TEORI AKAD DAN
IMPLIKASINYA DALAM BISNIS ISLAM
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen
Bisnis Syariah
Dosen Pengampu: Hatifuddin, SS., SE., MSI.
Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)
Konsentrasi
Hukum Bisnis Syari’ah
Program
Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas
Islam Indonesia
Yogyakarta
2012
TEORI
AKAD DAN IMPLIKASINYA DALAM BISNIS ISLAM[1]
A.
PENDAHULUAN
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk
memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan
yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses
untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya yang lazim
disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Terkait dengan itu, al-Qur’an mengakui legitimasi
bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah
bisnis antar individu maupun kelompok. Al-Qur’an mengakui hak individu dan
kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa
paksaan. Al-Qur’an mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki
secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al-Qur’an memberikan
kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang
dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Oleh karena itu,
penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama.
Salah satu ajaran al-Qur’an yang paling penting dalam
masalah pemenuhan akad, yaitu kewajiban menghormati semua akad dan memenuhi
semua kewajiban yang telah disepakati bersama. Selain itu, al-Qur’an juga
mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban berkaitan
dengan akad yang dilakukannya. Dengan demikian, al-Qur’an memberikan pesan
bahwa setiap orang yang melakukan akad harus selalu berbuat keadilan dan
menepati janji sebagaimana yang telah disepakati bersama.
Salah
satu persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah perkembangan ekonomi dan
bisnis yang semakin pesat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam aktifitas ekonomi dan bisnis di
masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai atau asas ekonomi dan bisnis dalam
Islam. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan progresif
memiliki peran yang sangat urgen untuk menjawab berbagai macam persoalan khususnya
terkait dengan transaksi ekonomi dan bisnis yang semakin komplek.
Para
Ulama klasik sebenarnya sudah membahas berbagai persoalan ekonomi dan bisnis, termasuk
masalah asas-asas muamalah, akad dan bentuknya. Akan tetapi, melihat
perkembangan ekonomi dan bisnis di masyarakat yang semakin komplek, terutama
dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti
perbankan, BMT, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini pasti
menuntut penjustifikasian dari aspek syariah. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengkaji dan mendiskusikan
kembali mengenai teori akad dan implikasinya dalam rangka merespon perkembangan
ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan maqashid syariah.
Sebagaimana
saran para ahli hukum Islam untuk menjawab kebutuhan di atas, maka pengkajian
hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas
hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha
klasik.[2]
Dengan demikian, membahas dan mengkaji teori akad dan implikasinya sangat
penting. Karena itu merupakan syarat yang utama bagi orang yang melakukan
aktifitas ekonomi dan bisnis dan memiliki akibat hukum bagi pihak yang berakad.
Oleh karena itu, untuk pembahasan permasalah lebih fokus, maka penulis mengangkat
sebuah pertanyaan bagaimana teori akad dan implikasinya dalam bisnis Islam dan
hubungannya dengan maqashid syariah?
B.
PEMBAHASAN
Dalam rangka untuk menjawab pokok permasalahan
di atas, maka penulis dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa poin yang
terkait dengan hal tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.
Pengertian Akad
Pengertian
akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd, bentuk masdar adalah
kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti
perjanjian (yang tercatat) atau kontrak.[3]
Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd yang
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).[4] Dari pengertian
akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian yang mengikat.
Adapun pengertian akad menurut
istilah, disini ada beberapa pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili
dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin
Djuwaini bahwa akad adalah hubungan / keterkaitan antara ijab dan qabul
atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’
dan memiliki implikasi hukum tertentu.[5]
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara
ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’
yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.[6]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad adalah
suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan
keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru
bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin
ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan akad adalah
terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang
terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk membuat batasan-batasan
yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak antar pihak yang sedang
melaksanakan akad tersebut.
b.
Landasan Akad
Adapun
yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah
dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ( [5] : 1 ) yang berbunyi:
يايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود احلت لكم
بهيمة الانعام الا ما يتلى عليكم غيرمحلى الصيد وانتم حرم ان الله يحكم مايريد (سورة
الما ئدة:1)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.[7]
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”[8]
Adapun yang
dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu”
adalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan
dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat
menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini
merupakan asas ‘Uqud.[9] Dasar
kedua adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ( [4]: 29 ) yang berbunyi:
ياأيها الذين أمنوا
لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولاتقتلوا أنفسكم
إن الله كان بكم رحيما (سورة النساء:29)
Artinya:”Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.[10]
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam
transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang
diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah
sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya
dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan
sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk
menunjukkan kerelaan.[11] Sedangkan dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi
sebagai berikut:
الأصل في العقد رضى
المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد
Artinya:“Hukum
asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.[12]
Maksud dari kaidah di atas bahwa keridlaan dalam
transaksi ekonomi dan bisnis merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu,
transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak
yang melakukan transaksi.
c.
Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak
adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun
akad terdiri dari:[13]
1.
Al-‘Aqidain
(pihak-pihak yang berakad)
2.
Ma’qud
‘Alaih (objek akad)
3.
Sighat
al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.
Tujuan
akad
Berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun
akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud
dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok
tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan
kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan
esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun
demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad
merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar
esensi akad, para pihak dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.[14]
Berdasarkan beberapa rukun di atas, agar akad dapat terbentuk dan
mengikat antar para pihak maka dibutuhkan beberapa syarat akad. Oleh karena
itu, rukun dan syarat akad tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. al-‘Aqidain
(pihak-pihak yang berakad).
Yaitu
pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya dalam hal jual beli mereka
adalah penjual dan pembeli. Terkait dengan ini, Ulama fiqh memberikan syarat
atau kriteria yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad, yakni ia harus
memiliki ahliyah dan wilayah.[15] Ahliyah memiliki
pengertian bahwa keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan
transaksi, seperti baligh dan berkala.[16] Dalam hal ini ahliyah (kecakapan)
dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul
wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut
dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif.[17]
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah
kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris,
hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan
dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia
secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih
berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan,
kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk
menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk
menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima
hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir,
barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni
cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja
kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian
meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa.[18]
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah
kecakapan seseorang untuk melakukan tasharruf (tindakan hukum) dan
dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut,
yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah
kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan
kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari
kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan
antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan
sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz
ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya
hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan
bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul
ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat
dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul
ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal
sehat.[19]
Sedangkan
wilayah dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan seseorang yang
mendapat legalitas syari’ untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu.
Artinya, orang tersebut merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek
transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya.[20] Berdasarkan kedua syarat di atas, setiap transaksi yang tidak
memenuhi kedua syarat yaitu ahliyah dan wilayah maka orang yang
melakukan transaksi atau akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara’ dan
dinyatakan batal.
2. al-Ma’qud
‘Alaih (objek akad).
Yaitu
objek akad dimana transaksi dilakukan atasnya, sehingga akan terdapat implikasi
hukum tertentu. Objek akad ini bisa berupa aset-aset finansial (sesuatu yang
berrnilai ekonomis) atau aset non finansial, seperti wanita dalam akad
pernikahan, ataupun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad sewa-menyewa,
jual beli, dan lain-lain.[21] Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan
objek akad ia memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Objek akad harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak
diperbolehkan bertransaksi atas objek yang belum jelas.[22]
Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW
yang melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak
ada.[23] Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai
Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku hendak membeli sesuatu yang tidak
ada padaku. Lalu aku menjual barang dari pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya:“Janganlah
engkau menjual apa yang tidak ada padamu” (HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan
Nabi SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup
apa yang tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli
akibat tidak adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya.[24] Dengan demikian, jelas bahwa semua barang
yang tidak ada atau bukan miliknya tidak dapat diserahkan atau diperjualbelikan.
Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, yang membolehkan objek akad tidak ada saat
kontrak, namun objek tersebut harus dapat dipastikan adanya kemudian hari,
sehingga bisa diserahterimakan.[25]
Terkait
dengan itu, ulama fiqh mengecualikan beberapa bentuk akad yang barangnya belum
ada. Seperti jual beli pesanan (salam), istisna’, ijarah,
dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya).[26] Alasan pengecualiaan ini adalah karena
akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat
kebiasaan (‘urf )[27] melakukan akad-akad seperti ini.[28] Berdasarkan perbedaan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa objek
akad yang tidak ada pada waktu akad, namun dapat dipastikan ada di kemudian
hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, jika objek yang tidak ada pada waktu
akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
b. Objek akad harus berupa mal mutaqawwim (harta
yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya.[29] Misalnya dalam akad jual beli, barang yang diperjualbelikan harus
merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli.
Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karena
itu, keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli
antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Begitu
juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang masih
dalam lautan dan burung di angkasa.[30]
Atau juga benda-benda negara yang
tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memenuhi syarat objek akad
perseorangan, seperti hutan, jembatan, dan sungai.[31]
c.
Adanya
kejelasan tentang objek akad. Dalam arti, barang tersebut diketahui secara
detail oleh kadua belah pihak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
perselisihan dikemudian hari.[32] Artinya, bahwa objek akad tersebut tidak mengandung unsur ghara[33] dan bersifat majhul
(tidak diketahui).
d.
Objek
akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan kemudian
hari.[34] Dengan demikian, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki, namun
tidak bisa diserahterimakan, maka akad tersebut dinyatakan batal.
3.
Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
Sighat
al-‘Aqd merupakan ungkapan yang menunjukkan
kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak / akad.[35] Dalam hal ini, adanya kesesuain ijab dan kabul (munculnya
kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majelis akad.[36] Satu majelis di sini diartikan sebagai suatu kondisi yang
memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan
dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesepakatan antara
kedua pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari keduanya.[37] Sighat al-‘Aqd (Ijab dan kabul) dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk (sighat) yang dapat menunjukkan kehendak dan
kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan, tindakan, isyarat, ataupun
koresponden.[38] Namun, seiring dengan perekembangan kebutuhan
masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa
menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Artinya,
terjadi pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati).[39] Misalnya, jual beli yang terjadi di supermarket
yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga
barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli
pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa
antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad
terjadi.[40] Dengan demikian, dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa
ucapan dapat diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan yang terpenting
juga adalah ucapan / ungkapan tersebut bisa mewakili maksud dan tujuan akad.
4.
Tujuan
Akad
Tujuan
akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga dengan adanya akad yang
dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, tujuan merupakan hal yang
penting karena ini akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu.[41] Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang berbeda.
Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada
pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa),
tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah
sewa. Motif[42] yang dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan
akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak
diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad.[43] Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad
sewa tetap sah dan penyewa berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta
berkewajiban untuk membayar upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan
menggunakan gedung atau rumah tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan
demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif tidak bisa
membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir akad tersebut
tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif seperti ini
dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan syara’.
Dari penjelasan mengenai rukun dan
syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan
unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama
merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam
menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.
e.
Pembagian Akad
Menurut para ulama fiqh mengemukakan bahwa pembagian akad bisa
dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya adalah dari segi keabsahan
menurut syara’ dan dari segi bernama dan tidak bernama. Adapun beberapa sudut
pandang tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Dari
segi keabsahannya secara syara’, di
sini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu akad sahih dan akad tidak sahih. Akad
sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum
dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan
akad dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.[44] Sedangkan akad tidak sahih adalah akad yang terdapat
kekurangan pada rukun dan syarat-syaratnya, sehingga seluruh akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.[45] Terkait dengan akad tidak sahih mazhab Hanafi membagi
menjadi dua macam, yaitu akad yang batil dan akad yang fasid. Suatu akad
dikatakan batil apabila akad tersebut tidak memenuhi salah satu rukunnya atau
ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli tidak jelas
atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan atau salah satu
pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad dikatakan fasid
suatu akad yang pada dasarnya di syariatkan, tapi sifat yang diakadkan itu tidak
jelas. Mislanya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan
tipe, jenis, dan bentuk rumah dan kendaraan yang dijual tidak disebutkan,
sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.[46] Dengan demikian, agar akad tersebut tidak dikatakan fasid maka
objek akad terlebih dahulu harus dijelaskan oleh penjual kepada pembeli.
2.
Dari
segi akad bernama, adalah yang
tujuan dan namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum dan ditentukan pula
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap
akad lain. Adapun tujuan akad bernama ini diantaranya; (a) pemindahan hak milik
dengan imbalan maupun tanpa imbalan, (b) melakukan pekerjaan, (c) melakukan
persekutuan, (d) melakukan pendelegasian (e) melakukan penjaminan.[47] Dalam akad bernama ini, ulama berbeda pendapat dalam
mengklasifikasikan hal tersebut. Pendapat pertama dikemukakan al-kasani[48] bahwa akad bernama dalam 18 (delapan jenis), yaitu; al-Ijarah (sewa-menyawa),
al-Istishna’ (penempaan), al-Bai’ (jual beli), al-Kafalah (penanggungan),
al-Hawalah (pemindahan hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh
(perdamaian), al-Syirkah (persekutuan), al-Mudharabah (bagi
hasil), al-Hibah (hibah), al-Rahn (gadai), al-Muzara’ah (penggarapan
tanah), al-Musaqah (pemeliharaan tanaman), al-Wadi’ah (titipan), al-Riyah
(pinjaman pakai), al-Qismah (pembagian), al-Washaya (wasiat),
al-Qard (pinjaman penganti). Sedangkan Wahbah al-Zuhaily[49] membagi ke
dalam 13 (tiga belas) jenis akad, yaitu; al-Ijarah (sewa-menyewa), al-Bai’
(jual beli), al-Kafalah (penanggungan), al-Hawalah (pemindahan
hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh (perdamaian), al-Syirkah
(persekutuan), al-Hibah (hibah), al-Wadi’ah (penitipan), al-Rahn
(gadai), al-I’arah (pinjam pakai), al-Ju’alah (janji imbalan), al-Qardl
(pinjam mengganti).
Berbeda dengan ahli hukum Islam
klasik Musthafa Ahmad al-Zarqa[50] yang menurut perhitungannya mebagai akad bernama menjadi 25
(duapuluh lima) jeni, yaitu; al-Ijarah (sewa-menyawa), Bai’ al-Wafa (jual
beli opsi), al-Bai’ (jual beli), al-Kafalah (penanggungan), al-Hawalah
(pemindahan hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh
(perdamaian), al-Tahkim (arbitrase), al-Mukharajah (pelepasan hak
kewarisan), al-Syirkah (persekutuan), al-Mudharabah (bagi hasil),
al-Hibah (hibah), al-Rahn (gadai), al-Muzara’ah (penggarapan
tanah), al-Musaqah (pemeliharaan tanaman), al-Wadi’ah (titipan), al-Riyah
(pinjaman pakai), al-Qismah (pembagian), al-Washaya (wasiat),
al-Qard (pinjaman penganti), al-‘Umra (pemberian hak pakai
rumah), al-Muwalah (penetapan ahli waris), al-Qalah (pemutusan
perjanjian atas kesepakatan), al-Zawaj (perkawinan), dan terakhir al-Isha’
(pengangkatan pengampu).
Dari pembagian di atas, penulis
tidak menjelaskan satu persatu karena penulis disini hanya membahas teori akad dan
implikasinya secara umum dan hubungannya dengan maqashid syariah. Namun,
perlu di catat bahwa dari pebagian akad tersebut ada yang bersifat kehendak
pribadi yang tidak melibatkan kedua belah pihak dalam mewujudkan akibat hukum.
Akan tetapi, ada juga akad yang melibatkan kedua belah pihak yang akibat
hukumnya akan berimplikasi kepada kedua belah pihak yang melakukan akad.
f.
Implikasi Akad
Menurut ulama fiqh setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu
tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula.[51] Artinya setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan akad,
memiliki tujuan dasar, memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti
perpindahan kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa
dalam akad ijarah (sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn,
dan lainnya. Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara
pihak yang berakad.[52] Misalnya dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk
menyerahkan uang sebagai harga atas objek akad dan berhak mendapatkan barang.
Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, dan berhak
menerima uang sebagai konpensasi barang. Demikian juga akad-akad yang lain
pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad yang dibentuk oleh kedua
belah pihak.
g.
Asas Akad dan Maqashid Syariah
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih mu’amalah.
Jika fikih muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara
umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut
pemenuhan kebutuhan ekonominya.[53] Dalam pandangan fiqh muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan
oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu. Asas ini
merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad
dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan.[54] Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Asas
ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya
berlaku kaidah fiqh:
ا
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم[55]
“pada
dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”
Kaidah di atas
memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan
berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal
dalam hukum Islam.
2.
Asas
kebebasan; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu,
memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban
umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi
bebas dengan persyaratan tertentu.[56] Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat
29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat
tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama,
hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah
keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain.[57] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak
dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi
batal.
3.
Asas
konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian
cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu.[58] Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada
format. Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan
ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
4.
Asas
keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara
orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang
diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko.[59] Artinya, bahwa sese orang yang melakukan transaksi harus
menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian,
larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu,
juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak.
Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal, sebagaimana
hadis Rasulullah Saw. yang dikutip oleh Imam Nakha’i dan M. Asra Maksum dari
kitab al-Muwatta’ Imam Malik yang
berbunyi:[60]
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاضرر ولا ضرار
Artiinya:”Sesungguhnya Rasulullah
Saw. bersabda, tidak boleh melakukan darar baik kepada diri sendiri maupun
kepada orang lain”. (HR. Imam Malik).
5.
Asas
kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.[61] Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat,
berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat
dan kebaikan. Sedangkan dalam ushul fiqh bahwa maslahah adalah setiap
hal yang menjamin terwujudnya dan terpeliharanya maksud tujuan syari’at (maqashid
syariah), yaitu hifz al-din (memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara
jiwa), hifz ’aql (memelihara akal), hifz nasl (memelihara
keturunan), dan hifz al-mal (memelihara harta).[62] Dengan demikian, asas ini bisa dijadikan alasan untuk melarang
setiap transaksi yang mendatangkan mudharat, baik kepada kedua belah pihak yang
bertransaksi atau kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
6.
Asas
amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik
dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi
ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah
ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya
untuk mengambil keputusan.[63]Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak
sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut
bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
7.
Asas
keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para
pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah
keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul
akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan
ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu
asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu.[64] Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa
mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul
rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.
C.
KESIMPULAN
Terlepas
dari semua penjelasan di atas, maka penulis di sini dapat mengambil sebuah
kesimpulan bahwa teori akad merupakan salah satu aspek yang penting untuk
dikaji dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa
ini khususnya bagi para akademisi dan pemerhati ekonomi dan bisnis Islam. Karena akad tersebut menentukan sah dan
tidaknya transaksi yang dilakukan. Selain itu, perlu diperhatikan juga adalah
implikasi hukum terhadap para pihak yang melakukan transaksi setelah akad
tersebut terbentuk. Oleh karena
itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya memperhatikan asas-asas akad yang telah dijelaskan di
atas. Sehingga
transaksi yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad dan sesuai dengan maqashid syariah. Jadi, antara aktivitas atau transaksi
ekonomi dan bisnis dengan maqashid syariah tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir,
A. W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah,
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.
Djuwaini,
Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Afandi,
Yazid, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid
IV, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
Basyir,
Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori
Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
----------------------, Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian
Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek),
Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996.
Haroen,
Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Muhammad,
Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press,
2009.
Dahlan,
Abdul Aziz dan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam”, Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeva, 2001, jilid 1.
Sudarsono, Heri dan Yogi Praboyo, Hendi, Istlah-Istilah
Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2006.
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Ciputat: Lintera Hati, 2001, jilid 2 dan 3.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II
Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993, Juz VI.
Haq,
Abdul dan dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku
Pertama, Surabaya: Khalista, 2006.
Nakha’i,
Imam dan Ma’sum, Moh. Asra, Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah, Situbondo: Ibrahimy
Press, 2011.
Khafifuddin,
M, Metodologi Kajian Fiqh, cet ke
2, Situbondo: Ibrahimy Press, 2011.
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta :
Kencana, 2006.
http://mtaufiknt.wordpress.com/.../hal-hal-terlarang-dalam-bisnis-2-perjudi...diakses pada tanggal 02 Maret 2012.
www.sharianomics.net/2011/04/konsep-dasar-istishna.html diakses tanggal 02 Maret 2012.
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/view/153/118
diakses pada tanggal 02 Maret 2012.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,
Semarang : CV. Toha Putra Semarang, 1989.
-------------------------------,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema,
2009.
[1]
Dipresentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah Manajemen Bisnis Syariah di
MSI-UII Yogyakarta pada hari Ahad tanggal 29 April 2012.
[2]
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Dalam Islam;
Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak
(Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996, hlm. 3.
[3]
A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953.
[4]
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeva, 2001), jilid 1, hlm. 63.
[5]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. 48.
[6]
T.M.
Hasbi Ash-Shieddieqy, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1984), hlm. 21.
[7]
Al-‘Uqud adalah jamak ‘aqd/akad yang pada mulanya berarti
mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak
berpisah dengannya. Jual beli misalnya adalah salah satu bentuk akad, yang
menjadikan barang yang dibeli menjadi milik pembelinya, dia dapat melakukan apa
saja dengan barang itu dan pemilik semula, yakni menjualnya, dengan akad jual
beli tidak lagi memiliki wewenang sedikitpun atas barang yang telah dijualnya.
(Lihat: M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an”, (Ciputat: Lintera Hati, 2001), jilid 3, hlm. 6-7).
[8] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”,
(Semarang : CV. Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 156.
[9]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, “Tafsir Al-Maraghi”,
diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II
(Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993), Juz VI, hlm. 81.
[10]
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, (Jakarta: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 83.
[11]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an”, (Ciputat: Lintera Hati, 2001), jilid 2, hlm. 413.
[12]
A.
Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis”, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 130.
[13]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34.
[14]
Ibid.
[15]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 55-56.
[16]
Ibid.
[17]
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah, Studi
tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”, ( Jakarta: Rajawali Pers.,
2007), hlm. 109.
[18]
Ibid, hlm. 111.
[19]
Wahbah Az-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu”, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Jilid IV, hlm. 121-122.
[20]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 56.
[21]
Ibid, hlm. 57.
[22]
Ibid.
[23]http://mtaufiknt.wordpress.com/.../hal-hal-terlarang-dalam-bisnis-2-perjudi...diakses pada tanggal 02 Maret
2012.
[24]
Ibid.
[25]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[26]
Salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari,
sedangkan pembayarannya di muka. (Lihat: Heri Sudarsono dan Hendi Yogi Praboyo,
“Istlah-Istilah Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, (Yogyakarta: UII Press,
2006), cet IV, hlm. 144), Istisna’
adalah adalah
kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah
pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem
pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem
pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.(Lihat: www.sharianomics.net/2011/04/konsep-dasar-istishna.html
diakses tanggal
02 Maret 2012), dan Ijarah
adalah perpindahan kepemilikan jasa dengan imbalan yang sudah disepakati
menurut para fuqaha. (Lihat: Heri Sudarsono dan Hendi Yogi Praboyo, “Istlah-Istilah
Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 53).
[27]
Istilah ‘adat dan ‘urf meruapakan dua kata yang sangat akrab di
telinga. Jika ditelusuri secara etimologi, istilah al-‘adah terbentuk
dari kata masdar (kata benda/noun) al-‘awd dan al-mu’awadah
yang kurang lebih berarti “pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf
terbentuk dari akar kata al-muta’aruf yang mempunyai makna “saling
mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat adalah akumulasi dari
pengulangan aktivitas yang berlangsung terus-menerus, yang disebut dengan al-‘awd
wa al-mu’adah. Sedangkan ‘adat dan ‘urf secara terminologis
tidak mempunyai perbedaan prinsipil. Artinya, penggunaan istilah ‘urf dan
‘adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum
yang berbeda pula. Ulama fiqh mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang
dilakukan banyak orang dan timbul dari kreatifitas-imajinatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya. Sedangkan ‘adat diartikan sebagai tradisi
secara umum tanpa memandang apakah dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki
perbedaan, yaitu bahwa ‘adat hanya menekankan aspek pengulangan
pekerjaan, sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu, ‘adat
bisa dilakukan oleh pribadi atau kelompok, sementara ‘urf harus
dijalani oleh keolompok atau komonitas tertentu. Adapun perbedaan keduanya
adalah ‘adat dan ‘urf merupakan sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai
dengan karakter pelakunya. (Lihat: Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh;
Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, Buku Pertama, (Surabaya: Khalista, 2006),
cet ke II, hlm. 274- 276).
[28]
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm. 65.
[29]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[30]
Ibid.
[31]
Ahmad Azhar Basyir, “ Asas-asas Hukum
Muamalat”, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 52.
[32]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[33]
Gharar adalah transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan/ atau tipuan
dari salah satu pihak. (Lihat: Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan
Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 261.
[34]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[35]
Ibid, hlm. 51.
[36]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 35.
[37]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 55.
[38]
Ibid, hlm. 51.
[39]
http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/view/153/118
diakses pada tanggal 02 Maret 2012.
[40]
Ibid.
[41]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 59.
[42]
Abdur Razaq as-Sanhuri menganggap bahwa kausa adalah
motif. Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus,
namun dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat
dirumuskan. Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut,
terlihat hukum Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan.
Pertama, hukum Islam yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih
mementingkan dan memberikan perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada
kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat
dan tidak berkembang. Kedua, hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan
prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber
dari agama itu sendiri. Di sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di
mana ia digunakan untuk mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam
melakukan perjanjian. (Lihat: http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/view/153/118
diakses pada tanggal 02 Maret 2012).
[43]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 59.
[44]
Nasrun Haroen, “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet
2, hlm. 106.
[45]
Ibid, hlm. 108.
[46]
Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm. 68.
[47]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 38.
[48]
Ibid, hlm. 39. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Al-Kasani kitab Bada’i
al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, (Mesir: Mathba’ah al-Jamaliyah, 1910),
jilid V, hlm. 295.
[49]
Ibid, hlm. 40. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Wahbah al-Zuhaily kitab
al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), jilid IV,
hlm. 84.
[50]
Ibid, hlm. 41. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Musthafa Ahmad
al-Zarqa kitab al-Fiqh al-Islami fi tsaubihi al-Jadid; al-Madkhal al-Fiqh
al-Amm, (Bairut: Daral Fikr, 1968), jilid 1, hlm. 538.
[51]
Muhammad, “Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah”, (Yogyakarta:
UII Press, 2009), hlm. 29.
[52]
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 64-65.
[53]
M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”, cet ke 2, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2011), hlm.
13.
[54]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 46-47.
[55]
Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”,
(Situbondo:Ibrahimy Press, 2011), hlm. 63.
[56]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 47.
[57]
M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”, cet ke 2, hlm. 15.
[58]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 48.
[59]
Ibid.
[60]
Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm.
17.
[61]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 48-49.
[62]
Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm.
236.
[63]
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah”, hlm. 49.
[64]
Ibid.
mantaf kek,, ken sayang kamu sombong dg saya.. apa sya punya salah y.. maaf ea klo punya salah
BalasHapusmakalah yang berkualitas
BalasHapusDear brides and grooms to be
BalasHapusSalam hangat dari HIS Seskoad Grand Ballroom Bandung.
Kami dengan bangga mempersembahkan venue terbaru kami yaitu “HIS Seskoad Grand Ballroom”, Gedung seskoad yang berletak strategis nan mewah yang menjadi favorit para calon pengantin ini kini berada di naungan HIS, untuk itu fasilitas yang terdapat di gedung seskoad grand ballroom kini berstandard seperti gedung HIS lainnya, “Ballroom full karpet eksklusif, AC, Lampu Kristal, dan design ruangan yang elegan&mewah”. Selain gedung, kami juga bekerjasama dengan banyak pilihan vendor ternama di Bandung, mulai dari catering, busana&MUA, dekorasi, music & entertainment, fotografi&videografi, MC, wedding car, hingga pelayanan yang kami miliki untuk membantu calon pengantin dari awal sampai akhir yaitu, Wedding Public Relations, Wedding Planner, dan Wedding Executor. Dengan sistem “One Stop Wedding Service”, Kami pastikan akan memberikan pelayanan terbaik dalam membantu dari awal hingga di hari Bahagia akang teteh
Untuk itu kami mengundang akang teteh calon pengantin, untuk datang ke pre-launching HIS Seskoad Ballroom kami, dan segera dapatkan HARGA PRE-LAUNCHING yang pasti akan sangat worth it dengan fasilitas dan pelayanan yang kami berikan serta BONUS FANTASTIS! untuk akang teteh calon pengantin Cuma di HIS SESKOAD GRAND BALLROOM.
For more info and detail call :
Wedding Public Relations HIS Seskoad Grand Ballroom
Jl. Gatot Subroto No. 96 Bandung.
Giyan : 082261170022 (WA)
INSTAGRAM : @his_seskoad @giyanti.hisseskoad
See u brides and grooms to be!
-HIS Wedding Venue Organizer-
Lucky Club Casino site! - Get luckyclub.live
BalasHapusLucky club is a casino in Malta and it is owned by a gaming company that operates a number of casinos that offer luckyclub games and casino games. It