Selasa, 01 Mei 2012

TEORI AKAD DAN IMPLIKASINYA DALAM BISNIS ISLAM


TEORI AKAD DAN IMPLIKASINYA DALAM BISNIS ISLAM
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Bisnis Syariah

Dosen Pengampu: Hatifuddin, SS., SE., MSI.




Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)



Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2012

 
TEORI AKAD DAN IMPLIKASINYA DALAM BISNIS ISLAM[1]

A.  PENDAHULUAN
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya yang lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Terkait dengan itu, al-Qur’an mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok. Al-Qur’an mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al-Qur’an mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al-Qur’an memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama.
Salah satu ajaran al-Qur’an yang paling penting dalam masalah pemenuhan akad, yaitu kewajiban menghormati semua akad dan memenuhi semua kewajiban yang telah disepakati bersama. Selain itu, al-Qur’an juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban berkaitan dengan akad yang dilakukannya. Dengan demikian, al-Qur’an memberikan pesan bahwa setiap orang yang melakukan akad harus selalu berbuat keadilan dan menepati janji sebagaimana yang telah disepakati bersama.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah perkembangan ekonomi dan bisnis yang semakin pesat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam aktifitas ekonomi dan bisnis di masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai atau asas ekonomi dan bisnis dalam Islam. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan progresif memiliki peran yang sangat urgen untuk menjawab berbagai macam persoalan khususnya terkait dengan transaksi ekonomi dan bisnis yang semakin komplek.
Para Ulama klasik sebenarnya sudah membahas berbagai persoalan ekonomi dan bisnis, termasuk masalah asas-asas muamalah, akad dan bentuknya. Akan tetapi, melihat perkembangan ekonomi dan bisnis di masyarakat yang semakin komplek, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, BMT, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini pasti menuntut penjustifikasian dari aspek syariah. Oleh karena itu, perlu  kiranya untuk mengkaji dan mendiskusikan kembali mengenai teori akad dan implikasinya dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis yang sesuai dengan maqashid syariah.
Sebagaimana saran para ahli hukum Islam untuk menjawab kebutuhan di atas, maka pengkajian hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik.[2] Dengan demikian, membahas dan mengkaji teori akad dan implikasinya sangat penting. Karena itu merupakan syarat yang utama bagi orang yang melakukan aktifitas ekonomi dan bisnis dan memiliki akibat hukum bagi pihak yang berakad. Oleh karena itu, untuk pembahasan permasalah lebih fokus, maka penulis mengangkat sebuah pertanyaan bagaimana teori akad dan implikasinya dalam bisnis Islam dan hubungannya dengan maqashid syariah?
B.  PEMBAHASAN
Dalam rangka untuk menjawab pokok permasalahan di atas, maka penulis dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa poin yang terkait dengan hal tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.    Pengertian Akad
Pengertian akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd, bentuk masdar adalah kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti perjanjian (yang tercatat) atau kontrak.[3] Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq).[4] Dari pengertian akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian yang mengikat.
Adapun pengertian akad menurut istilah, disini ada beberapa pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa akad adalah hubungan / keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.[5] Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.[6] Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.
b.   Landasan Akad
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ( [5] : 1 ) yang berbunyi:
يايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود احلت لكم بهيمة الانعام الا ما يتلى عليكم غيرمحلى الصيد وانتم حرم ان الله يحكم مايريد (سورة الما ئدة:1)
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.[7] dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”[8]
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud.[9] Dasar kedua adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ( [4]: 29 ) yang berbunyi:
ياأيها الذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولاتقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما (سورة النساء:29)
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.[10]
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.[11] Sedangkan dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:
الأصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد
Artinya:“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.[12]
Maksud dari kaidah di atas bahwa keridlaan dalam transaksi ekonomi dan bisnis merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
c.    Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari:[13]
1.      Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.      Ma’qud ‘Alaih (objek akad)
3.      Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.      Tujuan akad
Berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar esensi akad, para pihak dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.[14]
Berdasarkan beberapa rukun di atas, agar akad dapat terbentuk dan mengikat antar para pihak maka dibutuhkan beberapa syarat akad. Oleh karena itu, rukun dan syarat akad tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).
Yaitu pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Terkait dengan ini, Ulama fiqh memberikan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad, yakni ia harus memiliki ahliyah dan wilayah.[15] Ahliyah memiliki pengertian bahwa keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi, seperti baligh dan berkala.[16] Dalam hal ini ahliyah (kecakapan) dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif.[17]
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa.[18]
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan tasharruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat.[19]
Sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syari’ untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu. Artinya, orang tersebut merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya.[20] Berdasarkan kedua syarat di atas, setiap transaksi yang tidak memenuhi kedua syarat yaitu ahliyah dan wilayah maka orang yang melakukan transaksi atau akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara’ dan dinyatakan batal.
2. al-Ma’qud ‘Alaih (objek akad).
Yaitu objek akad dimana transaksi dilakukan atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Objek akad ini bisa berupa aset-aset finansial (sesuatu yang berrnilai ekonomis) atau aset non finansial, seperti wanita dalam akad pernikahan, ataupun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad sewa-menyewa, jual beli, dan lain-lain.[21] Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a.    Objek akad harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak diperbolehkan bertransaksi atas objek yang belum jelas.[22] Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW yang melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak ada.[23] Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku hendak membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual barang dari pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya:“Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu” (HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan Nabi SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup apa yang tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli akibat tidak adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya.[24] Dengan demikian, jelas bahwa semua barang yang tidak ada atau bukan miliknya tidak dapat diserahkan atau diperjualbelikan. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, yang membolehkan objek akad tidak ada saat kontrak, namun objek tersebut harus dapat dipastikan adanya kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan.[25]
Terkait dengan itu, ulama fiqh mengecualikan beberapa bentuk akad yang barangnya belum ada. Seperti jual beli pesanan (salam), istisna’, ijarah, dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya).[26] Alasan pengecualiaan ini adalah karena akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan (‘urf )[27] melakukan akad-akad seperti ini.[28] Berdasarkan perbedaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa objek akad yang tidak ada pada waktu akad, namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, jika objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
b.    Objek akad harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.[29] Misalnya dalam akad jual beli, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Begitu juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang masih dalam lautan dan burung di angkasa.[30] Atau  juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memenuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan, dan sungai.[31]
c.    Adanya kejelasan tentang objek akad. Dalam arti, barang tersebut diketahui secara detail oleh kadua belah pihak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari.[32] Artinya, bahwa objek akad tersebut tidak mengandung unsur ghara[33] dan bersifat majhul (tidak diketahui).
d.   Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan kemudian hari.[34] Dengan demikian, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad tersebut dinyatakan batal.
3.  Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
Sighat al-‘Aqd merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak / akad.[35] Dalam hal ini, adanya kesesuain ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majelis akad.[36] Satu majelis di sini diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesepakatan antara kedua pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari keduanya.[37] Sighat al-‘Aqd (Ijab dan kabul) dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk (sighat) yang dapat menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan, tindakan, isyarat, ataupun koresponden.[38] Namun, seiring dengan perekembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Artinya, terjadi pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati).[39] Misalnya, jual beli yang terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi.[40] Dengan demikian, dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa ucapan dapat diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan yang terpenting juga adalah ucapan / ungkapan tersebut bisa mewakili maksud dan tujuan akad.
4.    Tujuan Akad
Tujuan akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga dengan adanya akad yang dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, tujuan merupakan hal yang penting karena ini akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu.[41] Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang berbeda. Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah sewa. Motif[42] yang dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad.[43] Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad sewa tetap sah dan penyewa berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan menggunakan gedung atau rumah tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif tidak bisa membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir akad tersebut tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif seperti ini dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan syara’.  Dari penjelasan mengenai rukun dan syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.    
e.    Pembagian Akad
Menurut para ulama fiqh mengemukakan bahwa pembagian akad bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya adalah dari segi keabsahan menurut syara’ dan dari segi bernama dan tidak bernama. Adapun beberapa sudut pandang tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1.    Dari segi keabsahannya secara syara’, di sini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu akad sahih dan akad tidak sahih. Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.[44] Sedangkan akad tidak sahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syarat-syaratnya, sehingga seluruh akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.[45] Terkait dengan akad tidak sahih mazhab Hanafi membagi menjadi dua macam, yaitu akad yang batil dan akad yang fasid. Suatu akad dikatakan batil apabila akad tersebut tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli tidak jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad dikatakan fasid suatu akad yang pada dasarnya di syariatkan, tapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Mislanya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah dan kendaraan yang dijual tidak disebutkan, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.[46] Dengan demikian, agar akad tersebut tidak dikatakan fasid maka objek akad terlebih dahulu harus dijelaskan oleh penjual kepada pembeli.
2.    Dari segi akad bernama, adalah yang tujuan dan namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Adapun tujuan akad bernama ini diantaranya; (a) pemindahan hak milik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, (b) melakukan pekerjaan, (c) melakukan persekutuan, (d) melakukan pendelegasian (e) melakukan penjaminan.[47] Dalam akad bernama ini, ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hal tersebut. Pendapat pertama dikemukakan al-kasani[48] bahwa akad bernama dalam 18 (delapan jenis), yaitu; al-Ijarah (sewa-menyawa), al-Istishna’ (penempaan), al-Bai’ (jual beli), al-Kafalah (penanggungan), al-Hawalah (pemindahan hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh (perdamaian), al-Syirkah (persekutuan), al-Mudharabah (bagi hasil), al-Hibah (hibah), al-Rahn (gadai), al-Muzara’ah (penggarapan tanah), al-Musaqah (pemeliharaan tanaman), al-Wadi’ah (titipan), al-Riyah (pinjaman pakai), al-Qismah (pembagian), al-Washaya (wasiat), al-Qard (pinjaman penganti). Sedangkan Wahbah al-Zuhaily[49] membagi ke dalam 13 (tiga belas) jenis akad, yaitu; al-Ijarah (sewa-menyewa), al-Bai’ (jual beli), al-Kafalah (penanggungan), al-Hawalah (pemindahan hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh (perdamaian), al-Syirkah (persekutuan), al-Hibah (hibah), al-Wadi’ah (penitipan), al-Rahn (gadai), al-I’arah (pinjam pakai), al-Ju’alah (janji imbalan), al-Qardl (pinjam mengganti).
Berbeda dengan ahli hukum Islam klasik Musthafa Ahmad al-Zarqa[50] yang menurut perhitungannya mebagai akad bernama menjadi 25 (duapuluh lima) jeni, yaitu; al-Ijarah (sewa-menyawa), Bai’ al-Wafa (jual beli opsi), al-Bai’ (jual beli), al-Kafalah (penanggungan), al-Hawalah (pemindahan hutang), al-Wakalah (pemberian kuasa), al-Shulh (perdamaian), al-Tahkim (arbitrase), al-Mukharajah (pelepasan hak kewarisan), al-Syirkah (persekutuan), al-Mudharabah (bagi hasil), al-Hibah (hibah), al-Rahn (gadai), al-Muzara’ah (penggarapan tanah), al-Musaqah (pemeliharaan tanaman), al-Wadi’ah (titipan), al-Riyah (pinjaman pakai), al-Qismah (pembagian), al-Washaya (wasiat), al-Qard (pinjaman penganti), al-‘Umra (pemberian hak pakai rumah), al-Muwalah (penetapan ahli waris), al-Qalah (pemutusan perjanjian atas kesepakatan), al-Zawaj (perkawinan), dan terakhir al-Isha’ (pengangkatan pengampu).
Dari pembagian di atas, penulis tidak menjelaskan satu persatu karena penulis disini hanya membahas teori akad dan implikasinya secara umum dan hubungannya dengan maqashid syariah. Namun, perlu di catat bahwa dari pebagian akad tersebut ada yang bersifat kehendak pribadi yang tidak melibatkan kedua belah pihak dalam mewujudkan akibat hukum. Akan tetapi, ada juga akad yang melibatkan kedua belah pihak yang akibat hukumnya akan berimplikasi kepada kedua belah pihak yang melakukan akad.
f.     Implikasi Akad
Menurut ulama fiqh setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula.[51] Artinya setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan akad, memiliki tujuan dasar, memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti perpindahan kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalam akad ijarah (sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya. Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antara pihak yang berakad.[52] Misalnya dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas objek akad dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, dan berhak menerima uang sebagai konpensasi barang. Demikian juga akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad yang dibentuk oleh kedua belah pihak.

 
g.    Asas Akad dan Maqashid Syariah
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih mu’amalah. Jika fikih muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya.[53] Dalam pandangan fiqh muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu. Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan.[54] Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:  
1.    Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh:
ا الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم[55]
pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam.
2.    Asas kebebasan; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu.[56] Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama, hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain.[57] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi batal.
3.    Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.[58] Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format. Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
4.    Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko.[59] Artinya, bahwa sese orang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal, sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang dikutip oleh Imam Nakha’i dan M. Asra Maksum dari kitab al-Muwatta’  Imam Malik yang berbunyi:[60]
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاضرر ولا ضرار
Artiinya:”Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, tidak boleh melakukan darar baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain”. (HR. Imam Malik).
5.    Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.[61] Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan. Sedangkan dalam ushul fiqh bahwa maslahah adalah setiap hal yang menjamin terwujudnya dan terpeliharanya maksud tujuan syari’at (maqashid syariah), yaitu hifz al-din (memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara jiwa), hifz ’aql (memelihara akal), hifz nasl (memelihara keturunan), dan hifz al-mal (memelihara harta).[62] Dengan demikian, asas ini bisa dijadikan alasan untuk melarang setiap transaksi yang mendatangkan mudharat, baik kepada kedua belah pihak yang bertransaksi atau kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.   
6.    Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan.[63]Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
7.    Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu.[64] Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.    
C.  KESIMPULAN
Terlepas dari semua penjelasan di atas, maka penulis di sini dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa teori akad merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikaji dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini khususnya bagi para akademisi dan pemerhati ekonomi dan bisnis Islam. Karena akad tersebut menentukan sah dan tidaknya transaksi yang dilakukan. Selain itu, perlu diperhatikan juga adalah implikasi hukum terhadap para pihak yang melakukan transaksi setelah akad tersebut terbentuk. Oleh karena itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya memperhatikan asas-asas akad yang telah dijelaskan di atas. Sehingga transaksi yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad dan sesuai dengan maqashid syariah. Jadi, antara aktivitas atau transaksi ekonomi dan bisnis dengan maqashid syariah tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Munawwir, A. W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Afandi, Yazid, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
----------------------, Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek), Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Dahlan, Abdul Aziz dan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam”, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeva, 2001, jilid 1.
 Sudarsono, Heri dan Yogi Praboyo, Hendi, Istlah-Istilah Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2006.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat: Lintera Hati, 2001, jilid 2 dan 3.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993, Juz VI.
Haq, Abdul dan dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku Pertama, Surabaya: Khalista, 2006.     
Nakha’i, Imam dan Ma’sum, Moh. Asra, Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah, Situbondo: Ibrahimy Press, 2011.
Khafifuddin, M, Metodologi Kajian Fiqh, cet  ke 2, Situbondo: Ibrahimy Press, 2011.
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Semarang : CV. Toha Putra Semarang, 1989.
-------------------------------, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009.



[1] Dipresentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah Manajemen Bisnis Syariah di MSI-UII Yogyakarta pada hari Ahad tanggal 29 April 2012.
[2] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996, hlm. 3.
[3] A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953.
[4] Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeva, 2001), jilid 1, hlm. 63.
[5] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 48.
[6] T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), hlm. 21.
[7] Al-‘Uqud adalah jamak ‘aqd/akad yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak berpisah dengannya. Jual beli misalnya adalah salah satu bentuk akad, yang menjadikan barang yang dibeli menjadi milik pembelinya, dia dapat melakukan apa saja dengan barang itu dan pemilik semula, yakni menjualnya, dengan akad jual beli tidak lagi memiliki wewenang sedikitpun atas barang yang telah dijualnya. (Lihat: M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an”, (Ciputat: Lintera Hati, 2001), jilid 3, hlm. 6-7).
[8] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Semarang : CV. Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 156.
[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, “Tafsir Al-Maraghi”, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993), Juz VI, hlm. 81.
[10] Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya”, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 83.
[11] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an”, (Ciputat: Lintera Hati, 2001), jilid 2, hlm. 413.
[12] A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis”, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 130.
[13] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34.
[14] Ibid.
[15] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 55-56.
[16] Ibid.
[17] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat”, ( Jakarta: Rajawali Pers., 2007), hlm. 109.
[18] Ibid, hlm. 111.
[19] Wahbah Az-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu”, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Jilid  IV, hlm. 121-122.
[20] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 56.
[21] Ibid, hlm. 57.
[22] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[26] Salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya di muka. (Lihat: Heri Sudarsono dan Hendi Yogi Praboyo, “Istlah-Istilah Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, (Yogyakarta: UII Press, 2006), cet IV, hlm. 144),  Istisna’ adalah adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat ba­rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.(Lihat: www.sharianomics.net/2011/04/konsep-dasar-istishna.html diakses tanggal 02 Maret 2012), dan Ijarah adalah perpindahan kepemilikan jasa dengan imbalan yang sudah disepakati menurut para fuqaha. (Lihat: Heri Sudarsono dan Hendi Yogi Praboyo, “Istlah-Istilah Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 53).
[27] Istilah ‘adat dan ‘urf meruapakan dua kata yang sangat akrab di telinga. Jika ditelusuri secara etimologi, istilah al-‘adah terbentuk dari kata masdar (kata benda/noun) al-‘awd dan al-mu’awadah yang kurang lebih berarti “pengulangan kembali”. Sedangkan al-‘urf terbentuk dari akar kata al-muta’aruf yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus-menerus, yang disebut dengan al-‘awd wa al-mu’adah. Sedangkan ‘adat dan ‘urf secara terminologis tidak mempunyai perbedaan prinsipil. Artinya, penggunaan istilah ‘urf dan ‘adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Ulama fiqh mengartikan ‘urf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang dan timbul dari kreatifitas-imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Sedangkan ‘adat diartikan sebagai tradisi secara umum tanpa memandang apakah dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki perbedaan, yaitu bahwa ‘adat hanya menekankan aspek pengulangan pekerjaan, sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu, ‘adat bisa dilakukan oleh pribadi atau kelompok, sementara ‘urf harus dijalani oleh keolompok atau komonitas tertentu. Adapun perbedaan keduanya adalah ‘adat dan ‘urf merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. (Lihat: Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, Buku Pertama, (Surabaya: Khalista, 2006), cet ke II, hlm. 274- 276).     
[28] Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm. 65.
[29] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[30] Ibid.
[31] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat”, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 52.
[32] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[33] Gharar adalah transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan/ atau tipuan dari salah satu pihak. (Lihat: Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 261.
[34] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 58.
[35] Ibid, hlm. 51.
[36] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 35.
[37] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 55.
[38] Ibid, hlm. 51.
[40] Ibid.
[41] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 59.
[42] Abdur Razaq as-Sanhuri menganggap bahwa kausa adalah motif. Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus, namun dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat dirumuskan. Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut, terlihat hukum Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan. Pertama, hukum Islam yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih mementingkan dan memberikan perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat dan tidak berkembang. Kedua, hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari agama itu sendiri. Di sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di mana ia digunakan untuk mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam melakukan perjanjian. (Lihat: http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/view/153/118 diakses pada tanggal 02 Maret 2012).
[43] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 59.
[44] Nasrun Haroen, “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet 2, hlm. 106.
[45] Ibid, hlm. 108.
[46] Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, hlm. 68.
[47] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 38.
[48] Ibid, hlm. 39. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Al-Kasani kitab Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i, (Mesir: Mathba’ah al-Jamaliyah, 1910), jilid V, hlm. 295.
[49] Ibid, hlm. 40. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Wahbah al-Zuhaily kitab al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), jilid IV, hlm. 84.
[50] Ibid, hlm. 41. Yang dikutip oleh Yazid Afandi dari Musthafa Ahmad al-Zarqa kitab al-Fiqh al-Islami fi tsaubihi al-Jadid; al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, (Bairut: Daral Fikr, 1968), jilid 1, hlm. 538. 
[51] Muhammad, “Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah”, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 29.
[52] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, hlm. 64-65.
[53] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”, cet  ke 2, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2011), hlm. 13.
[54] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 46-47.
[55] Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, (Situbondo:Ibrahimy Press, 2011), hlm. 63.
[56] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 47.
[57] M. Khafifuddin, “Metodologi Kajian Fiqh”, cet  ke 2, hlm. 15.
[58] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48.
[59] Ibid.
[60] Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm. 17.
[61] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 48-49.
[62] Imam Nakha’i dan Moh. Asra Ma’sum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah”, hlm. 236.

[63] Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah”, hlm. 49.
[64] Ibid.

4 komentar:

  1. mantaf kek,, ken sayang kamu sombong dg saya.. apa sya punya salah y.. maaf ea klo punya salah

    BalasHapus
  2. Dear brides and grooms to be
    Salam hangat dari HIS Seskoad Grand Ballroom Bandung.
    Kami dengan bangga mempersembahkan venue terbaru kami yaitu “HIS Seskoad Grand Ballroom”, Gedung seskoad yang berletak strategis nan mewah yang menjadi favorit para calon pengantin ini kini berada di naungan HIS, untuk itu fasilitas yang terdapat di gedung seskoad grand ballroom kini berstandard seperti gedung HIS lainnya, “Ballroom full karpet eksklusif, AC, Lampu Kristal, dan design ruangan yang elegan&mewah”. Selain gedung, kami juga bekerjasama dengan banyak pilihan vendor ternama di Bandung, mulai dari catering, busana&MUA, dekorasi, music & entertainment, fotografi&videografi, MC, wedding car, hingga pelayanan yang kami miliki untuk membantu calon pengantin dari awal sampai akhir yaitu, Wedding Public Relations, Wedding Planner, dan Wedding Executor. Dengan sistem “One Stop Wedding Service”, Kami pastikan akan memberikan pelayanan terbaik dalam membantu dari awal hingga di hari Bahagia akang teteh
    Untuk itu kami mengundang akang teteh calon pengantin, untuk datang ke pre-launching HIS Seskoad Ballroom kami, dan segera dapatkan HARGA PRE-LAUNCHING yang pasti akan sangat worth it dengan fasilitas dan pelayanan yang kami berikan serta BONUS FANTASTIS! untuk akang teteh calon pengantin Cuma di HIS SESKOAD GRAND BALLROOM.

    For more info and detail call :
    Wedding Public Relations HIS Seskoad Grand Ballroom
    Jl. Gatot Subroto No. 96 Bandung.
    Giyan : 082261170022 (WA)
    INSTAGRAM : @his_seskoad @giyanti.hisseskoad

    See u brides and grooms to be!
    -HIS Wedding Venue Organizer-

    BalasHapus
  3. Lucky Club Casino site! - Get luckyclub.live
    Lucky club is a casino in Malta and it is owned by a gaming company that operates a number of casinos that offer luckyclub games and casino games. It

    BalasHapus