Sabtu, 26 Mei 2012

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH DI BASYARNAS


PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH DI BASYARNAS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Sengketa Bisnis Syariah

Dosen Pengampu: H. Abdul Jamil, S.H., M.H.



Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)


Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2012


PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH DI BASYARNAS[1]

A.  PENDAHULUAN
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah sebuah wadah alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkemabangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia air dewasa ini. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan bisnis syariah yang pesat dan kompleks seperti saat ini pasti melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Dengan semakin meningkatnya kerjasama bisnis tersebut akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi diantara para pihak yang terlibat didalamnya.
Sengketa merupakan fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Potensi terjadinya sengketa atau perselisihan diantara umat manusia, senantiasa ada selama masih ada interaksi antara sesama manusia. Pada umumnya, sengketa terjadi karena penipuan dan ingkar janji. Ingkar janji itu sendiri dapat terjadi apabila pihak-pihak atau salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikan / disepakati untuk dilakukan, pihak-pihak atau salah satu pihak telah melaksanakan apa yang tekah disepakati, tetapi tidak pelaksanaannya “sama persis” sebagaimana yang dijanjikan, dan pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang telah dijanjikan, tetapi terlambat menunaikan janji serta pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.[2]
Dalam kegiatan bisnis tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak sesuai dengan asas kesepatakan. Namun demikian apa yang telah mereka sepakati, terkadang menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat dua jalan yang bisa ditempuh oleh para pihak, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase.[3]
Proses penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase lebih mengedepankan kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang serupa, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berbeda halnya dengan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan yang mengikuti pola terstruktur, sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta cara-cara yang ketat, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pihak-pihak terhadap pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan sebagai saran pendistribusian keadilan menjumpai banyak hambatan dan distribusi keadilan yang diperoleh masyarakat tidak lain adalah keadilan birokratis.
Di Indonesia terdapat bermacam-macam badan arbitrase yang dikhususkan dengan kewenangannya dalam menyelesaikan perkara tertentu dan orang-orang tertentu. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa nama sebuah badan arbitrase tidak berarti menunjukkan kompetensi absolut dari suatu lembaga arbitrase, melainkan lebih menunjukkan bidang keahlian (expert) yang dimiliki. Berkaitan dengan itu, Basyarnas yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang menandai kehadiran lembaga arbitrase Islam pertama kali di Indonesia dan Basyarnas sendiri merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI. Oleh karena itu, penulis dalam makalah yang singkat ini mencoba untuk membahas kembali tentang kapan Basyarnas mempunyai kompetensi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dan bagaimana rule dan prosedur penyelesaiannya. Selanjutnya, bagaiman eksistensi dan problematika hukum Basyarnas itu sendiri.
B.  PEMBAHASAN
Dalam rangka menjawab persoalan di atas, maka penulis dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa poin terkait dengan persoalan tersebut, yaitu sebagai berikut:

1.    Pengertian Arbitrase
Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka tunjuk.[4] Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.[5] Walaupun demikian, putusan dari arbitrase berdasarkan kebijaksanaan, akan tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama dalam menyelesaikan sengketa antar subyek hukum tersebut.[6]
Sehubungan dengan pengertian di atas, dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.  Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa[7].
Terkait dengan Arbitrase Syariah, padanan dari arbitrase ini dalam fiqh Islam adalah tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiyah berarti menjadikan seorang sebagai penengah/hakam bagi suatu sengketa. Istilah lain adalah  ash-shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Yang dimaksudkannya adalah suatu akad / perjanjian untuk mengakhiri perlawanan / pertengkaran antara dua orang yang bersengketa.[8] Jadi, dalam tradisi Islam telah dikenal adanya hakam yang sama artinya dengan arbitrase, hanya saja lembaga hakam tersebut bersifat ad hoc.[9]
Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan murah, menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian (expert) dan para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding serta merupakan win-loss solution.[10]
2.    Sejarah Arbitrase Syariah
Dalam tradisi Islam klasik, terdapat tiga bentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang pernah berkembang, baik pada masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, Khalifah Bani Umayyah, dan Bani Abbasiah, yaitu: sulh (perdamaian), tahkim (arbitrase), dan proses litigasi yang disebut dengan wilayat al-aqda (kekuasaan kehakiman). Sulh berdasarkan catatan sejarah, rasulullah Saw, pernah mendamaikan konflik yang terjadi dikalangan Bani ‘Amr Ibn ‘Auf ketika diantara mereka terjadi peperangan. Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga pernah mendamaikan kasus utang-piutang antara Ka’ab Ibn Malik dan Ibn Abi Hadrad sehingga keduanya merasa puas dengan keputusan Rasulullah.[11] Oleh karena itu, perdamaian adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa al-sulh khair). Dengan demikian, perdamaian merupakan instrumen penyelesaian yang utama.
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Orang yang menyelesaikannya disebut hakam. Dalam sejarah Islam, lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu, meskipun belum ada sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya seringkali diselesaiakan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk masing-masing yang berselisih.[12]
Pada masa pra Islam, hakam atau juru damai atau arbitrase itu harus memenuhi beberapa kualifikasi (persyaratan), antara lain harus memiliki kekuatan supranatural dan adikodrati. Berdasarkan persyaratan ini, pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan dan penyelesaian dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan kekuatan firasat daripada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan (iqrar).[13] Dalam catatan sejarah para arbiter Arab / hakam dalam memeriksa / menyidangkan perkaranya dilaksanakan di dalam kemah-kemah yang didirikan atau bahkan dibawah-bawah pohon. Setelah Kushai ibn Ka’ab membangun sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke arah Ka’bah, maka disitulah sidang-sidang hakam/arbitrase dilaksanakan dan gedung itu dikenal sebagai Dar al-Adda’wah.[14]
Pada masa awal perkembangan Islam, tradisi penyelesaian perkara melalui tahkim lebih berkembang di masyarakat mekkah, sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaiakan sengketa bisnis diantara mereka. Demikian juga, lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai daerah agraris untuk menyelesaikan sengketa dibidang pertanian. Sebagaimana dituturkan oleh Syalabi, Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi rasul pernah bertindak sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat mekkah terkait dengan persoalan peletakan kembali hajar Aswad ketempat semula.[15]
Pertumbuhan sistem hakam / sistem arbitrase dimasa khalifah Umar ibn Khottab mengalami perkembangan yang menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga peradilan dan tersusunnya pokok-pokok pedoman beracara di Pengadilan / Risalah al-Qadla’ Abu Musa al-Asy’ari, yang salah satunya adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase.[16] Pada penghujung masa al-Khulafa ar-Rasyidin masalah hakam ini tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah atau sengketa keluarga dan bisnis akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah politik, perdagangan dan peperangan. Dengan demikian, wilayah yurisdiksi arbitrase semakin luas dan fenomena yang demikian menjadikan bidang garapan badan arbitrase pada awal masa Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan perkembangan atau kemajuan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup ummat manusia terhadap hukum.[17]
Sedangkan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, dalam tradisi Islam klasik dikenal tiga lembaga kekuasaan kehakiman. Meskipun masih dalam bentuk yang sederhana, lembaga kekuasaan kehakiman tersebut dapat berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus umum ( kajahatan yang ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat) maupun khusus (pelanggaran yang bersifat individual) yang muncul di tengah masyarakat. Ketiga lembaga kekuasaan kehakiman tersebut adalah al-hisbah[18], al-mazalim[19], dan al-qada’[20].[21]
Terkait dengan itu, untuk konteks Indoensia perkembangan arbitrase dimulai dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI tahun 1992, Hartono Marjono, SH, ditugasi memaparkan makalahnya tentang arbitrase berdasarkan syari’at Islam yang kemudian mendapat sambutan baik dari kalangan peserta dan kamudian direkomendasikan untuk ditindak lanjuti oleh MUI. Pada tanggal 22 April 1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang para praktisi hukum termasuk dari kalangan perguruan tinggi guna bertukar pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam.[22]
Pada rapat selanjutnya tanggal 2 Mei 1992, diundang juga wakil dari Bank Muamalat Indonesia dan untuk selanjutnya dibentuk tim kecil guna mempersiapkan bahan-bahan kajian untuk kemungkinannya membentuk badan arbitrase Islam. Demikian selanjutnya dalam rakernas MUI 24-27 November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan dengan rencana pendirian lembaga arbitrase muamalat, agar MUI segera merealisasikan.[23]
Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) mengalami perubahan nama dan status. Dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan Pengurus Badan Arbitrase Muamalah Indonesia tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003, maka Majelis Ulama Indonesia dengan SK nya. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 syawal 1424/24 Desember 2004 M, menetapkan diantaranya, bahwa;[24] nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitarse Syari’ah Nasional (BASYARNAS), bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI, Basyarnas dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga hakam bersifat otonom dan independen, dan terakhir mengangkat pengurus Basyarnas.
3.    Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Adapun yang menjadi dasar arbitrase syariah yang pertama adalah anjuran al-Qur’an tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:
وإن طائفتان  من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدهما على الأخرى فقا تلوا التى تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما با لعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين
Artinya:“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[25]
Ayat di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan tersebut terjadi, maka harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu pada ayat di atas, diambil dari kata ashlaha yang asalnya shaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedangkan ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.[26]
Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Jadi, apabila hubungan antar dua belah pihak retak atau terganggu, maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatn yang dapat diperoleh dari mereka. Dengan demikian, menuntut adanya ishlah yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, sehingga terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan.[27]   
Dasar yang kedua adalah QS. an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
وإن خفتم شقاق بينهما فبعثوا حكما من أهله  وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Artinya:“Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[28]
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka hendaknya diantara kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu, fungsi utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak.[29] Dengan demikian, melihat tafsir ayat di atas, maka sangat memungkinkan dan relevan untuk dijadikan dasar terkait dengan pembahasan arbitrase syariah yang sedang berkembang dewasa ini.
Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al-Hadis, selain al-Qur’an dan al-Hadis juga Ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase dikalangan para sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya.[30] Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan:
الصلح جائز بين المسلمين الا صلحا أحل حرم  أو حرام حلا لا
Artinya:”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.[31]
Selain landasan ayat di atas, kita mengetahui bahwa pelaksanaan syariat Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
2.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian. Dengan demikian, adanya Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah.
4.    Bentuk-Bentuk Arbitrase
Arbitrase sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa diluar peradilan resmi dan sudah lama adanya, dalam praktek yang terjadi selama ini. Maka secara garis besar arbitrase terdapat dua jenis Arbitrase, yaitu:
a.    Arbitrase sementara (ad-hoc atau volunter arbitrase)
Arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat  setelah sengketa terjadi (akta kompromis), dimana arbiter yang dipilih adalah arbiter bukan dari institusi arbitrase yang ada.[32] Arbitrase ini tidak permanen / tidak melembaga, bersifat incidental dan jangka waktunya tertentu sampai dengan sengketa diputuskan. Para pihak dapat mengatur sendiri cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, tentang prosedur / proses beracara, petugas administratif, dll. Dalam melaksanakannya, jenis ini sering mendapatkan kesulitan diantaranya dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosudural serta menetapkan arbirternya.[33] Dengan demikian, arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Namun, perlu ditekankan bahwa yang dijadikan patokan dalam pemilihan-pemilihan dan penentuan arbiter tersebut tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
b.    Arbitrase institusional (lembaga Arbitrase)
Arbitrase Institusional adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.[34] Jadi, sifat permanen tersebut merupakan salah satu pembeda dari arbitrase ad hoc. Arbitrase institusional ini sudah dan tetap ada sebelum ada perselisihan maupun setelah perselisihan tersebut selesai diputus. Arbitrase ini sudah memiliki aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, termasuk dalam hal penentuan / pengangkatan para arbiternya. Di Indonesia, terdapat dua badan arbitrase institusional, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) tahun1977 dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirikan serta menjadi perangkat organisasi dari Majelis Ulama Indonesia tahun 1993.[35]
5.    Kompetensi Basyarnas Dalam Sengketa Ekonomi Syari’ah
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak itu sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang – undang.[36]
Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo[37] ataupun akta kompromis.[38] Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase.[39]
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan  yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi / isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.[40] Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase, yang berbunyi:
1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2) sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.
 Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah Basyarnas yang secara khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadadpi oleh umat Islam.
6.    Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa di Basyarnas
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli atau melalui mekanisme arbitrase, banyak dipilih oleh para pihak yang berselisih karena beberapa alasan, diantaranya; kesukarelaan dalam proses, prosedur cepat, rahasia, hemat waktu, hemat biaya, keputusan non yudisial, fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, win-win solution, tetap terpeliharanya hubungan baik antar para pihak yang bersengketa. Para Arbirter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise) dan putusan arbitrase bersifat final serta mengikat para pihak. Selain itu, tidak ada kemungkinan banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase.[41]
Terkait dengan prosedur, menurut Mertokusumo bahwa arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.[42] Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui badan arbitrase adalah keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran perkara dari segi administratif, penunjukan arbiter/majelis arbiter, persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan kesimpulan, kemudian diputuskan.
Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI). Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a)    Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
b)   Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa.
c)    Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak.
d)    Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama sengkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan alamat Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keselurhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanatangan Arbiter atau Majelis Arbiter.
e)    Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
f)    Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
g)   Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu  tuntutan putusan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani arbiter bersifat final and binding artinya putusan Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat dan padanya tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau penipuan di dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya novum. Setelah putusan  tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepeniteraan PN (Pengadilan Negeri). Bilamana putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN (Pengadilan Negeri). Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah Pengadilan Agama.
7.    Eksistensi dan Problematika Hukum BASYARNAS
Berdirinya Basyarnas berdasarkan Surat Keputusan Nomor: Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003, merupakan satu-satunya badan hukum yang otonom milik MUI, yang bertujuan untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah. Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku. Secara legalitas keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Hal ini disebabkan penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat melalui jalur non ligitasi, diantaranya melalui Basyarnas. Namun, dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) point c Undang-Undang tersebut mengandung kelemahan karena ada opsi arbitrase yang lain. Disinilah perlu sebuah ketegasan bagi umat Islam apakah percaya dengan arbitrase syariah atau tidak sebagai alat implementasi hukum Islam, meskipun ketentuan penjelasan Undang-Undang ini masih memberikan peluang penyelesaian di luar Basyarnas.[43]
Disisi lain, eksistensi arbitrase tidak sepenuhnya independen tanpa keikut sertaan pengadilan negeri terhadap proses arbitrase. Jurisdiksi arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 masih sangat bias dan berisi norma yang sangat ambivelen. Undang-Undang tersebut masih sangat jelas memberikan kewenangan lebih terhadap pengadilan negeri dalam mencampuri proses arbitrase. Oleh karena itu, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dapat dikatakan masih sangat kuat. Akibatnya putusan arbitrase yang disebutkan dalam Undang-Undang itu sebagai putusan yang final dan mengikat para pihak pada dasarnya sama sekali tidak memiliki titel eksekutorial tanpa keterlibatan jurisdiksi pengadilan.[44]
Begitu juga halnya dengan eksistensi Basyarnas yang secara khusus merupakan sebuah pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah.  Masalahanya adalah  apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dengan sukarela maka dapat dimintakan eksekusinya melalui Pengadilan Agama, berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung poin 4 (empat) No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.[45] Tentunya hal ini bertolak belakang dengan UU No. 30 Tahun 1999, yang secara hirarki perundang-undangan di Indonesia berada diatas Peraturan Pemerintah.

C.  KESIMPULAN
Terlepas dari beberapa penjelasan di atas, penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya proses penyelesaian sengketa melalui sulh (perdamaian), tahkim (arbitrase) dan pengadilan, sudah ada sejak pra Islam itu sendiri. Namun, dalam perjalanan panjang hingga saat ini, model tersebut mengalami perubahan dan kemajuan dengan terwujudnya sistem kelembagaan yang mengikat.
Dengan perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini, tidak menutup kemungkinan akan adanya kecendrungan masyarakat atau pihak-pihak yang bersengketa memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di lemabaga non-litigasi baik itu Basyarnas atau arbitrase lainnya, daripada proses litigasi (pengadilan) menunjukkan bahwa arbitrase lebih mengedepankan asas cepat dan sederhana dalam proses beracara dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai keadilan subtantansial.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa berlaku bijak dengan memposisikan arbitrase sejajar dengan pengadilan serta bisa menjalankan putusannya sendiri tanpa mendaftarkan putusannya pada pengadilan. Mengingat peran arbitrase sangatlah urgen ditengah-tengah perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa ini. Begitupun, Eksistensi Basyarnas haruslah diberikan payung hukum yang khusus, agar mencerminkan eksistensi hukum Islam disamping sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana, 2009.
Burton Simataupang, Richard, Aspek Hukum Dalam  Bisnis, edisi revisi, cet. Ke-2, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Djauhari, Ahmad, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Basyarnas, 2006.
Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung: Al-Ma’arif, 1993.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al-Qur’an, jilid II dan XII, Jakarta: Lintera Hati, 2002.
Ghofur Anshori, Abdul, Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU No.21 Tahun 2008, cet. Ke-1, Yogyakarta: UGM Press, 2010.
_____________, Perbankan Syariah Di Indonesia, cet. Ke-2, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad, Yani, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Rosyadi, Rahmat dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999.
Suparman, Eman, Jurisdiksi Pengadilan Negeri Terhadap Forum Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengeta Bisnis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad.
Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011.
Mardani, Penyelesaian Sengketa Pada Lembaga KeuanganSyari’ah, Majalah Legal Review, No. 43/TH IV/2006.
Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, tt.
Makalah Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, pdf, Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan.




.



[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi kelas di MSI-UII Yogyakarta pada hari Sabtu tanggal 26 Mei 2012.
[2] Lihat dalam Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011, hlm. 20.
[3] Richard Burton Simataupang, “Aspek Hukum Dalam  Bisnis”, edisi revisi, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 41.
[4] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, (Jakarta: Basyarnas, 2006), hlm. 22.
[5] Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, “Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 3, dan dalam makalah Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, (Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan), Diakses Pada Tanggal 06 Mei 2012.
[6] Abdul Ghofu Anshori, “Perbankan Syariah Di Indonesia”, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm. 203.
[7] Lihat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternati Penyelesaian Sengketa.
[8] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 26.
[9] Ibid, hlm. 27.
[10] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dab pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 208.  Dalam Abdul Ghofur Anshori, “Perbankan Syariah Di Indonesia,..., hlm. 204.
[11] Dalam Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah...., hlm. 20.
[12] Ibid, hlm. 21.
[13] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 33.
[14] Ibid, hlm. 34.
[15] Dalam Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah...., hlm. 20.
[16] Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 52.

[17] Dalam makalah Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, (Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan), hlm. 10. Diakses Pada Tanggal 06 Mei 2012.
[18]Hisbah adalah lembaga resmi negara yng diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan peradilan untuk menyelesaikannya.
[19]Mazalim adalah bentuk jamak dari kata al-mazlamah. Secara etimologi, mazalim artinya nama bagi sesuatu yang diambil oleh zalim dari tangan seseorang. Berdasarkan pengertian ini, maka badan ini dibentuk oleh pemerintah khusus untuk membela orang-rang yang mazlum (teraniaya) akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qada’) dan kekuasaan hisbah. Kewenanagan yang dimilikinya adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakuakan oleh aparat atau pejabat pemerintah, tindakan korupsi, dan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara dalam kekuasaan ini dikenal dengan nama wali al-mazalim atau al-nazir.
[20]Qadha menurut bahasa berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Kewenangannya menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah madaniyyah dan ahwal al-syakhsiyyah (masalah-masalah keperdataan, hukum keluarga) dan masalah jinayat (tindak pidana). Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara pengadilan secamam ini disebut qadi (hakim).
[21] Ibid, hlm. 22.
[22] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 38.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 42.
[25] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al-Qur’an”, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), jilid 13, hlm. 243.
[26] Ibid, hlm. 244.
[27] Ibid, hlm. 245.
[28] Ibid, Jilid 2, hlm. 433.
[29] Ibid.
[30] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 147.
[31] Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah”, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 36.
[32]  Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Di Indonesia......., hlm. 204.
[33] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 54.
[34] Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 27.
[35] Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 54-55.

[36]Dalam istilahnya dikenal dengan asas Pacta sunt van servanda, yaitu semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (Lihat: Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”, Semarang: Aneka Ilmu, tt, hlm. 649)
[37]Suatu bentuk kesepakatan para pihak jika terjadi perselisihan mereka akan menyelesaikannya melalui arbitrase atau suatu perjanjian yang tunduk pada perwasitan. (Lihat: Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”, hlm. 649 dan Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, Jakarta: Basyarnas, 2006, hlm. 50).
[38]  Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah suatu sengketa terjadi. (Lihat: Ahmad Djauhari, “Arbitrase Syari’ah di Indonesia”, hlm. 51).
[39] Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah”, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 109.
[40] Abdul Ghofur Anshori, “Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU No.21 Tahun 2008”, cet. Ke-1 (Yogyakarta: UGM Press, 2010), hlm. 68.
[41] Mardani, “Penyelesaian Sengketa Pada Lembaga KeuanganSyari’ah”, Majalah Legal Review, No. 43/TH IV/2006, hlm. 58.
[42] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999), hlm. 144
[43] Makalah Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional.....”., hlm. 19.
[44]Eman Suparman, Jurisdiksi Pengadilan Negeri Terhadap Forum Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengeta Bisnis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, (Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad), hlm. 17.
[45] Bahwa dalam hal putusan badan arbitrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah peradilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006.