelola wakaf produktif memegang hak eksklusif terhadap pengelolaan, yaitui:[40] Murabahah, Istisna’, Ijarah, dan Mudharabah serta berbagi kepemilikan atau Syari’atul al-Milk, dimana ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen, atau menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia pembiayaan, disebut bagi hasil dan sewa berjangka panjang.
C.  ANALISIS
Dalam pengelolaan dan pengembagan benda wakaf secara produktif, seorang Nazhir memiliki peran dan fungsi yang sangat fundamental. Oleh karena itu, seorang Nazhir harus memiliki integritas dan profesional dalam mengelola dan mengembangkan benda wakaf. Dengan demikian, seorang Nazhir dituntut untuk  memiliki keahlian dalam berbagai bidang keilmuan, diantanya seorang Nazhir memiliki ahli dalam bidang hukum positif dan hukum Islam tentang perwakafan, ahli dalam bidang bisnis dan ekonomi syariah, serta memiliki kemampuan manajemen yang baik selain harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Kalau penulis perhatikan para Nazhir yang ada di daerah atau pedalaman masih banyak yang belum memiliki kemampuan seperti di atas, oleh karena itu para Nazhir yang ada di daerah atau pedalaman masih memerlukan bimbingan dan pelatihan secara berkelanjutan mengenai bidang-bidang yang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf benda secara produktif.
Sedangkan terkait dengan faktor penghambat pemberdayaan wakaf secara produktif, seperti yang telah disebutkan di atas disini ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek lembaga wakaf, aspek akuntansi, dan aspek auditing. Terkait dengan aspek lembaga wakaf, sejak dikeluarkannya PP No. 42/2006 tentang pemberlakuan UU No. 41/2004 tentang wakaf sampai saat ini Badan Wakaf Indonesia (BWI) hanya memiliki beberapa perwakilan saja ditingkat Provinsi, seperti; Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara. Dengan demikian, perwakilan Badan Wakaf Indonesia ditingkat Provinsi masih belum merata. Oleh karena itu, perlu adanya perwakilan secara merata baik ditingkat Provinsi dan Kabupaten sehingga pemberdayaan benda wakaf secara produktif lebih maksimal dan merata serta manfaat dari hasil pengelolaan benda wakaf secara produktif dapat dirasakan oleh masyarakat banyak sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam aspek akuntansi dan auditing, tentu kedua aspek ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena sangat terkait dengan pengelolaan dan pengembangan benda wakaf secara produktif. Pihak Nazhir akan mencatat hal-hal yang terkait dengan akad/transaksi produk pembiayaan dalam rangka mengelola dan pengembangan benda wakaf tersebut. Sedangkan auditing / pengawasan juga penting dilakukan bagi lembaga sebagai pengelola, karena adanya pengelolaan secara melembaga seperti ini juga memiliki potensi akan terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan tanggung jawab. Oleh karena itu, pengawasan dan laporan tahunan dari pihak pengelola (Nazhir) sangat penting dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan tersebut. Terkait dengan pengembangan benda wakaf secara produktif, pihak pengelola harus bekerja sama dengan Institusi lain seperti Lembaga Keuangan Syariah baik Mikro atau Makro. Namun, perkembangan lembaga keuangan yang berbasis syariah khususnya di daerah atau pedalaman masih relatif sedikit. Sehingga ini juga akan menjadi salah satu faktor penghambat bagi pengembangan benda wakaf secara produktif khususnya dalam hal pembiayaan yang berlandaskan prinsip syariah.       
D.  KESIMPULAN
Terlepas dari beberapa penjelasan di atas, disini dapat diambil sebuah kesimpulan, yaitu bahwa yang menjadi faktor penghambat dari pemberdayaan wakaf produktif adalah minimnya pemahaman masyarakat khususnya masyarakat pedalaman tentang hukum wakaf dan wakaf produktif, pengelolaan dan manajemen wakaf yang kurang efektif dan profesional, serta minimnya benda yang diwakafkan oleh masyarakat selain tanah dan nazhir (pengelola wakaf) sendiri kurang mengerti tentang hukum yang terkait dengan perwakafan sehingga terjadi penyimpangan dan kurang amanah. Dengan demikian, dalam rangka optimalisasi pemberdayaan benda wakaf secara produktif masih perlu banyak evaluasi dan memaksimalkan sosialisasi kepada masyarakat oleh pihak yang berwenang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan benda wakaf secara produktif. Selain itu, melihat tujuan dari pemberdayaan benda wakaf secara produktif. Maka disini juga memerlukan keterlibatan dari semua pihak dalam mensosialisasikan dan mengembangkan wakaf secara produktif, karena persoalan kesejahteraan dan kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama. Sedangkan untuk mengembangkan benda wakaf secara produktif pihak pengelola/ Nazhir bisa bekerja sama dengan Intitusi atau lembaga keuangan yang berlandaskan prinsip syariah.
















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet ke-1, Jakarta: RM Books, 2007.

S. Praja, Juhaya, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara, 1995.

Mubarok, Jaih, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.

Zahrah, Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1971.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Muslim, Shahih Muslim, Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t, Juz 8.

Soemita, Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, cet ke-2, Jakarta: Kencana, 2010.

Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN, 2006.

Hasanah, Uswatun, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009.

Matraji, Abdullah Ubaid (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia), Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009.

Hasan, Thalhah, Perlu Rekonsepsi Fikih Wakaf, Republika, 30 April 2004.

Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005.








[1] Revisi makalah dikumpulkan dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Hukum Lembaga Keuangan Syariah di PPs MSI-UII Yogyakarta pada tanggal 11 Desember 2011.

[2] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, cet ke-1, (Jakarta: RM Books, 2007 ), hal. 75.

[3] Ibid, hal. 76.
[4] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 76.

[5] Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya”. (Bandung: Yayasan Piara, 1995), hal. 6.

[6] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 76-77.

[7] Ibid.

[8] Jaih Mubarok, “Wakaf Produktif”, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), hal. 15.

[9] Ibid, hal. 35-36.

[10] Lihat KHI pasal 215 ayat (1)

[11] Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf”, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1971), hal. 41.

[12] Jaih Mubarok, “Wakaf Produktif”, hal. 27.

[13] لن تنا لواالبر حتى تنغفوا مما تحبون وماتنفقوا من شيء فان الله به عليم { العمران:92}

[14] يآيهاالذين امنوا انفقوا من طيبت ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض ولاتيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم باخذيه الا ان تغمضوافيه واعلموا ان الله غني حميد {البقرة: 267}

[15] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 78., Lihat juga: Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1906.

[16]Muslim, Shahih Muslim”, (Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t), Juz 8, hal. 407.

[17] Ibid, hal. 405.

[18] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 79.

[19] Andri Soemitra, “Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, cet ke-2, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 435-436.

[20] Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum islam”, hal. 1906.

[21] KHI pasal 215 ayat (2) dan 217 ayat (1).

[22] Ibid, pasa 215 ayat (4).

[23] Ibid, pasal 217 ayat (3).

[24] Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 81.

[25] Ibid, hal. 82.

[26] Ibid.

[27] Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009), hal. 17-18.

[28] Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia), Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009.
[29] Andri Soemita, “Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, hal. 445.

[30] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf oleh DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN 2006, hal. 105-106.

[31] Ibid, hal. 106.

[32] Ibid, hal. 107-108.

[33] Ibid, hal. 108.

[34] Ibid, hal. 110.

[35] Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia”, hal. 18.

[36] Thalhah Hasan, “Perlu Rekonsepsi Fikih Wakaf”, Republika, 30 April 2004.

[37] UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya.

[38] Ibid, pasal 43 ayat (3) dan penjelasannya.

[39] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf oleh DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN 2006, hal. 114-118.
   
[40] Ibid, hal. 119.