Kamis, 01 Maret 2012

MAQASHID SYARI'AH&MASLAHAH DALAM BISNIS SYARIAH


ARTIKEL
MAQASHID SYARI’AH & MASLAHAH DALAM EKONOMI&BISNIS SYARI’AH

Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pendekatan Dalam Pengkajian Islam

Dosen Pengampu : Drs. Yusdani, M.Ag.














Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
109 130 19




Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
 
ARTIKEL
MAQASHID SYARI’AH & MASLAHAH DALAM
EKONOMI& BISNIS SYARI’AH[1]

A.  Pendahuluan 
Perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini terlihat semakin pesat khususnya di Indoensia. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa lembaga syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syari’ah, pegadaian syari’ah dan lain-lain. Ekonomi dan bisnis syari’ah ini bukan hanya dalam bentuk lembaga-lembaga di atas, akan tetapi juga meliputi berbagai aspek yang sangat luas, seperti ekonomi makro dan mikro dan masalah-masalah ekonomi lainnya.
Terkait dengan permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah, agar perkembangan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah, maka menurut Agustianto keterlibatan ulama ekonomi syari’ah menjadi penting, seperti berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik sekala mikro maupun makro, mendesign akad-akad syari’ah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syari’ah, mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syari’ah dijalankan sesuai syari’ah.[2] Oleh karena itu, menurut hemat penulis bahwa konsep maqashid syari’ah al-Syatibi ini penting sekali untuk digunakan sebagai teori kajian dalam ekonomi dan bisnis syari’ah terkait dengan permasalahan-permasalahan dewasa ini, sehingga roda perekonomian di tengah-tengah masyarakat benar-benar sesuai dengan maqashid syari’ah dan yang diharapkan oleh umat manusia.
Menurut Agustianto bahwa prinsip utama dalam formulasi ekonomi islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan adalah maslahah.[3] Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sebuah rumusan masalah bagaimana kedudukan maqashid syari’ah dan maslahah dalam ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini?, berangkat dari pokok masalah tersebut, maka penulis akan menjelaskan konsep maqashid syari’ah dan maslahat yang kemudian akan penulis hubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum bisnis syari’ah dewasa ini.
B.  Pengertian Maqashid Syari’ah dan Maslahat
Maqashid Syari’ah ditinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الى الماء  yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat juga dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[4] Kaitan dengan maqashid syari’ah tersbut, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda yaitu maqashid syari’ah, al-maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqashid min syar’i al-hukm. Walau dengan kata-kata yang berbeda, manurut Asafri Jaya Bakri mengandung tujuan yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Sebagaimana ungkapan al-Syatibi:Sesungguhnya syari’at itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat” dan “Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba”.[5] Dengan demikian, memberikan pengertian bahwa kandungan maqashid syari’ah adalah kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah, dikalangan ulama ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga dengan asrar asy-syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[6] Oleh karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang bahwa kandungan maqashid syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melalui maqashid syari’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai susuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang di syari’atkan Tuhan terhadap manusia.[7]
Adapun pengertian maslahat dalam Ensiklopedi Hukum Islam, secara bahasa maslahat adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal dari jama’ masholeh yang artinya sama dengan manfaat.[8] Oleh karena itu, segala sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa dikatakan maslahah. Sedangkan pengertian maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam al-Ghazali bahwa maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia.[9] Tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jadi menurut al-Ghazali bahwa setiap seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya dinamakan maslahat.[10] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat adalah manfaat yang hendak di capai oleh manusia dalam segala aspek kehidupan. Jadi, kalau kita cermati kedua definisi di atas maka maqashid syari’ah dengan maslahat merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan dan hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. 
C.  Pembagian dan Metode Memahami Maqashid Syari’ah
Menurut Asafri Jaya Bakri[11] bahwa dari segi substansi, maqashid syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk: Pertama dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas. Kedua dalam bentuk majazi yakni yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan. Kemaslahatan itu, oleh al-Syatibi dilihat pada 2 (dua) sudut pandang, yaitu:[12]
1.    Maqashid al-Syar’i (Tujuan Tuhan)
2.    Maqashid al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
Maqashid al-Syari’ dalam arti maqashid al-Syar’i mengandung empat aspek. Keempat aspek tersebut, adalah:[13]
1.    Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Aspek ini berkaitan dengan muatan dan hakikat maqashid al-Syari’ah.
2.    Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syari’at dapat dipahami sehingga dicapai kemaslahatan yang dikandungnya.
3.    Syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Aspek ini berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya.
4.    Tujuan syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum. Aspek ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf dibawah dan terhadap hukum-hukum Allah atau tujuan syari’at berupaya membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu.
Aspek kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya lebih tampak sebagai penunjang aspek pertama sebagai aspek inti. Aspek pertama sebagai inti tersebut dapat terwujud melalui pelaksanaan taklif atau pembebanan hukum terhadap para hamba sebagai aspek ketiga. Taklif tidak dapat dilakukan kecuali memiliki pemahaman baik dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dapat membawa manusia berada dibawah lindungan hukum Allah, lepas dari kekangan hawa nafsu sebagai aspek keempat. Dalam keterkaitan demikianlah tujuan diciptakannya syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, sebagai aspek inti dapat diwujudkan.[14]
Dari beberapa aspek di atas, maka menurut Asafri Jaya Bakri bahwa aspek pertama sebagai aspek inti, karena aspek pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan syari’at oleh Tuhan yaitu kemaslahatan dunia dan akhirat. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.[15] Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali bahwa kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur tujuan syarak dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[16] Dalam usaha untuk mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syari’ah, yaitu:[17]
1.    Maqashid al-Daruriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Al-Daruriya (tujuan-tujuan primer) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi[18] sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat akan menghancurkan kehidupan secara total yang menurut versi yang paling populer adalah melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Misalnya, untuk menyelamatkan jiwa, Islam mewajibkan umat manusia untuk makan tetapi secara tidak berlebihan. Untuk menyelamatkan harta, Islam mensyari’atkan misalnya hukum-hukum muamalah sekaligus melarang langkah-langkah yang merusaknya seperti pencurian dan perampokan.
2.    Maqashid al-Hajiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Al-Hajiyat (tujuan-tujuan sekunder) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi[19] sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk kedalam katagori dharuriyat, sebaliknya menyingkirkan faktor-faktor yang mempersulit usaha perwujudan dharuriyat. Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran sekunder ini dibutuhkan tapi bukan niscaya. Artinya, jika hal-hal hajiyat tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurang sempurnaan, bahkan kesulitan. Misalnya, untuk menyelamatkan jiwa sebagai tujuan sekunder melalui makan dibutuhkan peralatan makan seperti kompor. Memang tanpa kompor manusia tidak akan mati karena ia masih bisa menyantap makanan yang tidak di masak, tetapi kehadiran kompor dapat melengkapi jenis menu yang dapat dihidangkan. Terjadi berbagai kemudahan dengan hadirnya kompor. Untuk melindungi harta sebagai tujuan primer maka dibutuhkan peralatan seperti senjata api, memang orang dapat saja melindungi hartanya dengan golok, pisau atau sumpit, tetapi senjata api lebih membantu.  
3.    Maqashid al-Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok. Al-Tahsiniyat (tujuan-tujuan tertier) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi[20] sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi akan bersifat akan memperindah poses perwujudan kepentingan dharuriyat dan hajiyat. Sebaliknya, ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika. Di sini pilihan pribadi sangat dihormati -jadi bersifat ralatif dan lokal- sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Misalnya, kompor yang dibutuhkan dalam dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni menyelamatkan jiwa melalui makan itu bersumbu delapan belas, kompor gas, kompor listrik atau kompor sinar surya diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Senjata api yang dibutuhkan dalam rangka merealisir tujuan primer yakni melindungi harta melalui senjata api, itu berlaras panjang atau pendek, buatan Indonesia atau Amerika, berwarna hitam atau putih, dan seterusnya, diserahkan kepada pilihan dan kemampuan lokal.  
Dari ketiga tingkat tujuan syari’ah tersebut, maka menurut Asafri Jaya Bakri menunjukkan bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga mengacu kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.[21]  Dengan demikian, menurut hemat penulis perkembangan ekonomi dan bisnis yang berbasis syari’ah dewasa ini tentu akan memunculkan masalah-masalah baru di tengah-tengah masyarakat. Sehingga perlu adanya kajian mendalam dan penyelesaian dalam aspek hukumnya yang relevan dengan mengedepankan maqashid syari’ah (maslahat) itu sendiri.
Dalam rangka pemahaman dan dinamika hukum Islam tersebut, maka menurut Asafri Jaya Bakri berdasarkan pemahaman beliau terhadap pemikiran al-Syatibi dalam al-Muwafaqat, bertolak dari batasan bahwa al-Maqashid adalah kemaslahatan, maka dapat dikatakan bahwa ia juga membagi maqashid atau tujuan hukum itu kepada dua orientasi kandungan. Kedua kandungan tersebut adalah:[22]
1.    al-masalih al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia)
2.    al-masalih al-Ukhrawiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat)     
Kedua aspek ini  menurut al-Syatibi  tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, menurut Asfri Jaya bakri[23] bahwa baik daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat serta orientasi kandungan maslahat dunia dan akhirat adalah sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Disamping itu dapat menarik garis yang jelas antara lapangan hukum yang boleh dilakukan pengembangan melalui ijtihad dan lapangan hukum yang tidak boleh dilakukan ijtihad, sehingga pembagian-pembagian tersebut menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah yang menurut penulis khususnya dalam bidang muamalah. Sebagaimana pendapat Satria Effendi[24] bahwa khusus dalam bidang muamalah selama dapat diketahui tujuan hukumnya maka dapat dilakukan pengembangan hukum.
Maqashid syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, pemahaman dan penggaliannya memerlukan beberapa syarat. Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan dalam rangka memahami maqashid syari’ah[25], yaitu:
1.    Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
2.    Memiliki Pengetahuan Tentang Sunnah
       Ada tiga fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an yang dikembangkan oleh para ulama, yaitu:
a.    Memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.
b.    Memberi keterangan, bayan, terhadap apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an secara   garis besar.
c.    Fungsi Sunnah sebagai penetap ataupun pencipta hukum yang telah diatur dalam al-Qur’an 
3.    Mengetahui Sebab-Sebab Turunya Ayat
Dalam hal ini, menurut al-Suyuti bahwa tanpa mengetahui sebab-sebab turun ayat, akan sulit untuk melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an bahkan tidak mungkin terhadap ayat-ayat tertentu.[26] Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Qur’an adalah firman Allah, maka Allah saja yang paling mengetahui maksud dan kandungannya. Manusia, bagaimanapun tidak bisa mengetahui kandungan al-Qur’an sepenuhnya. Namun demikian, karena al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ditujukan kepada manusia, maka ada keharusan bagi manusia untuk senantiasa berusaha memahami kandungan al-Qur’an. Disamping itu perlu pemahaman terhadap Sunnah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur’an. Kedua sumber inilah pencarian maqashid syari’ah dilakukan.[27]
Dalam kaitan dengan upaya pemahaman maqashid syari’ah, menurut al-Syatibi bahwa ulama terbagi kepada tiga kelompok dengan corak pemahaman yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:[28]
Pertama. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah adalah suatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir lafaz yang jelas. Pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyas. Kelompok ini disebut dengan ulama al-Zahriyah.
Kedua. Ulama yang tidak menempuh pendekatan zahir al-lafz dalam mengetahui maqashid syari’ah, kelompok ini terbagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu (a) Kelompok yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah bukan dalam bentuk zahir, dan bukan pula yang di fahami dari tunjukan zahir al-lafz itu. Maqashid syari’ah merupakan hal lain yang ada dibalik tunjukan zahir al-lafz, yang terdapat dalam semua aspek syari’ah, sehingga tak seorang pun yang dapat berpegang dengan zahir al-lafz yang memungkinkan ia memperoleh pengertian maqashid syari’ah. Kelompok ini disebut ulama al-Bathiniyyah. (b) Kelompok yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafal. Artinya zahir al-lafz tidak harus mengandung tunjukan mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahir al-lafz dengan nalar, maka yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian nalar, baik atas dasar keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak. Kelompok ini disebut ulama al-Muta’ammiqin fi al-Qiyas.
Ketiga. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir al-lafz dan pertimbangan makna/’illah) dalam suatu bentuk tidak merusak pengertian zahir al-lafz dan tidak pula merusak kandungan makna/’illah, agar syari’ah tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini disebut ulama al-rasikhin.
Dalam memahami maqashid syari’ah, menurut Asafri Jaya Bakri bahwa al-Syatibi tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (ulama al-Rasikhin). Pengejewantahan pemikiran ini tanpak dalam tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syatibi dalam upaya memahami maqashid syari’ah.[29] Adapun tiga cara tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan, baik yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis secara jelas sebelum dikaitkan dengan permaslahan-permasalahan yang lain. Artinya, kembali kepada makna perintah dan larangan secara hakiki.[30] Penekanan al-Syatibi dengan bentuk perintah dan larangan yang tegas meruapak sikap kehati-hatian dalam upaya melakukan pemahaman maqashid syari’ah yang lebih tepat, sehingga maqashid benar-benar bisa dijadikan pertimbangan dalam penetapan dan pengembangan hukum Islam. Misalnya, larangan jual beli bukanlah larangan yang beridiri sendiri, akan tetapi hanya bertujuan menguatkan perintah untuk melakukan penyegeraan mengingat Allah (menunaikan shalat jum’at) QS. surat al-Jum’ah ayat 9.
2.    Penelaahan ‘illah al-amr (perintah) dan al-nahy (larangan), pemahaman maqashid syari’ah dapat pula dilakukan melalui analisis ‘illah yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an atau hadis. ‘Illah hukum ini adakalanya tertulis secara jelas dan adakalanya tidak tertulis secara jelas. Apabila ‘illah itu tertulis secara jelas dalam ayat atau hadis, maka menurut al-Syatibi harus mengikuti apa yang tertulis itu. Karena dengan mengikuti yang tertulis itu, tujuan hukum dalam perintah dan larangan  itu dapat dicapai. Apabila ‘illah hukum tidak dapat diketahui dengan jelas, maka kita harus melakukan tawqquf (menyerahkan hal itu kepada al-Syar’i/Tuhan).[31] Misalnya, penyariatan jual beli yang bertujuan saling mendapatkan manfaat melalui suatu transaksi.
3.    Analisis terhadap al-sukut ‘an syar’iyyah al-‘amal ma’aqiyan al-ma’na al-muqtada lah (sikap diam al-syari’ dari pensyariatan sesuatu), cara ketiga ini digunakan oleh al-Syatibi dalam memahami maqashid syari’ah dalam pengembangan hukum Islam adalah melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh al-Syari’.[32] Al-sukut ‘an syar’iyyah al-‘amal dibagai oleh al-Syatibi ke dalam dua macam, yaitu:
a.    Al-Sukut karena tidak ada motif
Al-Sukut atau sikap diam al-Syari’ dalam kaitan ini disebabkan oleh tidak ada motif atau tidak terdapat faktor yang dapat mendorong al-Syari’ untuk memberi ketetapan hukum. Akan tetapi pada rentang berikutnya dapat dirasakan manusia bahwa ketetapan hukum tersebut membawa dampak yang posistif.[33] Perkembangan hukum dalam persoalan-persoalan muamalah secara sosiologis muncul sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Ia tidak muncul secara serempak dalam satu masa, persoalan yang tidak muncul pada masa Nab, tidak berarti terlarang pada masa-masa sesudahnya. Ketidak munculan di masa Nabi, karena pada masa itu tidak ada faktor atau motif yang menghendakinya. Namun ditinjau dari aspek maqashid syari’ah dapat diduga persoalan itu dibolehkan Nabi dan dibutuhkan pada era sesudah beliau.  Misalnya, Keberadaan lembaga-lembaga perbankan syari’ah dan konvensional pada masa Nabi belum ada, akan tetapi saat ini keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
b.    Al-Sukut walaupun ada motif
Maksudnya adalah sikap diam al-Syari’ terhadap suatu persoalan hukum, walau pada dasarnya terdapat faktor atau motif yang mengharuskan al-Syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu munculnya persoalan hukum tersebut. Sikap ini menurut al-Syatibi harus dipahami bahwa keberlakuan penambahan dan pengurangan terhadap apa yang telah ditetapkan. Apa yang telah ditetapkan itulah yang diinginkan oleh al-Syari’ atau dapat disebut dengan maqashid syari’ah. Penambahan terhadap hukum yang telah ditetapkan dapat dianggap sebagai bid’ah dan bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh al-Syari’.[34] Misalanya, dalam persoalan ibadah tidak dibolehkan adanya penambahan dan pengurangan.
Berdasarkan uraian tentang cara-cara memahami maqashid syari’ah di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa cara pertama adalah ditujukan pada masalah-masalah ibadah, cara kedua ditujukan kepada masalah-masalah muamalah, dan cara ketiga ditujukan kepada muamalah dan ibadah. Oleh karena itu, menurut hemat penulis untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat sesuai dengan maqashid syari’ah maka ketiga cara di atas perlu dikembangkan khususnya dalam kajian ekonomi dan bisnis syari’ah yang semakin berkembang di masyarakat.
D.  Maslahah Dalam Hukum Bisnis Syari’ah
Berdasarkan asumsi bahwa rumusan ekonomi dan bisnis syari’ah adalah maslahat. Dalam buku hasil penelitian yang ditulis oleh Asafri Jaya Bakri, beliau mengemukakan al-masalih al-mursalah dan az-zari’ah sebagai metode ijtihad dengan corak penalaran istihlah yang harus dikembangkan dengan menunjukkan urgensi pertimbangan maqashid syari’ah di dalam metode tersebut.[35] Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu kiranya membahas maslahat[36] lebih lanjut kaitannya dengan ekonomi dan bisnis syari’ah.
Dalam pemikiran ushul fiqh terdapat tiga cara menentukan legalitas maslahat yang sekaligus membagi maslahat kepada tiga macam,[37] yaitu:
1.    Maslahat yang legalitasnya berdasarkan tunjukan dari suatu nash, baik al-Qur’an maupun hadits (maslahah mu’tabarah). Misalnya, dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi:[38]
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Pdahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhan-nya, lalu dia berhenti (dari mengambil riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu (sebelum datang larangan) menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulagi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”

Dari ayat di atas sangat jelas tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Oleh karena itu, dalam mengembangkan harta atau usaha hendaknya dilakukan secara proporsional agar tidak merugikan di antara salah satu pihak yang melakukan transaksi.
2.    Maslahat yang ditolak legalitasnya oleh al-Syari’ (maslahah mulghah). Artinya sesuatu yang dilihat manusia sebagai suatu kemaslahatan, akan tetapi bertentangan dengan al-syari’ seperti yang ditunjukkan oleh nash di atas. Maka alasan penerapan kemaslahatan demikian tidak bisa dibenarkan. Misalnya, pengembangan harta atau usaha secara ribawi dalam ayat al-Qur’an disebutkan berbunyi:[39]
Dan karena mereka menjalankan riba, padahal mereka sungguh telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil), dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka adzab yang pedih
    
3.    Maslahah yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya (maslahah al-mursalah). Artinya maslahah yang tidak diperintahkan di dalam al-Qur’an dan hadits, akan tetapi tidak bertentangan terhadap keduanya. Mislanya, pendirian bank syari’ah[40] sebagai lembaga yang menghubungkan antara pemilik modal dan pekerja. Dalam al-Qur’an atau hadits tidak ada perintah untuk mendirikan lembaga perbankan syari’ah, akan tetapi keberadaannya tidak di larangan oleh al-Qur’an atau hadits. Disamping itu, keberadaan lembaga perbankan membawa atau mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan manfaat tersebut tidak bertentangan dengan nash seperti prinsip bagi hasil (akad mudharabah[41]), maka di antara kedua belah pihak akan mendapatkan manfaat dari hasil kerja sama tersebut.
Dari ketiga maslahat di atas, kalau kita cermati maka dapat dikatakan bahwa tidak semua maslahat itu dibenarkan oleh syarak, akan tetapi ada juga maslahat yang bertentangan dengan syarak. Oleh karena itu, menurut hemat penulis dari ketiga maslahat tersebut yang sangat urgen untuk dijadikan pisau analisis dalam pengembangan kajian hukum islam terkait dengan masalah-masalah ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini adalah pada bagian ketiga, yaitu maslahah yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya (maslahah al-mursalah). Sehingga maslahah al-mursalah disini bisa dijadikan sebagai pisau analisis atau sumber hukum dengan selalu mengacu kepada pengembangan maqashid syari’ah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu maqashid al-daruriyat, maqashid al-hajiyat, dan maqashid al-tahsiniyat, sehingga kemaslahatan benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.  
Terkait dengan maqashid syari’ah, Abd. Muqsith Ghazali menawarkan sebuah gagasan bahwa maqashid syari’ah merupakan sumber hukum pertama dalam Islam baru kemuadian diikuti secara beriringan al-Qur’an dan al-Sunnah. Maqashid syari’ah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam yang menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan spesifik al-Qur’an. Maqashid merupakan sumber inspirasi tatkala al-Qur’an hendak menanam ketentuan-ketentuan legal-spesifik dilapangan. Maqashid adalah sumber dari segala sumber dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Selanjutny menurut beliau, jika ada satu ketentuan baik di dalam al-Qur’an maupun hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqashid syari’ah, maka ketentuan tersebut masti direformasi. Ketentuan tersebut harus batal atau dibatalkan demi logika maqashid syari’ah.[42] Dengan demikian, menurut hemat penulis gagasan di atas perlu ditindak lanjuti dalam rangka mengembangkan hukum yang terkait dengan permasalahan-permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini. karena hukum tidaklah bersifat statis, ia selalu bergerak dan berubah mengikuti roda kehidupan. Jadi, maqashid syari’ah dan maslahat sebagai sumber hukum islam  memang penting untuk dikembangkan.
Menurut Agustianto bahwa untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonomi muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahat adalah sari pati dari syari’ah. Para ulama menyatakan bahwa “dimana ada maslahah, maka disitu ada syari’ah Allah”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka disitulah syari’ah Allah.[43] Dengan demikian, menurut hemat penulis dalam bidang muamalah (ekonomi dan bisnis syari’ah) konsep maqashid syari’ah dan maslahat ini memiliki posisi sangat sentral dalam syari’at islam sebagai pegangan dan pisau analisis dalam kajian ekonomi dan bisnis syari’ah saat ini.  
E.  Penutup
Berdasarkan rumusan dan penjelasan di atas, maka menurut dapat disimpulkan bahwa maqashid syari’ah dan maslahat memiliki peran yang sangat urgen untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam menjawab persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ekonomi dan bisnis syari’ah yang semakin berkembang dewasa ini. Dengan demikian, maqashid syari’ah dan maslahat digunakan sebagai pisau analisis oleh para ahli hukum Islam diharapkan mampu menemukan hukum baru untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut sehingga konsep ekonomi dan bisnis syari’ah benar-benar diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jadi, menjadi kewajiban bagi para ahli hukum Islam dan ahli ekonomi dan bisnis syari’ah yang ada di Indonesia bekerja keras untuk selalu melakukan kajian terkait dengan persoalan-persoalan ekonomi dan bisnis syari’ah sehingga dalam perkembangannya juga benar-benar sesuai dengan konteks ke-indonesia-an.

DAFTAR PUSTAKA

Bakri, Asafri Jayai, Maqashid  Syari’ah  Menurut  Al-Syatibi, Jakarta: PT Raja Grafindo  
Persada, 1996.

Dahlan, Abdul Aziz dan dkk,  Ensiklopedi  Hukum  Islam,  Jakarta: PT. Ichtiar  Baru  van
Hove, 1996.

Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh  Versus  Hermeneutika, Yogyakarta: Pesantren  Nawesea
Press, 2006.

Sudarsono, Heri, Bank  dan  Lembaga  Keuangan  Syari’ah, Yogyakarta: Ekonesia, 2008.

Afandi, Yazid, Fiqh  Muamalah   dan   Implementasinya   Dalam   Lembaga  Keuangan
Syari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.

Azizi, A. Qadri, Ghazali, Abd. Muqsith, dkk, Pemikiran Islam  Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung, PT Sygma Examedia
Arkanleema, tt.

Artikel tentang “Urgensi  Maslahah  dalam  Ijtihad  Ekonomi  Islam” oleh Agustianto di
http//:www.agustiantocenter.com, posted on 16-04-2011.

Artikel tentang “Ushul  Fiqh  dan  Ulama  Ekonomi  Syari’ah” oleh Agustianto di
http//:www.agustiantocenter.com, Posted on 06-04-2011.


    



[1] Artikel ini disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendekatan Dalam Studi Islam di PPs MSI-UII Yogyakarta tanggal 30 Juli 2011.
[2] Artikel tentang “Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syari’ah” oleh Agustianto di http//:www.agustiantocenter.com, Posted on 06-04-2011.
[3] Artikel tentang “Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam” oleh Agustianto di http//:www.agustiantocenter.com, posted on 16-04-2011.
[4] Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 61.
[5] Ibid, hlm. 63-64.
[6] Abdul Aziz Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hove, 1996), hlm. 1108.
[7] Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 65-66.
[8] Ahmad Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”,  hlm. 1143.
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 1144.
[11] Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 69-70.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm. 71.
[15] Ibid.
[16]  Ahmad Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”,  hlm. 1144.
[17] Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 72.
[18] Yudian Wahyudi, “Ushul Fiqh Versus Hermeneutika”, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006), hlm. 45.
[19] Ibid, hlm. 45-46.
[20] Ibid, hlm. 47.
[21] Asafri Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 73.
[22] Ibid.
[23] Ibid, hlm. 74.
[24] Ibid, hlm. 7.
[25] Ibid, hlm. 74-83.
[26] Ibid, hlm. 84.
[27] Ibid, hlm. 89.
[28] Ibid, hlm. 89-91.
[29] Ibid, hlm. 91.
[30] Ibid, hlm. 92-93.
[31] Ibid, hlm. 94-95.
[32] Ibid, hlm. 99.
[33] Ibid, hlm. 100.
[34] Ibid, hlm. 101.
[35] Ibid, hlm. 142.
[36]Manfaat yang dikemukakan oleh Syari’ dalam menetapkan hukum untuk hambanya dalam usaha memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid......., hlm. 142)
[37] Ibid, hlm. 144-146.
[38] QS. Surat al-Baqarah, ayat 275 (Lihat: Departemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahannya”, Bandung, PT Sygma Examedia Arkanleema, tt, hlm. 47).
[39] QS. Surat al-Nisa’, ayat 161 (Lihat: Departemen Agama RI, “al-Qur’an dan Terjemahannya”, Bandung, PT Sygma Examedia Arkanleema, tt, hlm. 103).
[40] Fungsi dan peran bank syari’ah di antaranya: (a) Manajer investasi, bank syari’ah dapat mengelola investasi dana nasabah. (b) Investor, bank syari’ah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya. (c) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syari’ah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagamana lazimnya. (d) Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syari’ah, bank islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola zakat serta dana-dana sosial lainnya (Lihat: Heri Sudarsono, “Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah”, Yogyakarta: Ekonesia, 2008, hlm. 43) 
[41] Salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pedagang yang mempunyai keahlian untuk melakukan usaha bersama. Jika usaha tersebut mendapatkan keuntungan, keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Namun, apabila terjadi kerugian dalam usaha, kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal, dan pengusaha tidak berhak atas upah dari usahanya (Lihat: Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah”, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009, hlm. 101)
[42] A. Qadri Azizi, Abd. Muqsith Ghazali, dkk, “Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 141.
[43] Artikel tentang “Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam” oleh Agustianto di http//:www.agustiantocenter.com, posted on 16-04-2011.

1 komentar: