IMPLEMENTASI
AKAD IJARAH (SEWA-MENYEWA)
DALAM LEMBAGA
PERBANKAN SYARI’AH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Transaksi Dalam Ekonomi Islam
Dosen pengampu :
Drs. Fajar, MM.
Disusun Oleh:
Hengky Firmanda. S (109 130 22)
Ahmad Darsuki
(109 130 19)
Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi
Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
IMPLEMENTASI AKAD
IJARAH (SEWA-MENYEWA)
DALAM LEMBAGA PERBANKAN
SYARI’AH[1]
A. PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan
primer dan sekunder dan lain-lain. Namun, tidak semua masyarakat bisa memenuhi
kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, dalam perkembangan perekonomian masyarakat
yang semakin meningkat maka muncullah beberapa jasa pembiayaan yang ditawarkan diantaranya
oleh lembaga perbankan syari’ah.
Lembaga perbankan
merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam
dunia perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut berfungsi sebagai perantara
pihak-pihak yang kekurangan dana (lacks of funds) dengan pihak-pihak
yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds).[2]
Dengan demikian, lembaga perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan,
dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank, melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Bank yang terdapat di
Indonesia sekarang ini tidak hanya yang beroperasi berdasarkan prinsip
konvensional saja. Prinsip bank berdasarkan syari’ah merupakan salah satu
bentuk jasa perbankan, yang baru mendapatkan pengakuan secara formil yuridis
setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Sehingga bank berdasarkan prinsip Islam ini mempunyai fungsi yang sama seperti
bank konvensional yang telah ada yaitu sebagai lembaga perantara pihak-pihak
yang kekurangan dana dengan pihak-pihak yang kelebihan dana (intermediary
financial institution). Hanya saja yang membedakan adalah dalam cara
pengoperasiannya, dimana bank syari’ah tidak mengenal sistem bunga dan
menggunakan sistem bagi hasil bagi para nasabahnya.[3]
Konsep dari sistem
ekonomi syari’ah adalah, meletakkan nilai-nilai islam sebagai konsep dasar dan
landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat lahir dan bathin.[4]
Lembaga perbankan dalam syariah islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul
fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bi hi fa huwa
wajib” yang berarti sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib,
maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah termasuk melakukan kegiatan ekonomi
adalah wajib adanya,oleh karena pada saat ini kegiatan perekonomian tidak akan
sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi
wajib untuk diadakan.[5]
Salah satu jasa
perbankan syari’ah yang ditawarkan adalah jasa pembiayaan Ijarah, pembiayaan
ijarah ini mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep kredit pada bank
konvensional, pembiayaan Ijarah juga dikatakan sebagai pendorong bagi sektor
usaha karena pembiayaan Ijarah mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan jenis
pembiayaan syari’ah lainnya. keistimewaan tersebut adalah bahwa untuk memulai
kegiatan usahanya, pengusaha tidak perlu memiliki barang modal terlebih dahulu,
melainkan dapat melakukan penyewaan kepada bank syari’ah, sehingga pengusaha
tidak dibebankan dengan kewajiban menyerahkan jaminan, maka dapat dikatakan
bahwa pembiayaan Ijarah lebih menarik dibandingkan jenis pembiayaan lainnya
seperti Mudharabah dan Musyarakah.
Pembiayaan ijarah
dengan akad sewa-menyewa pada
bank syari’ah merupakan akad yang sangat fleksibel, sedangkan dalam penerapannya
sangat meringankan dan memberi kemudahan bagi para nasabahnya. Nasabah yang memerlukan suatu barang
atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif atau bisnis, tetapi tidak harus memiliki barang
tersebut secara permanen atau membutuhkan barang tetapi tidak dapat membelinya
maka dapat menggunakan akad ijarah muntahiya bit tammlik (IMBT). Akad IMBT ialah akad yang memperjanjikan antara
penyewa dan pemilik sewa terhadap suatu barang namun pada masa akhir sewa maka
terjadi perpindahan kepemilikan objek sewa.
Terkait pentingnya pembiayaan dengan menggunakan akad
ijarah dalam bisnis perbankan, maka perlu sekiranya untuk mengetahui tentang
mekanisme terkait hal tersebut. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan prinsip
kehati-hatian[6], guna untuk meningkatkan keefesienan kinerja
perbankan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun dalam
malakah ini dapat mengambil sebuah judul “Implementasi Akad Ijarah
(Sewa-Menyewa) Dalam Lembaga Perbankan Syari’ah”.
b.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka
penyusun dapat merumuskan sebuah masalah, yaitu:
1.
Bagaimana implementasi akad Ijarah
(sewa-menyewa) dalam lembaga perbankan syari’ah?
B. PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Secara etimologi ijarah
disebut juga al-ajru (upah) atau al-‘iwadh (ganti). Atau ijarah
disebut juga upah, sewa, jasa, atau imbalan. Sedangkan menurut istilah syara’
adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia, seperti sewa-menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, dan
lain-lain.[7]
Terkait dengan itu, di sini
ada beberapa definisi ijarah yang
dikemukakan ulama fikih, yaitu Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan,
“transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”. Dan Ulama Syafi’i
mendefinisikannya dengan, “transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,
tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”.
Sedangkan Ulama Maliki dan Hanbali mendefinisikannya dengan
“pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.[8]
Berdasarkan definisi di atas, maka ijarah adalah sebagai akad yang dilakukan
atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa dan akad ijarah tidak boleh
dibatasi oleh syarat.
Selain itu, Sayyid
Sabiq juga mendefinisikan ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian. Manfaat yang dimaksud adalah berguna, yaitu
barang yang mempunyai banyak manfaat dan selama menggunakan barang tersebut
tidak mengalami perubahan atau musnah: Defenisi lain menyebutkan bahwa ijarah
adalah pemilikan manfaat dari suatu yang halal dalam jangka waktu tertentu
dengan imbalan ganti rugi. Yang pada dasarnya ijarah adalah penjualan manfaat.[9]
Dengan demikian, ijarah merupakan transaksi yang sifatnya saling menolong antar
sesama yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Sunnah.
b.
Landasan Syari’ah Ijarah
Ijarah merupakan suatu jenis akad untuk memanfaatkan
jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan
untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika
digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja maka disebut upah mengupah.
Pada ijarah tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah
tetap menjadi milik yang menyewakan.
Konsep ijarah mulai dikembangkan pada masa Khalifah
Umar bin Khatthab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah
revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim
di wilayah yang ditaklukkan. Sebagai solusi dari hal itu, maka Khalifah Umar
mengambil langkah yaitu membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Adapun yang menjadi landasan syariah dalam ijarah
ialah, pertama, yang terdapat dalam
Al-Quran Surat al-Zukhruf ayat 32 yang artinya “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami
telah meninggikan sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. Kedua, dapat dilihat dalam Al-Quran
Surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya sebagai berikut “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. Ketiga, dilihat dalam Al-Quran Surat
al-Qashash ayat 26 yang artinya “Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang
bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Berdasarkan sunnahnya maka terdapat beberapa landasan yaitu pertama, berdasarkan hadis riwayat Ibnu
Majjah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering”. Kedua, hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW
mengemukakan yang artinya “Berbekamlah
kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. Ketiga, Hadis riwayat Abd. Razaq dari
Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”. Keempat, Hadis riwayat Abu Dawud dari
Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka
Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami
menyewakannya dengan emas atau perak”. Kelima,
Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
c.
Jenis Akad Ijarah
Dilihat dari sisi
obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi
dua, yaitu:
1.
Ijarah manfaat (Al-Ijarah
ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir,
upah yang dibayarkan disebut ujrah.[10]
Misalnya, sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini mu’jir
mempunyai benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut
dan terjadi kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan
imbalan tertentu dari musta’jir dan musta’jir mendapatkan manfaat
dari benda tersebut.[11]
2.
Ijarah yang
bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini berhubungan dengan
sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau
properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah
ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional.[12] Artinya,
ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah
orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir
adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan
imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan upah (ujrah) atas tenaga
yang ia keluarkan untuk musta’jir dan musta’jir mendapatkan
tenaga atau jasa dari mu’jir.[13] Misalnya,
yang mengikat bersifat pribadi adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga,
sedangkan yang bersifat serikat, yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak. (Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh
pabrik, dan tukang sepatu.[14]
Ijarah bentuk pertama
banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sedangkan ijarah
bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di
perbankan syari’ah. Selain dua jenis pembagian di atas, dalam akad ijarah juga
ada yang dikenal dengan namanya akad al-ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli), yaitu
transaksi sewa beli dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek
sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan
objek sewa.[15]
Dalam akad ini musta’jir sama-sama dapat mempergunakan obyek sewa untuk
selamanya. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut ada
dalam akad yang dilakukan di awal perjanjian. Karena akad ini sejenis perpaduan
antara akad jual beli dan akad sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang
diakhiri dengan kepemilikan penyewa atas barang yang disewa melalui akad yang
dilaksanakan kedua belah pihak.[16]
d.
Rukun dan Syarat Sahnya Akad Ijarah
Secara hukum, agar ijarah (sewa-menyewa)
memiliki kekuatan hukum maka harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun ijarah
meliputi (1) dari adanya para pihak sebagai konsekuensi adanya subyek hukum
yaitu penyewa dan pemberi sewa, (2) adanya objek yang disewakan yaitu baik
berupa benda yang memberikan manfaat atau jasa yang diberikan, (3) harus ada
ijab dan qabul dari para pihak sebagai konsekuensi pelafazan.
Adapun syarat sahnya akad ijarah harus
memenuhi syarat-syarat[17]
berikut (1) Mukjir dan mustakjir harus tamyiz, berakal sehat dan tidak ditaruh
dibawah pengampuan, (2) Mukjir adalah pemilik sah dari objek sewa, (3)
Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa-menyewa, (4) Harus
jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan, (5) Objek sewa dapat
digunakan sesuai dengan peruntukan atau mempunyai nilai manfaat, (6) Objek sewa
dapat diserahkan, (7) Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang
dibolehkan oleh agama, dan (8) harus ada kejelasan mengenai berapa lama suatu
objek ijarah itu akan disewakan dan harus jelas harga sewa atas objek tersebut.
Setelah terpenuhinya rukun dan syarat dari
akad ijarah tersebut, maka akad tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum. Jika
telah memiliki kekuatan hukum, maka konsekuensi yuridisnya perjanjian tersebut
harus dilaksanakan dan ditaati dengan itikad baik oleh pemberi sewa dan
penyewa.
e.
Implementasi
Akad Ijarah
Akad-akad yang
dipergunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam operasinya merupakan
akad-akad yang tidak menimbulkan kontroversi yang disepakati oleh sebagian
besar ulama dan sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diterapkan dalam
produk dan instrumen keuangan syari’ah. Akad-akad tersebut meliputi akad-akad
untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional, dan jasa investasi.[18] Terkait
dengan itu, disini penyusun hanya menjelaskan praktek pembiayaan ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik
dalam lembaga perbankan syari’ah.
1.
Ijarah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah merupakan
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Jadi dalam akad ijarah yang dibuat oleh nasabah
dan pihak perbankan syariah tidak ada unsur transfer
of tittle, yang ada hanyalah kesepakatan untuk memanfaatkan suatu barang
atau jasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah pada Penjelasan Pasal 19 huruf f, akad ijarah merupakan akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri.
Pada PBI No. 9/19/PBI/2007 menyebutkan ijarah sebagai
transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek
sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Tertanggal 17 Maret 2008 Bank Indonesia mengeluarkan
surat edaran No. 10/14/DPBS yang mengatakan bahwa dalam memberikan pembiayaan
ijarah, Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi langkah
berikut ini, (a) Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak
penguasaan atas objek sewa baik berupa
barang atau jasa, yang menyewakan objek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai
kesepakatan, (b) Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau
tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewanya, (c) Bank wajib menjelaskan
kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar ijarah,
serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah, (d) Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas
dasar ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa
analisa atas karakter dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha, keuangan dan/atau prospek usaha, (e) Objek sewa harus dapat dinilai
dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk
besarnya nilai sewa dan jangka waktunya, (f) Bank sebagai pihak yang
menyediakan objek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas objek
sewa serta ketepatan waktu penyediaan objek sewa sesuai kesepakatan, (g) Bank
wajib menyediakan dan untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan
nasabah, (h) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar ijarah, (i) Pembayaran
sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus, (j) Pembayaran sewa
tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan
utang, (k) Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan objek sewa, dan
menanggung biaya pemeliharaan objek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana
uraian pemeliharaan yang bersifat material dan structural harus dituangkan
dalam akad, dan (l) Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas
kerusakan objek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian
nasabah.
Berdasarkan SOP yang
disampaikan oleh Bank Syari’ah,
tahapan pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut[19], (a) adanya permintaan untuk menyewakan barang
tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada
bank syari’ah, (b) Wa’ad
antara
bank dan nasabah untuk menyewa barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang
disepakati, (c) Bank
Syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa oleh nasabah, (d) Bank syari’ah menyewa barang
tersebut dari pemilik barang,
(e) Bank
syari’ah membayar sewa di muka secara penuh, (f) Barang diserahterimakan dari
pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa, (h) Nasabah membayar sewa di belakang
secara angsuran, (i) Barang
diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode,
barang diserahterimakan kembali dari nasabah ke bank syari’ah, yang selanjutnya
akan diserahterimakan ke pemilik barang.
Dari proses ijarah tersebut di atas, perlu dicermati
bahwa ada beberapa bank yang menggunakan uang muka dalam transaksi ijarah. Hal itu dikarenakan agar
bank memperoleh jaminan bahwa nasabah (penyewa) benar-benar akan menyewa objek
sewa tersebut.
Selain Bank Syari’ah sebagai pemberi sewa, di beberapa
bank terdapat juga posisi bank sebagai wakil atau menggunakan wakalah. Bank
syari’ah mewakilkan pemilik barang (objek sewa) kepada nasabah (penyewa).
2. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Di atas telah disebutkan bahwa produk pembiayaan
perbankan syariah berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan
sewa yang diakhiri dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit tamlik.[20]
Ijarah
muntahia
bit tamlik (IMBT)
pada dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli.
Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat
IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen untuk
membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas (walaupun opsi membeli
tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa ijarah.
Dari sisi ijarah,
perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada
akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada
adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa
(ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan.
Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17 Maret 2008
yaitu, (a) Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai pemberi janji
(wa`ad) untuk memberikan opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah
penyewa sesuai kesepakatan, (b) Bank hanya dapat memberikan janji (wa`ad) untuk mengalihkan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa secara prinsip dimiliki
oleh bank, (c) Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam bentuk
tertulis, (d) Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek
sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah
penyewa, dan (e) Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah yang dilakukan
pada saat tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar
akad IMBT.
Sedangkan berdasarkan SOP yang
disampaikan oleh Bank syari’ah, tahapan pelaksanaan IMBT adalah sebagai berikut[21], (a) Adanya permintaan untuk menyewa
beli barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank
syari’ah, (b) Wa’ad
antara
bank dan nasabah untuk menyewa beli
barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati, (c) Bank Syari’ah mencari barang yang
diinginkan untuk disewa beli oleh nasabah, (d) Bank syari’ah membeli barang
tersebut dari pemilik barang,
(e) Bank
syari’ah membayar tunai barang tersebut, (f) Barang diserahterimakan dari
pemilik barang kepada bank syari’ah, (g) Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa beli, (h) Nasabah membayar sewa di belakang
secara angsuran, (i) Barang
diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah, dan (j) Pada akhir periode,
dilakukan jual beli antara bank syari’ah dan nasabah.
Perlu diperhatikan bahwa dalam praktek di beberapa
bank, komitmen untuk membeli barang pada akhir periode atau dengan menggunakan
IMBT yang dituang dalam wa`ad,
cenderung bersifat keharusan atau wajib bagi nasabah.
C. KESIMPULAN
Implementasi akad ijarah (sewa-menyewa) dalam lembaga
perbankan syari’ah yang
terbagi menjadi ijarah murni dan ijarah
muntahiya bit tamlik (IMBT) terdapat dalam Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI) No. 10/14/DPBS tertanggal 17 Maret 2008 yang merupakan ketentuan
pelaksana dari PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank
Syari’ah sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008. Selain
itu, Implementasi terkait ijarah terdapat dalam SOP yang disampaikan oleh Bank
Syari’ah.
Dalam kenyataannya akad ijarah ini jarang digunakan oleh bank syari’ah,
padahal dalam rangka diversifikasi produk penyaluran dana dari bank syari’ah
kepada nasabah, akad ini perlu untuk diterapkan. Pada prinsipnya akad ini
banyak memberikan keuntungan baik pada bank syari’ah atau pun nasabah.
Keuntungan yang diperoleh nasabah ialah dalam meningkatkan investasi, nasabah
membutuhkan barang modal dengan nilai ekonomis yang besar, maka akan lebih
mudah menggunakan sistem ijarah atau ijarah
muntahiya bit tamlik. Sedangkan bagi bank syari’ah, sistem ini mempercepat
perputaran uang dan memajukan sistem investasi yang dinamis.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi,
Yazid, 2009,
Fiqh Muamalah Dan
Imlementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, Logung Pustaka.
Amin
Suma, Muhammad, 2002,
Ekonomi Syariah
Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis.
Anshori, Abdul Ghofur, 2010, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Ascarya,
2011, Akad & Produk Bank Syari’ah, Jakarta, Rajawali Pers.
Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta, UII
Press.
Dahlan,
Abdul Aziz, dkk, 2001,
Ensiklopedi Hukum
Islam, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Djumhana,
Muhammad, 2003,
Hukum Perbankan
Di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Karim,
Adiwarman, 2006,
Bank Islam
Analisis Fikih dan Keuangan,
Jakarta,
Raja Grafindo Persada.
Nazir, Habib dan Hasanuddin, Muhammad,
2008, Ensiklopedi Ekonomi &
Perbankan Syari’ah, Bandung, Kafa Publishing.
Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Widjanarto,
1997, Sekali Lagi: Soal kehati-hatian
(Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan masalah Kredit Bermasalah), Jakarta, Infoarta Pratama.
[1] Makalah dipresentasikan dalam
diskusi kelas mata kuliah transaksi dalam ekonomi Islam di PPs MSI-UII
Yogyakarta pada tanggal 06 Agustus 2011.
[2] Muhammad
Djumhana, “Hukum Perbankan Di Indonesia”, Cet. Ke-4, (PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003), hlm. xi.
[3] Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998, Tentang Perbankan, hlm. 5.
[4] Muhammad Amin Suma, “Ekonomi
Syariah Suatu Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional”, Jurnal Hukum Bisnis,
Agustus 2002.
[5] Adiwarman A. Karim, “Bank
Islam Analisis Fikih dan Keuangan”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 14-15.
[6] Widjanarto, “Sekali Lagi :
Soal kehati-hatian (Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan masalah Kredit Bermasalah)”,
(Jakarta: Infoarta Pratama, 1997), hlm. 14.
[7] Habib Nazir dan Muhammad
Hasanuddin, “Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syari’ah”, cet ke-2,
(Bandung: Kafa Publishing, 2008), hlm. 279.
[8] Abdul Aziz Dahlan, dkk, “Ensiklopedi
Hukum Islam”, cet ke-5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 660.
[9] Habib Nazir dan Muhammad
Hasanuddin, “Ensiklopedi Ekonomi & Perbankan Syari’ah”, hlm. 279.
[10] Ascarya, “Akad & Produk
Bank Syari’ah”, cet ke-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 99.
[11] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH
DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009), hlm. 187-188.
[12] Ascarya, “Akad & Produk
Bank Syari’ah”, hlm. 99.
[13] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH
DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, hlm. 188.
[14] Abdul Aziz Dahlan, dkk, “Ensiklopedi
Hukum Islam”, hlm. 662-663.
[15] Ibid, hlm. 100.
[16] Yazid Afandi, “FIQH MUAMALAH
DAN IMLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH”, hlm. 188.
[17] Ahmad
Azhar Basyir, “Asas-asas Hukum Muamalat
(Hukum Perdata Islam)”, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 27.
[19] Ibid.
[20] Abdul
Ghofur Anshori, “Hukum Perjanjian Islam
di Indonesia”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 79.