PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
SYARIAH DI BASYARNAS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Sengketa Bisnis Syariah
Dosen Pengampu: H. Abdul Jamil, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)
Konsentrasi
Hukum Bisnis Syariah
Program
Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas
Islam Indonesia
Yogyakarta
2012
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS
SYARIAH DI BASYARNAS[1]
A. PENDAHULUAN
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah
sebuah wadah alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian
sengketa atau perkara di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah (LKS)
lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini
sangat dibutuhkan oleh
umat Islam Indonesia,
terlebih dengan semakin marak dan berkemabangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia air dewasa ini. Oleh
karena itu, pertumbuhan
ekonomi dan bisnis syariah yang
pesat dan kompleks seperti saat ini pasti melahirkan
berbagai macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Dengan
semakin meningkatnya kerjasama bisnis tersebut akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi
diantara para pihak yang terlibat didalamnya.
Sengketa
merupakan fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Potensi
terjadinya sengketa atau perselisihan diantara umat manusia, senantiasa ada
selama masih ada interaksi antara sesama manusia. Pada umumnya, sengketa
terjadi karena penipuan dan ingkar janji. Ingkar janji itu sendiri dapat
terjadi apabila pihak-pihak atau salah satu pihak tidak
melakukan apa yang dijanjikan / disepakati
untuk dilakukan, pihak-pihak
atau salah satu pihak telah melaksanakan apa yang tekah disepakati, tetapi
tidak pelaksanaannya “sama persis” sebagaimana yang dijanjikan, dan
pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang telah dijanjikan, tetapi
terlambat menunaikan janji serta
pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.[2]
Dalam
kegiatan bisnis tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak
sesuai dengan asas kesepatakan. Namun demikian apa yang telah mereka sepakati, terkadang menimbulkan sengketa yang tentunya akan
mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak
tersebut, maka terdapat dua jalan yang bisa ditempuh oleh para pihak, yaitu
melalui jalur pengadilan atau melalui musyawarah.
Tetapi ilmu hukum mempunyai alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang
dinamakan Arbitrase.[3]
Proses penyelesaian
sengketa di lembaga arbitrase lebih
mengedepankan kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses
yang serupa, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di
dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga
hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berbeda halnya dengan mekanisme penyelesaian sengketa di
pengadilan yang mengikuti pola terstruktur, sarat dengan beban formalitas,
prosedur, birokrasi, serta cara-cara yang ketat, sehingga menimbulkan
ketidakpuasan pihak-pihak terhadap pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan
sebagai saran pendistribusian keadilan menjumpai banyak hambatan dan distribusi
keadilan yang diperoleh masyarakat tidak lain adalah keadilan birokratis.
Di Indonesia terdapat bermacam-macam badan arbitrase yang
dikhususkan dengan kewenangannya dalam menyelesaikan perkara tertentu dan
orang-orang tertentu. Akan tetapi perlu
digaris bawahi, bahwa nama sebuah badan arbitrase tidak berarti menunjukkan
kompetensi absolut dari suatu lembaga arbitrase, melainkan lebih menunjukkan
bidang keahlian (expert) yang dimiliki. Berkaitan dengan itu, Basyarnas
yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang
menandai kehadiran lembaga arbitrase Islam pertama kali di Indonesia dan Basyarnas sendiri
merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI. Oleh karena itu, penulis dalam
makalah yang singkat ini mencoba untuk membahas kembali tentang kapan Basyarnas
mempunyai kompetensi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dan bagaimana
rule dan prosedur penyelesaiannya. Selanjutnya, bagaiman eksistensi dan
problematika hukum Basyarnas itu sendiri.
B.
PEMBAHASAN
Dalam rangka menjawab persoalan di atas, maka penulis
dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa poin terkait dengan persoalan tersebut,
yaitu sebagai berikut:
1.
Pengertian Arbitrase
Secara etimologi Arbitrase berasal dari kata arbitrare
(latin) atau arbitrage yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase adalah penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar
kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan oleh
arbiter yang mereka tunjuk.[4] Dalam menjatuhkan putusan para
arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh
hakim di pengadilan.[5]
Walaupun demikian, putusan dari arbitrase berdasarkan kebijaksanaan, akan
tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama dalam menyelesaikan sengketa
antar subyek hukum tersebut.[6]
Sehubungan dengan pengertian di atas,
dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa lembaga arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat
yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa[7].
Terkait dengan Arbitrase Syariah,
padanan dari arbitrase ini dalam fiqh Islam adalah tahkim dan kata
kerjanya hakam yang secara harfiyah berarti menjadikan seorang sebagai
penengah/hakam bagi suatu sengketa. Istilah lain adalah ash-shulhu yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Yang dimaksudkannya adalah suatu akad /
perjanjian untuk mengakhiri perlawanan / pertengkaran antara dua orang yang
bersengketa.[8] Jadi,
dalam tradisi Islam telah dikenal adanya hakam yang sama artinya dengan
arbitrase, hanya saja lembaga hakam tersebut bersifat ad hoc.[9]
Dengan
demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa
keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak
baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Proses
arbitrase yang relatif cepat dan murah, menjunjung tinggi asas konfidensialitas
(kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian (expert)
dan para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan
putusan yang dihasilkan bersifat final and binding serta merupakan win-loss
solution.[10]
2.
Sejarah Arbitrase Syariah
Dalam tradisi Islam klasik, terdapat tiga bentuk
mekanisme penyelesaian sengketa yang pernah berkembang, baik pada masa
Rasulullah Saw, Para Sahabat, Khalifah Bani Umayyah, dan Bani Abbasiah, yaitu: sulh
(perdamaian), tahkim (arbitrase), dan proses litigasi yang disebut
dengan wilayat al-aqda (kekuasaan kehakiman). Sulh berdasarkan
catatan sejarah, rasulullah Saw, pernah mendamaikan konflik yang terjadi
dikalangan Bani ‘Amr Ibn ‘Auf ketika diantara mereka terjadi peperangan. Dalam
kesempatan lain, Rasulullah juga pernah mendamaikan kasus utang-piutang antara
Ka’ab Ibn Malik dan Ibn Abi Hadrad sehingga keduanya merasa puas dengan
keputusan Rasulullah.[11]
Oleh karena itu, perdamaian adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa
al-sulh khair). Dengan demikian, perdamaian merupakan instrumen
penyelesaian yang utama.
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama
dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu pengangkatan seorang atau lebih
sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai. Orang yang menyelesaikannya disebut hakam.
Dalam sejarah Islam, lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam.
Pada saat itu, meskipun belum ada sistem peradilan yang terorganisir, setiap
ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris, dan hak-hak lainnya seringkali
diselesaiakan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk masing-masing
yang berselisih.[12]
Pada masa pra Islam, hakam atau juru damai atau arbitrase
itu harus memenuhi beberapa kualifikasi (persyaratan), antara lain harus
memiliki kekuatan supranatural dan adikodrati. Berdasarkan persyaratan ini,
pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Oleh karena itu, dalam
pemeriksaan dan penyelesaian dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan
kekuatan firasat daripada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau
pengakuan (iqrar).[13] Dalam catatan sejarah para arbiter Arab / hakam dalam
memeriksa / menyidangkan perkaranya dilaksanakan di dalam kemah-kemah yang
didirikan atau bahkan dibawah-bawah pohon. Setelah Kushai ibn Ka’ab membangun
sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke arah Ka’bah, maka
disitulah sidang-sidang hakam/arbitrase dilaksanakan dan gedung itu dikenal
sebagai Dar al-Adda’wah.[14]
Pada masa awal perkembangan Islam, tradisi penyelesaian
perkara melalui tahkim lebih berkembang di masyarakat mekkah, sebagai
pusat perdagangan untuk menyelesaiakan sengketa bisnis diantara mereka.
Demikian juga, lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai daerah agraris
untuk menyelesaikan sengketa dibidang pertanian. Sebagaimana dituturkan oleh
Syalabi, Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi rasul pernah bertindak
sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi dikalangan masyarakat mekkah
terkait dengan persoalan peletakan kembali hajar Aswad ketempat semula.[15]
Pertumbuhan sistem hakam
/ sistem arbitrase dimasa khalifah Umar ibn Khottab mengalami perkembangan
yang menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga peradilan dan tersusunnya
pokok-pokok pedoman beracara di Pengadilan / Risalah al-Qadla’ Abu Musa
al-Asy’ari, yang salah satunya adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase.[16] Pada penghujung masa al-Khulafa ar-Rasyidin masalah
hakam ini tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah atau sengketa
keluarga dan bisnis akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah politik,
perdagangan dan peperangan. Dengan demikian, wilayah yurisdiksi arbitrase
semakin luas dan fenomena yang demikian menjadikan bidang garapan badan
arbitrase pada awal masa Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan
perkembangan atau kemajuan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup ummat manusia
terhadap hukum.[17]
Sedangkan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, dalam
tradisi Islam klasik dikenal tiga lembaga kekuasaan kehakiman. Meskipun masih
dalam bentuk yang sederhana, lembaga kekuasaan kehakiman tersebut dapat
berjalan efektif dalam menangani kasus-kasus umum ( kajahatan yang ada
kaitannya dengan kepentingan masyarakat) maupun khusus (pelanggaran yang
bersifat individual) yang muncul di tengah masyarakat. Ketiga lembaga kekuasaan
kehakiman tersebut adalah al-hisbah[18],
al-mazalim[19],
dan al-qada’[20].[21]
Terkait dengan itu, untuk konteks Indoensia perkembangan
arbitrase dimulai dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI tahun 1992, Hartono
Marjono, SH, ditugasi memaparkan makalahnya tentang arbitrase berdasarkan
syari’at Islam yang kemudian mendapat sambutan baik dari kalangan peserta dan
kamudian direkomendasikan untuk ditindak lanjuti oleh MUI. Pada
tanggal 22 April
1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang para praktisi hukum termasuk dari kalangan
perguruan tinggi guna bertukar pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam.[22]
Pada rapat selanjutnya tanggal 2 Mei 1992, diundang juga
wakil dari Bank Muamalat Indonesia dan untuk selanjutnya dibentuk tim kecil
guna mempersiapkan bahan-bahan kajian untuk kemungkinannya membentuk badan
arbitrase Islam. Demikian selanjutnya dalam rakernas MUI 24-27 November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan
dengan rencana pendirian lembaga arbitrase muamalat, agar MUI segera
merealisasikan.[23]
Dalam perkembangan selanjutnya, Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) mengalami perubahan nama dan status. Dalam rekomendasi Rapat
Kerja Nasional MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah
lembaga hakam (arbitrase syari’ah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan
perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan Pengurus Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003,
maka Majelis Ulama Indonesia dengan SK nya. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30
syawal 1424/24 Desember 2004 M, menetapkan diantaranya, bahwa;[24]
nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitarse
Syari’ah Nasional (BASYARNAS), bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi
badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI, Basyarnas
dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga hakam bersifat otonom
dan independen, dan terakhir mengangkat pengurus Basyarnas.
3.
Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Adapun
yang menjadi dasar arbitrase syariah yang pertama adalah anjuran al-Qur’an tentang perlunya
“perdamaian”, yaitu QS. al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi:
وإن طائفتان
من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدهما على الأخرى فقا تلوا
التى تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما با لعدل وأقسطوا إن الله
يحب المقسطين
Artinya:“Dan
jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka
tindaklah kelompok yang berbuat aniaya itu sehingga ia kembali kepada perintah
Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[25]
Ayat
di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum muslimin yang antara lain
disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Jika perselihan
tersebut terjadi, maka harus didamaikan dengan cara yang adil. Adapun kata ashlihu
pada ayat di atas, diambil dari kata ashlaha yang asalnya shaluha.
Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata fasada
yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shuluha
berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat,
sedangkan ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan
kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.[26]
Dalam
konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam
keharmonisan hubungan. Jadi, apabila hubungan antar dua belah pihak retak atau
terganggu, maka terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang
kemanfaatn yang dapat diperoleh dari mereka. Dengan demikian, menuntut adanya ishlah
yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, sehingga terpenuhi nilai-nilai
bagi hubungan tersebut, dan dampaknya akan lahir aneka manfaat dan
kemaslahatan.[27]
Dasar
yang kedua adalah QS. an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
وإن خفتم شقاق بينهما فبعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلا حا يوفق بينهما إن الله كان عليما
خبيرا
Artinya:“Dan jika
kamu khawatir persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[28]
Ayat di atas menjelaskan
bahwa apabila ada dua pihak terjadi persengketaan, maka hendaknya diantara
kedua belah pihak yang bersengketa menunjuk seorang juru damai yang bijaksana
untuk menyelesaikan persengketaan keduanya dengan baik. Oleh karean itu, fungsi
utama hakam di sini adalah mendamaikan dan berhak menetapkan hukum sesuai
dengan kemaslahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak.[29]
Dengan demikian, melihat tafsir ayat di atas, maka sangat memungkinkan dan
relevan untuk dijadikan dasar terkait dengan pembahasan arbitrase syariah yang
sedang berkembang dewasa ini.
Dasar hukum arbitrase
selanjutnya adalah al-Hadis, selain al-Qur’an dan al-Hadis juga Ijmak (kesepakatan)
ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan praktek tahkim.
Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase dikalangan para
sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya.[30]
Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan
menyatakan:
الصلح جائز بين المسلمين الا صلحا أحل حرم أو حرام حلا لا
Artinya:”Perdamaian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal”.[31]
Selain landasan ayat di
atas, kita mengetahui bahwa pelaksanaan syariat Islam di Indonesia didasarkan
atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan
konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan
dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009.
2.Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
4. Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang
tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika melakukan
akad perjanjian. Dengan
demikian, adanya Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai
kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai
bidang kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata).
Hal itu dimaksudkan agar umat Islam
terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan ukhuwah
Islamiyah.
4.
Bentuk-Bentuk Arbitrase
Arbitrase sebagai salah
satu instrumen penyelesaian sengketa diluar peradilan resmi dan sudah lama
adanya, dalam praktek yang terjadi selama ini. Maka secara garis besar
arbitrase terdapat dua jenis Arbitrase, yaitu:
a.
Arbitrase sementara
(ad-hoc atau volunter arbitrase)
Arbitrase
ad-hoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat setelah sengketa terjadi (akta
kompromis), dimana arbiter yang dipilih adalah arbiter bukan dari institusi
arbitrase yang ada.[32] Arbitrase
ini tidak permanen / tidak melembaga, bersifat incidental dan jangka waktunya tertentu sampai dengan sengketa
diputuskan. Para pihak dapat mengatur
sendiri cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, tentang prosedur /
proses beracara, petugas administratif, dll. Dalam melaksanakannya, jenis ini
sering mendapatkan kesulitan diantaranya dalam melakukan negosiasi dan
menetapkan aturan-aturan prosudural serta menetapkan arbirternya.[33] Dengan demikian, arbitrase
ini keberadaannya
hanya untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah
sengketa selesai diputus,
maka keberadaan arbitrase ad-hoc inipun
lenyap dan berakhir
dengan sendirinya. Namun, perlu ditekankan
bahwa yang dijadikan patokan dalam pemilihan-pemilihan
dan penentuan arbiter tersebut
tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
b.
Arbitrase
institusional (lembaga Arbitrase)
Arbitrase
Institusional adalah suatu lembaga
permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan
yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang
dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.[34] Jadi,
sifat permanen tersebut merupakan salah satu pembeda dari arbitrase ad hoc.
Arbitrase institusional ini sudah dan tetap ada sebelum ada perselisihan maupun
setelah perselisihan tersebut selesai diputus. Arbitrase ini sudah memiliki
aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, termasuk dalam hal
penentuan / pengangkatan para arbiternya. Di Indonesia, terdapat dua badan
arbitrase institusional, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang
didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) tahun1977 dan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirikan serta menjadi perangkat organisasi
dari Majelis Ulama Indonesia tahun 1993.[35]
5.
Kompetensi Basyarnas Dalam Sengketa Ekonomi Syari’ah
Dalam
Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah
perjanjian di antara para pihak itu sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat
mereka sebagai undang – undang.[36]
Kompetensi
absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang
memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo[37]
ataupun akta kompromis.[38] Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun
1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya
kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku
kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal
ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara
yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase.[39]
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya
berdasarkan perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum
yang mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase
karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa,
lembaga arbitrase dapat menerima permintaan
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan
suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut.
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah
bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya
dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open system). Oleh
karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi / isi
perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.[40]
Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa
diluar pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu
perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo)
maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
terdapat persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme
arbitrase, yang berbunyi:
1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2) sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.
Namun, dalam
praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk
menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah Basyarnas
yang secara khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa sengketa
muamalah yang dihadadpi oleh umat Islam.
6.
Prosedur dan Putusan Penyelesaian Sengketa di Basyarnas
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme ADR
(Alternative Dispute Resolution) dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
dan penilaian ahli atau melalui mekanisme arbitrase, banyak dipilih oleh para
pihak yang berselisih karena beberapa alasan, diantaranya; kesukarelaan dalam
proses, prosedur cepat, rahasia, hemat waktu, hemat biaya, keputusan non
yudisial, fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, win-win
solution, tetap terpeliharanya hubungan baik antar para pihak yang
bersengketa. Para Arbirter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise)
dan putusan arbitrase bersifat final serta mengikat para pihak. Selain itu,
tidak ada kemungkinan banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase.[41]
Terkait dengan prosedur, menurut
Mertokusumo bahwa
arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan
persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka
kepada seorang wasit atau arbiter.[42] Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui
badan arbitrase adalah keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran
perkara dari segi administratif, penunjukan arbiter/majelis arbiter,
persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan kesimpulan, kemudian
diputuskan.
Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian
sengketa lembaga keuangan syariah melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu
BAMUI). Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian
sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a)
Pemeriksaan
sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara lisan
apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis
Arbiter.
b)
Arbirter
atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang
bersengketa.
c)
Pemeriksaan
atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak Arbiter
atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila
diperlukan dan disetujui para pihak.
d)
Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan
yang berbunyi “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama sengkat
sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan
alamat Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keselurhan sengketa, pendapat
masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis
Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanatangan Arbiter
atau Majelis Arbiter.
e)
Dalam
putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
f)
Apabila
pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan
sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30
hari setelah pemeriksaan ditutup.
g)
Dalam
waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap
kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu tuntutan putusan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas,
dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui
arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga
dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi
maupun peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani
arbiter bersifat final and binding artinya putusan Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat dan padanya tidak dapat
dilakukan upaya hukum apapun.
Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi
kekhilafan, atau penipuan di dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya
novum. Setelah putusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan
didaftarkan di kepeniteraan PN (Pengadilan Negeri). Bilamana putusan tidak
dilakukan secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN
(Pengadilan Negeri). Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah
tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah
Pengadilan Agama.
7.
Eksistensi
dan Problematika Hukum BASYARNAS
Berdirinya
Basyarnas berdasarkan Surat Keputusan Nomor: Kep-09/MUI
XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003, merupakan satu-satunya badan hukum yang
otonom milik MUI, yang bertujuan untuk menangani sengketa antara nasabah dan
bank syariah. Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada
badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam
dan prosedur hukum yang berlaku. Secara
legalitas keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Hal ini
disebabkan penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad
dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, proses
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat melalui jalur non ligitasi,
diantaranya melalui Basyarnas. Namun, dalam
penjelasan Pasal 55 ayat (2) point c Undang-Undang tersebut mengandung kelemahan karena ada
opsi arbitrase yang lain. Disinilah perlu sebuah ketegasan bagi umat Islam
apakah percaya dengan arbitrase syariah atau tidak sebagai alat implementasi hukum
Islam, meskipun ketentuan penjelasan
Undang-Undang ini masih memberikan peluang penyelesaian
di luar Basyarnas.[43]
Disisi
lain, eksistensi arbitrase tidak sepenuhnya independen tanpa keikut sertaan pengadilan negeri
terhadap proses arbitrase. Jurisdiksi arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun
1999 masih sangat bias dan berisi norma yang sangat ambivelen. Undang-Undang tersebut masih sangat jelas memberikan
kewenangan lebih terhadap pengadilan negeri dalam mencampuri proses arbitrase.
Oleh karena itu, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dapat
dikatakan masih sangat kuat. Akibatnya putusan arbitrase yang disebutkan dalam Undang-Undang
itu sebagai putusan yang final dan mengikat para pihak pada dasarnya sama
sekali tidak memiliki titel eksekutorial tanpa keterlibatan jurisdiksi
pengadilan.[44]
Begitu
juga halnya dengan eksistensi Basyarnas yang secara khusus merupakan sebuah
pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Masalahanya adalah apabila salah satu pihak tidak menjalankan
putusan tersebut dengan sukarela maka dapat dimintakan eksekusinya melalui
Pengadilan Agama, berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah
Agung poin 4 (empat) No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase
Syariah.[45]
Tentunya hal ini bertolak belakang dengan UU No. 30 Tahun 1999, yang secara
hirarki perundang-undangan di Indonesia berada diatas Peraturan Pemerintah.
C.
KESIMPULAN
Terlepas dari beberapa penjelasan di atas, penulis dapat
mengambil sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya proses penyelesaian sengketa
melalui sulh (perdamaian), tahkim (arbitrase) dan pengadilan, sudah ada
sejak pra Islam itu sendiri. Namun, dalam perjalanan panjang hingga saat ini,
model tersebut mengalami perubahan dan kemajuan dengan terwujudnya sistem
kelembagaan yang mengikat.
Dengan perkembangan ekonomi dan bisnis syariah dewasa
ini, tidak menutup kemungkinan akan adanya kecendrungan masyarakat atau pihak-pihak
yang bersengketa memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya di lemabaga
non-litigasi baik itu Basyarnas atau arbitrase lainnya, daripada proses
litigasi (pengadilan) menunjukkan bahwa arbitrase lebih mengedepankan asas
cepat dan sederhana dalam proses beracara dengan tidak mengesampingkan
nilai-nilai keadilan subtantansial.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa berlaku bijak
dengan memposisikan arbitrase sejajar dengan pengadilan serta bisa menjalankan
putusannya sendiri tanpa mendaftarkan putusannya pada pengadilan. Mengingat
peran arbitrase sangatlah urgen ditengah-tengah perkembangan ekonomi dan bisnis
syariah dewasa ini. Begitupun, Eksistensi Basyarnas haruslah diberikan payung
hukum yang khusus, agar mencerminkan eksistensi hukum Islam disamping sistem
hukum yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana, 2009.
Burton Simataupang, Richard, Aspek Hukum Dalam Bisnis, edisi revisi, cet. Ke-2, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2003.
Djauhari, Ahmad, Arbitrase
Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Basyarnas, 2006.
Sumitro, Warkum, Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al
Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah,
Jilid XIV, Bandung: Al-Ma’arif, 1993.
Shihab, M. Quraish, Tafsir
Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan Al-Qur’an, jilid II dan XII,
Jakarta: Lintera Hati, 2002.
Ghofur Anshori, Abdul, Penyelesaian Sengketa
Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU No.21 Tahun 2008, cet. Ke-1, Yogyakarta: UGM Press, 2010.
_____________, Perbankan Syariah Di Indonesia, cet. Ke-2, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009.
Widjaja,
Gunawan dan Ahmad, Yani, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000.
Rosyadi, Rahmat
dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Soemartono, Gatot, Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu
pengantar, Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 1999.
Suparman, Eman, Jurisdiksi
Pengadilan Negeri Terhadap Forum Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengeta Bisnis
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Lektor Kepala Hukum
Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad.
Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis
syariah “Cara Islam Selesaikan Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011.
Mardani, Penyelesaian
Sengketa Pada Lembaga KeuanganSyari’ah, Majalah Legal Review, No. 43/TH
IV/2006.
Puspa, Yan Pramadya, Kamus
Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, tt.
Makalah
Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, pdf, Hakim
Pratama Madya Pengadilan Agama
Tanjungpandan.
.
[1] Makalah
dipresentasikan dalam diskusi kelas di MSI-UII Yogyakarta pada hari Sabtu
tanggal 26 Mei 2012.
[2] Lihat dalam Majalah Sharing: Inspirator ekonomi
dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan Sengketa Ekonomi”, edisi 53
Thn V Mei 2011, hlm. 20.
[3] Richard
Burton Simataupang, “Aspek Hukum Dalam
Bisnis”, edisi revisi, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003),
hlm. 41.
[5]
Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, “Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis”,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 3, dan dalam makalah Al-Fitri,
Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, (Hakim Pratama Madya
Pengadilan Agama Tanjungpandan), Diakses Pada Tanggal 06 Mei 2012.
[6] Abdul Ghofu Anshori, “Perbankan
Syariah Di Indonesia”, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2009), hlm. 203.
[10] Zaeni Asyhadie, “Hukum Bisnis: Prinsip dab pelaksanaanya di
Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 208. Dalam Abdul Ghofur
Anshori, “Perbankan Syariah Di Indonesia,..., hlm. 204.
[11] Dalam Majalah Sharing:
Inspirator ekonomi dan bisnis syariah...., hlm. 20.
[16] Rahmat
Rosyadi dan Ngatino, “Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 52.
[17]
Dalam makalah Al-Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya,
(Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Tanjungpandan), hlm. 10. Diakses Pada
Tanggal 06 Mei 2012.
[18]Hisbah adalah lembaga resmi
negara yng diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau
pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan peradilan
untuk menyelesaikannya.
[19]Mazalim adalah bentuk jamak dari
kata al-mazlamah. Secara etimologi, mazalim artinya nama bagi
sesuatu yang diambil oleh zalim dari tangan seseorang. Berdasarkan pengertian
ini, maka badan ini dibentuk oleh pemerintah khusus untuk membela orang-rang
yang mazlum (teraniaya) akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau
keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qada’)
dan kekuasaan hisbah. Kewenanagan yang dimilikinya adalah penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakuakan oleh aparat atau pejabat
pemerintah, tindakan korupsi, dan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Orang yang berwenang menyelesaikan perkara dalam kekuasaan ini dikenal dengan
nama wali al-mazalim atau al-nazir.
[20]Qadha menurut bahasa berarti
memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti menetapkan hukum syara’
pada suatu peristiwa atau sengketa menyelesaikannya secara adil dan mengikat.
Kewenangannya menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan
masalah madaniyyah dan ahwal al-syakhsiyyah (masalah-masalah keperdataan, hukum
keluarga) dan masalah jinayat (tindak pidana). Orang yang diberi wewenang
menyelesaikan perkara pengadilan secamam ini disebut qadi (hakim).
[25] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keselarasan
Al-Qur’an”, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), jilid 13, hlm. 243.
[30] Warkum Sumitro, “Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait
(BMUI & Takaful ) di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 147.
[31] Sayyid Sabiq, “Fiqh al Sunnah”, di-Indonesia
oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih
Sunnah, Jilid XIV, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 36.
[34] Gatot Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm.
27.
[36]Dalam istilahnya
dikenal dengan asas Pacta sunt van servanda, yaitu semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. (Lihat: Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”, Semarang: Aneka
Ilmu, tt, hlm. 649)
[37]Suatu bentuk kesepakatan
para pihak jika terjadi perselisihan mereka akan menyelesaikannya melalui
arbitrase atau suatu perjanjian yang tunduk pada perwasitan. (Lihat: Yan
Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”, hlm. 649 dan Ahmad Djauhari, “Arbitrase
Syari’ah di Indonesia”, Jakarta: Basyarnas, 2006, hlm. 50).
[38] Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah suatu
sengketa terjadi. (Lihat: Ahmad Djauhari, “Arbitrase
Syari’ah di Indonesia”, hlm. 51).
[39] Cik Basir, “Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syariah”,
cet. Ke-1
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 109.
[40] Abdul
Ghofur Anshori, “Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan
UU No.21 Tahun 2008”, cet. Ke-1 (Yogyakarta: UGM Press, 2010), hlm. 68.
[41] Mardani, “Penyelesaian Sengketa Pada Lembaga KeuanganSyari’ah”,
Majalah Legal Review, No. 43/TH IV/2006, hlm. 58.
[42] Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum : Suatu
pengantar”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999), hlm. 144
[44]Eman
Suparman, “Jurisdiksi Pengadilan
Negeri Terhadap Forum Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengeta Bisnis Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”, (Lektor
Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad), hlm. 17.
[45] Bahwa dalam hal putusan badan arbitrase
syariah tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut dilaksanakan
berdasarkan perintah peradilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo
UU No. 3 Tahun 2006.