ARTIKEL
MAQASHID SYARI’AH & MASLAHAH
DALAM EKONOMI&BISNIS SYARI’AH
Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Dosen
Pengampu : Drs. Yusdani, M.Ag.
Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
109 130 19
Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi
Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
ARTIKEL
MAQASHID SYARI’AH & MASLAHAH DALAM
EKONOMI& BISNIS SYARI’AH[1]
A.
Pendahuluan
Perkembangan
ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini terlihat semakin pesat khususnya di
Indoensia. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa lembaga syari’ah,
seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana
syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syari’ah, pegadaian syari’ah dan
lain-lain. Ekonomi dan bisnis syari’ah ini bukan hanya dalam bentuk
lembaga-lembaga di atas, akan tetapi juga meliputi berbagai aspek yang sangat
luas, seperti ekonomi makro dan mikro dan masalah-masalah ekonomi lainnya.
Terkait
dengan permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah, agar perkembangan tetap
sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah, maka menurut Agustianto keterlibatan
ulama ekonomi syari’ah menjadi penting, seperti berijtihad memberikan solusi
bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik sekala mikro maupun makro,
mendesign akad-akad syari’ah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai
lembaga keuangan syari’ah, mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan
keuangan syari’ah dijalankan sesuai syari’ah.[2]
Oleh karena itu, menurut hemat penulis bahwa konsep maqashid syari’ah
al-Syatibi ini penting sekali untuk digunakan sebagai teori kajian dalam
ekonomi dan bisnis syari’ah terkait dengan permasalahan-permasalahan dewasa
ini, sehingga roda perekonomian di tengah-tengah masyarakat benar-benar sesuai
dengan maqashid syari’ah dan yang diharapkan oleh umat manusia.
Menurut
Agustianto bahwa prinsip utama dalam formulasi ekonomi islam dan perumusan
fatwa-fatwa serta produk keuangan adalah maslahah.[3]
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sebuah
rumusan masalah bagaimana kedudukan maqashid syari’ah dan maslahah dalam ekonomi
dan bisnis syari’ah dewasa ini?, berangkat dari pokok masalah tersebut, maka
penulis akan menjelaskan konsep maqashid syari’ah dan maslahat yang kemudian
akan penulis hubungkan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum bisnis
syari’ah dewasa ini.
B.
Pengertian Maqashid Syari’ah dan Maslahat
Maqashid
Syari’ah ditinjau dari lughawi (bahasa), maka terdiri dari dua kata,
yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari maqashid yang
berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الى الماء yang
berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat juga
dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[4] Kaitan dengan maqashid syari’ah tersbut, al-Syatibi
mempergunakan kata yang berbeda-beda yaitu maqashid syari’ah, al-maqashid
al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqashid min syar’i al-hukm. Walau dengan
kata-kata yang berbeda, manurut Asafri Jaya Bakri mengandung tujuan yang sama
yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Sebagaimana ungkapan al-Syatibi:
“Sesungguhnya syari’at itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat” dan “Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan
hamba”.[5] Dengan demikian, memberikan pengertian bahwa kandungan maqashid
syari’ah adalah kemaslahatan umat manusia. Sedangkan menurut istilah,
dikalangan ulama ushul fiqh adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syarak
dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia, disebut juga
dengan asrar asy-syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik
hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemaslahatan bagi umat manusia, baik
di dunia maupun di akhirat.[6] Oleh karena itu, Asafri Jaya Bakri memandang bahwa kandungan maqashid
syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan itu, melalui maqashid syari’ah
tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika
dan pengembangan hukum dilihat sebagai susuatu yang mengandung nilai filosofis
dari hukum-hukum yang di syari’atkan Tuhan terhadap manusia.[7]
Adapun
pengertian maslahat dalam Ensiklopedi Hukum Islam, secara bahasa maslahat
adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal
dari jama’ masholeh yang artinya sama dengan manfaat.[8]
Oleh karena itu, segala sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa dikatakan maslahah.
Sedangkan pengertian maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam
al-Ghazali bahwa maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Ia memandang bahwa
suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan
dengan tujuan-tujuan manusia.[9] Tujuan syarak yang harus dipelihara
tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jadi
menurut al-Ghazali bahwa setiap seseorang melakukan sesuatu perbuatan
yang pada intinya bertujuan memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka
perbuatannya dinamakan maslahat.[10] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat
adalah manfaat yang hendak di capai oleh manusia dalam segala aspek
kehidupan. Jadi, kalau kita cermati kedua definisi di atas maka maqashid
syari’ah dengan maslahat merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan dan
hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
C.
Pembagian dan Metode Memahami Maqashid
Syari’ah
Menurut
Asafri Jaya Bakri[11] bahwa dari segi substansi, maqashid syari’ah adalah
kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk:
Pertama dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas. Kedua
dalam bentuk majazi yakni yang merupakan sebab yang membawa kepada
kemaslahatan. Kemaslahatan itu, oleh al-Syatibi dilihat pada 2 (dua) sudut
pandang, yaitu:[12]
1.
Maqashid
al-Syar’i (Tujuan Tuhan)
2.
Maqashid
al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf)
Maqashid
al-Syari’ dalam arti maqashid al-Syar’i mengandung empat aspek. Keempat aspek
tersebut, adalah:[13]
1.
Tujuan
awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Aspek
ini berkaitan dengan muatan dan hakikat maqashid al-Syari’ah.
2.
Syari’at
sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa
agar syari’at dapat dipahami sehingga dicapai kemaslahatan yang dikandungnya.
3.
Syari’at
sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Aspek ini berkaitan
dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan dan juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya.
4.
Tujuan
syari’at adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum. Aspek ini berkaitan
dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf dibawah dan terhadap hukum-hukum
Allah atau tujuan syari’at berupaya membebaskan manusia dari kekangan hawa
nafsu.
Aspek
kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya lebih tampak sebagai penunjang aspek
pertama sebagai aspek inti. Aspek pertama sebagai inti tersebut dapat terwujud
melalui pelaksanaan taklif atau pembebanan hukum terhadap para hamba sebagai
aspek ketiga. Taklif tidak dapat dilakukan kecuali memiliki pemahaman baik
dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan
taklif ini dapat membawa manusia berada dibawah lindungan hukum Allah, lepas
dari kekangan hawa nafsu sebagai aspek keempat. Dalam keterkaitan demikianlah
tujuan diciptakannya syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat, sebagai aspek inti dapat diwujudkan.[14]
Dari
beberapa aspek di atas, maka menurut Asafri Jaya Bakri bahwa aspek pertama
sebagai aspek inti, karena aspek pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan
syari’at oleh Tuhan yaitu kemaslahatan dunia dan akhirat. Hakikat atau tujuan
awal pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.[15] Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali bahwa kemaslahatan
itu dapat diwujudkan apabila lima unsur tujuan syarak dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[16] Dalam usaha untuk mewujudkan dan
memelihara lima unsur pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi kepada
tiga tingkat maqashid atau tujuan syari’ah, yaitu:[17]
1.
Maqashid
al-Daruriyat, dimaksudkan
untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Al-Daruriya (tujuan-tujuan
primer) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi[18] sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat
akan menghancurkan kehidupan secara total yang menurut versi yang paling
populer adalah melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Misalnya,
untuk menyelamatkan jiwa, Islam mewajibkan umat manusia untuk makan tetapi
secara tidak berlebihan. Untuk menyelamatkan harta, Islam mensyari’atkan
misalnya hukum-hukum muamalah sekaligus melarang langkah-langkah yang
merusaknya seperti pencurian dan perampokan.
2.
Maqashid
al-Hajiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih
baik lagi. Al-Hajiyat (tujuan-tujuan sekunder) ini didefinisikan oleh Yudian
Wahyudi[19] sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah
mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk kedalam katagori dharuriyat,
sebaliknya menyingkirkan faktor-faktor yang mempersulit usaha perwujudan dharuriyat.
Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran
sekunder ini dibutuhkan tapi bukan niscaya. Artinya, jika hal-hal hajiyat
tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi
berbagai kekurang sempurnaan, bahkan kesulitan. Misalnya, untuk
menyelamatkan jiwa sebagai tujuan sekunder melalui makan dibutuhkan
peralatan makan seperti kompor. Memang tanpa kompor manusia tidak akan mati
karena ia masih bisa menyantap makanan yang tidak di masak, tetapi kehadiran
kompor dapat melengkapi jenis menu yang dapat dihidangkan. Terjadi berbagai
kemudahan dengan hadirnya kompor. Untuk melindungi harta sebagai tujuan primer
maka dibutuhkan peralatan seperti senjata api, memang orang dapat saja
melindungi hartanya dengan golok, pisau atau sumpit, tetapi senjata api lebih
membantu.
3.
Maqashid
al-Tahsiniyat, dimaksudkan
agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima
unsur pokok. Al-Tahsiniyat (tujuan-tujuan tertier) ini didefinisikan oleh Yudian
Wahyudi[20] sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan,
tetapi akan bersifat akan memperindah poses perwujudan kepentingan dharuriyat
dan hajiyat. Sebaliknya, ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan
maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika. Di
sini pilihan pribadi sangat dihormati -jadi bersifat ralatif dan lokal- sejauh
tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Misalnya, kompor yang dibutuhkan
dalam dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni menyelamatkan jiwa melalui
makan itu bersumbu delapan belas, kompor gas, kompor listrik atau kompor sinar
surya diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Senjata api
yang dibutuhkan dalam rangka merealisir tujuan primer yakni melindungi
harta melalui senjata api, itu berlaras panjang atau pendek, buatan Indonesia
atau Amerika, berwarna hitam atau putih, dan seterusnya, diserahkan kepada
pilihan dan kemampuan lokal.
Dari
ketiga tingkat tujuan syari’ah tersebut, maka menurut Asafri Jaya Bakri menunjukkan
bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan
manusia. Selain itu, juga mengacu kepada pengembangan dan dinamika pemahaman
hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.[21] Dengan demikian, menurut
hemat penulis perkembangan ekonomi dan bisnis yang berbasis syari’ah dewasa ini
tentu akan memunculkan masalah-masalah baru di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga perlu adanya kajian mendalam dan penyelesaian dalam aspek hukumnya
yang relevan dengan mengedepankan maqashid syari’ah (maslahat) itu
sendiri.
Dalam
rangka pemahaman dan dinamika hukum Islam tersebut, maka menurut Asafri Jaya
Bakri berdasarkan pemahaman beliau terhadap pemikiran al-Syatibi
dalam al-Muwafaqat, bertolak dari batasan bahwa al-Maqashid adalah
kemaslahatan, maka dapat dikatakan bahwa ia juga membagi maqashid atau tujuan
hukum itu kepada dua orientasi kandungan. Kedua kandungan tersebut adalah:[22]
1.
al-masalih
al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia)
2.
al-masalih
al-Ukhrawiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat)
Kedua
aspek ini menurut al-Syatibi tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam.
Oleh karena itu, menurut Asfri Jaya bakri[23] bahwa baik daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat serta orientasi
kandungan maslahat dunia dan akhirat adalah sangat penting dalam pengembangan
hukum Islam. Disamping itu dapat menarik garis yang jelas antara lapangan hukum
yang boleh dilakukan pengembangan melalui ijtihad dan lapangan hukum yang tidak
boleh dilakukan ijtihad, sehingga pembagian-pembagian tersebut menjadi titik
tolak dalam memahami hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah yang menurut
penulis khususnya dalam bidang muamalah. Sebagaimana pendapat Satria Effendi[24]
bahwa khusus dalam bidang muamalah selama dapat diketahui tujuan hukumnya
maka dapat dilakukan pengembangan hukum.
Maqashid
syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, pemahaman dan
penggaliannya memerlukan beberapa syarat. Menurut al-Syatibi
sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan dalam rangka memahami
maqashid syari’ah[25],
yaitu:
1.
Memiliki
Pengetahuan Bahasa Arab
2.
Memiliki
Pengetahuan Tentang Sunnah
Ada
tiga fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an yang dikembangkan oleh para ulama, yaitu:
a.
Memperkuat
hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.
b.
Memberi
keterangan, bayan, terhadap apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an
secara garis besar.
c.
Fungsi
Sunnah sebagai penetap ataupun pencipta hukum yang telah diatur dalam
al-Qur’an
3.
Mengetahui
Sebab-Sebab Turunya Ayat
Dalam
hal ini, menurut al-Suyuti bahwa tanpa mengetahui sebab-sebab turun
ayat, akan sulit untuk melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an bahkan
tidak mungkin terhadap ayat-ayat tertentu.[26] Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Qur’an adalah firman Allah,
maka Allah saja yang paling mengetahui maksud dan kandungannya. Manusia,
bagaimanapun tidak bisa mengetahui kandungan al-Qur’an sepenuhnya. Namun
demikian, karena al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ditujukan
kepada manusia, maka ada keharusan bagi manusia untuk senantiasa berusaha
memahami kandungan al-Qur’an. Disamping itu perlu pemahaman terhadap Sunnah
Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur’an. Kedua sumber inilah
pencarian maqashid syari’ah dilakukan.[27]
Dalam
kaitan dengan upaya pemahaman maqashid syari’ah, menurut al-Syatibi bahwa
ulama terbagi kepada tiga kelompok dengan corak pemahaman yang berbeda-beda,
yaitu sebagai berikut:[28]
Pertama. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah adalah suatu yang
abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk
zahir lafaz yang jelas. Pandangan ini menolak analisis dalam bentuk qiyas.
Kelompok ini disebut dengan ulama al-Zahriyah.
Kedua. Ulama yang tidak menempuh pendekatan zahir al-lafz dalam
mengetahui maqashid syari’ah, kelompok ini terbagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu
(a) Kelompok yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah bukan dalam bentuk zahir,
dan bukan pula yang di fahami dari tunjukan zahir al-lafz itu. Maqashid
syari’ah merupakan hal lain yang ada dibalik tunjukan zahir al-lafz, yang
terdapat dalam semua aspek syari’ah, sehingga tak seorang pun yang dapat
berpegang dengan zahir al-lafz yang memungkinkan ia memperoleh pengertian
maqashid syari’ah. Kelompok ini disebut ulama al-Bathiniyyah. (b)
Kelompok yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah harus dikaitkan dengan
pengertian-pengertian lafal. Artinya zahir al-lafz tidak harus mengandung
tunjukan mutlak. Apabila terdapat pertentangan zahir al-lafz dengan nalar, maka
yang diutamakan dan didahulukan adalah pengertian nalar, baik atas dasar
keharusan menjaga kemaslahatan atau tidak. Kelompok ini disebut ulama
al-Muta’ammiqin fi al-Qiyas.
Ketiga. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir al-lafz
dan pertimbangan makna/’illah) dalam suatu bentuk tidak merusak pengertian
zahir al-lafz dan tidak pula merusak kandungan makna/’illah, agar syari’ah
tetap berjalan secara harmoni tanpa kontradiksi-kontradiksi. Kelompok ini
disebut ulama al-rasikhin.
Dalam
memahami maqashid syari’ah, menurut Asafri Jaya Bakri bahwa al-Syatibi
tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (ulama al-Rasikhin). Pengejewantahan
pemikiran ini tanpak dalam tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syatibi
dalam upaya memahami maqashid syari’ah.[29] Adapun tiga cara tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan
analisis terhadap lafal perintah dan larangan, baik yang terdapat dalam
al-Qur’an dan hadis secara jelas sebelum dikaitkan dengan
permaslahan-permasalahan yang lain. Artinya, kembali kepada makna perintah dan
larangan secara hakiki.[30] Penekanan al-Syatibi dengan bentuk perintah dan larangan
yang tegas meruapak sikap kehati-hatian dalam upaya melakukan pemahaman
maqashid syari’ah yang lebih tepat, sehingga maqashid benar-benar bisa
dijadikan pertimbangan dalam penetapan dan pengembangan hukum Islam. Misalnya,
larangan jual beli bukanlah larangan yang beridiri sendiri, akan tetapi hanya
bertujuan menguatkan perintah untuk melakukan penyegeraan mengingat Allah
(menunaikan shalat jum’at) QS. surat al-Jum’ah ayat 9.
2.
Penelaahan
‘illah al-amr (perintah) dan al-nahy (larangan), pemahaman maqashid syari’ah
dapat pula dilakukan melalui analisis ‘illah yang terdapat dalam ayat-ayat
al-Qur’an atau hadis. ‘Illah hukum ini adakalanya tertulis secara jelas dan
adakalanya tidak tertulis secara jelas. Apabila ‘illah itu tertulis secara
jelas dalam ayat atau hadis, maka menurut al-Syatibi harus mengikuti apa
yang tertulis itu. Karena dengan mengikuti yang tertulis itu, tujuan hukum
dalam perintah dan larangan itu dapat
dicapai. Apabila ‘illah hukum tidak dapat diketahui dengan jelas, maka kita
harus melakukan tawqquf (menyerahkan hal itu kepada al-Syar’i/Tuhan).[31] Misalnya, penyariatan jual beli yang bertujuan saling
mendapatkan manfaat melalui suatu transaksi.
3.
Analisis
terhadap al-sukut ‘an syar’iyyah al-‘amal ma’aqiyan al-ma’na al-muqtada lah
(sikap diam al-syari’ dari pensyariatan sesuatu), cara ketiga ini digunakan
oleh al-Syatibi dalam memahami maqashid syari’ah dalam pengembangan
hukum Islam adalah melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan hukum
yang tidak disebut oleh al-Syari’.[32] Al-sukut ‘an syar’iyyah al-‘amal dibagai oleh al-Syatibi
ke dalam dua macam, yaitu:
a.
Al-Sukut
karena tidak ada motif
Al-Sukut atau sikap diam al-Syari’ dalam kaitan ini disebabkan oleh
tidak ada motif atau tidak terdapat faktor yang dapat mendorong al-Syari’ untuk
memberi ketetapan hukum. Akan tetapi pada rentang berikutnya dapat dirasakan
manusia bahwa ketetapan hukum tersebut membawa dampak yang posistif.[33] Perkembangan hukum dalam persoalan-persoalan muamalah secara
sosiologis muncul sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Ia tidak muncul secara serempak dalam satu masa, persoalan yang tidak muncul
pada masa Nab, tidak berarti terlarang pada masa-masa sesudahnya. Ketidak
munculan di masa Nabi, karena pada masa itu tidak ada faktor atau motif yang
menghendakinya. Namun ditinjau dari aspek maqashid syari’ah dapat diduga persoalan
itu dibolehkan Nabi dan dibutuhkan pada era sesudah beliau. Misalnya, Keberadaan lembaga-lembaga
perbankan syari’ah dan konvensional pada masa Nabi belum ada, akan tetapi saat
ini keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
b.
Al-Sukut
walaupun ada motif
Maksudnya adalah sikap diam al-Syari’ terhadap suatu persoalan
hukum, walau pada dasarnya terdapat faktor atau motif yang mengharuskan
al-Syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu munculnya persoalan hukum
tersebut. Sikap ini menurut al-Syatibi harus dipahami bahwa keberlakuan
penambahan dan pengurangan terhadap apa yang telah ditetapkan. Apa yang telah
ditetapkan itulah yang diinginkan oleh al-Syari’ atau dapat disebut dengan
maqashid syari’ah. Penambahan terhadap hukum yang telah ditetapkan dapat
dianggap sebagai bid’ah dan bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh
al-Syari’.[34] Misalanya, dalam persoalan ibadah tidak dibolehkan adanya
penambahan dan pengurangan.
Berdasarkan
uraian tentang cara-cara memahami maqashid syari’ah di atas, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa cara pertama adalah ditujukan pada masalah-masalah
ibadah, cara kedua ditujukan kepada masalah-masalah muamalah, dan cara ketiga
ditujukan kepada muamalah dan ibadah. Oleh karena itu, menurut hemat penulis
untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat sesuai dengan maqashid syari’ah
maka ketiga cara di atas perlu dikembangkan khususnya dalam kajian ekonomi dan
bisnis syari’ah yang semakin berkembang di masyarakat.
D.
Maslahah Dalam Hukum Bisnis Syari’ah
Berdasarkan
asumsi bahwa rumusan ekonomi dan bisnis syari’ah adalah maslahat. Dalam buku hasil
penelitian yang ditulis oleh Asafri Jaya Bakri, beliau mengemukakan al-masalih
al-mursalah dan az-zari’ah sebagai metode ijtihad dengan corak penalaran
istihlah yang harus dikembangkan dengan menunjukkan urgensi pertimbangan
maqashid syari’ah di dalam metode tersebut.[35]
Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu kiranya membahas maslahat[36] lebih lanjut
kaitannya dengan ekonomi dan bisnis syari’ah.
Dalam
pemikiran ushul fiqh terdapat tiga cara menentukan legalitas maslahat yang
sekaligus membagi maslahat kepada tiga macam,[37] yaitu:
1.
Maslahat
yang legalitasnya berdasarkan tunjukan dari suatu nash, baik al-Qur’an maupun
hadits (maslahah mu’tabarah). Misalnya, dalam ayat al-Qur’an yang
berbunyi:[38]
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya
jual-beli itu sama dengan riba. Pdahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba, Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhan-nya, lalu
dia berhenti (dari mengambil riba), maka apa yang telah diperolehnya
dahulu (sebelum datang larangan) menjadi miliknya dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Barang siapa mengulagi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
Dari ayat di atas sangat jelas
tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Oleh karena itu, dalam
mengembangkan harta atau usaha hendaknya dilakukan secara proporsional agar
tidak merugikan di antara salah satu pihak yang melakukan transaksi.
2.
Maslahat
yang ditolak legalitasnya oleh al-Syari’ (maslahah mulghah). Artinya sesuatu
yang dilihat manusia sebagai suatu kemaslahatan, akan tetapi bertentangan
dengan al-syari’ seperti yang ditunjukkan oleh nash di atas. Maka alasan
penerapan kemaslahatan demikian tidak bisa dibenarkan. Misalnya,
pengembangan harta atau usaha secara ribawi dalam ayat al-Qur’an disebutkan
berbunyi:[39]
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal mereka sungguh
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak
sah (bathil), dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka adzab
yang pedih ”
3.
Maslahah
yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap keberlakuan maupun
ketidakberlakuannya (maslahah al-mursalah). Artinya maslahah yang tidak
diperintahkan di dalam al-Qur’an dan hadits, akan tetapi tidak bertentangan
terhadap keduanya. Mislanya, pendirian bank syari’ah[40] sebagai lembaga yang menghubungkan antara pemilik modal dan
pekerja. Dalam al-Qur’an atau hadits tidak ada perintah untuk mendirikan
lembaga perbankan syari’ah, akan tetapi keberadaannya tidak di larangan oleh
al-Qur’an atau hadits. Disamping itu, keberadaan lembaga perbankan membawa atau
mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan manfaat tersebut tidak bertentangan
dengan nash seperti prinsip bagi hasil (akad mudharabah[41]), maka di antara kedua belah pihak akan mendapatkan manfaat dari
hasil kerja sama tersebut.
Dari
ketiga maslahat di atas, kalau kita cermati maka dapat dikatakan bahwa tidak
semua maslahat itu dibenarkan oleh syarak, akan tetapi ada juga maslahat yang
bertentangan dengan syarak. Oleh karena itu, menurut hemat penulis dari ketiga
maslahat tersebut yang sangat urgen untuk dijadikan pisau analisis dalam pengembangan
kajian hukum islam terkait dengan masalah-masalah ekonomi dan bisnis syari’ah
dewasa ini adalah pada bagian ketiga, yaitu maslahah yang tidak terdapat
legalitas nash baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya (maslahah
al-mursalah). Sehingga maslahah al-mursalah disini bisa dijadikan sebagai pisau
analisis atau sumber hukum dengan selalu mengacu kepada pengembangan maqashid
syari’ah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu maqashid al-daruriyat,
maqashid al-hajiyat, dan maqashid al-tahsiniyat, sehingga
kemaslahatan benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.
Terkait
dengan maqashid syari’ah, Abd. Muqsith Ghazali menawarkan sebuah gagasan
bahwa maqashid syari’ah merupakan sumber hukum pertama dalam Islam baru kemuadian
diikuti secara beriringan al-Qur’an dan al-Sunnah. Maqashid syari’ah merupakan
inti dari totalitas ajaran Islam yang menempati posisi lebih tinggi dari
ketentuan-ketentuan spesifik al-Qur’an. Maqashid merupakan sumber inspirasi
tatkala al-Qur’an hendak menanam ketentuan-ketentuan legal-spesifik dilapangan.
Maqashid adalah sumber dari segala sumber dalam Islam, termasuk sumber dari
al-Qur’an itu sendiri. Selanjutny menurut beliau, jika ada satu ketentuan baik
di dalam al-Qur’an maupun hadits yang bertentangan secara substantif terhadap
maqashid syari’ah, maka ketentuan tersebut masti direformasi. Ketentuan
tersebut harus batal atau dibatalkan demi logika maqashid syari’ah.[42] Dengan demikian, menurut hemat penulis gagasan di atas perlu
ditindak lanjuti dalam rangka mengembangkan hukum yang terkait dengan
permasalahan-permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini. karena hukum
tidaklah bersifat statis, ia selalu bergerak dan berubah mengikuti roda
kehidupan. Jadi, maqashid syari’ah dan maslahat sebagai sumber hukum islam memang penting untuk dikembangkan.
Menurut
Agustianto bahwa untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonomi muslim cukup
dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahat adalah sari pati dari
syari’ah. Para ulama menyatakan bahwa “dimana ada maslahah, maka disitu ada
syari’ah Allah”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka
disitulah syari’ah Allah.[43] Dengan demikian, menurut hemat penulis dalam bidang muamalah
(ekonomi dan bisnis syari’ah) konsep maqashid syari’ah dan maslahat ini
memiliki posisi sangat sentral dalam syari’at islam sebagai pegangan dan pisau
analisis dalam kajian ekonomi dan bisnis syari’ah saat ini.
E.
Penutup
Berdasarkan
rumusan dan penjelasan di atas, maka menurut dapat disimpulkan bahwa maqashid
syari’ah dan maslahat memiliki peran yang sangat urgen untuk digunakan sebagai
pisau analisis dalam menjawab persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
ekonomi dan bisnis syari’ah yang semakin berkembang dewasa ini. Dengan
demikian, maqashid syari’ah dan maslahat digunakan sebagai pisau analisis oleh
para ahli hukum Islam diharapkan mampu menemukan hukum baru untuk menjawab
persoalan-persoalan tersebut sehingga konsep ekonomi dan bisnis syari’ah
benar-benar diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jadi, menjadi
kewajiban bagi para ahli hukum Islam dan ahli ekonomi dan bisnis syari’ah yang
ada di Indonesia bekerja keras untuk selalu melakukan kajian terkait dengan
persoalan-persoalan ekonomi dan bisnis syari’ah sehingga dalam perkembangannya
juga benar-benar sesuai dengan konteks ke-indonesia-an.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Asafri Jayai, Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,
1996.
Dahlan, Abdul Aziz dan dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hove,
1996.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika, Yogyakarta: Pesantren Nawesea
Press,
2006.
Sudarsono, Heri, Bank dan
Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Ekonesia, 2008.
Afandi, Yazid, Fiqh Muamalah
dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
Azizi, A. Qadri, Ghazali, Abd. Muqsith, dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung,
PT Sygma Examedia
Arkanleema,
tt.
Artikel tentang “Urgensi Maslahah dalam Ijtihad
Ekonomi Islam” oleh Agustianto di
http//:www.agustiantocenter.com,
posted on 16-04-2011.
Artikel tentang “Ushul Fiqh dan Ulama
Ekonomi Syari’ah” oleh Agustianto di
http//:www.agustiantocenter.com,
Posted on 06-04-2011.
[1]
Artikel ini disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendekatan Dalam
Studi Islam di PPs MSI-UII Yogyakarta tanggal 30 Juli 2011.
[2]
Artikel tentang “Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syari’ah” oleh Agustianto di http//:www.agustiantocenter.com,
Posted on 06-04-2011.
[3]
Artikel tentang “Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam” oleh Agustianto
di http//:www.agustiantocenter.com, posted on 16-04-2011.
[4]
Asafri
Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 61.
[5]
Ibid, hlm. 63-64.
[6]
Abdul Aziz Dahlan dan dkk,
“Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hove, 1996),
hlm. 1108.
[7]
Asafri
Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 65-66.
[8] Ahmad Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi
Hukum Islam”, hlm. 1143.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid, hlm. 1144.
[11]
Asafri
Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 69-70.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid, hlm. 71.
[15]
Ibid.
[16]
Ahmad Dahlan dan dkk, “Ensiklopedi Hukum
Islam”, hlm. 1144.
[17]
Asafri
Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 72.
[18]
Yudian Wahyudi, “Ushul Fiqh Versus Hermeneutika”, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2006), hlm. 45.
[19]
Ibid, hlm. 45-46.
[20]
Ibid, hlm. 47.
[21]
Asafri
Jaya Bakri, “Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”, hlm. 73.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid, hlm. 74.
[24]
Ibid, hlm. 7.
[25]
Ibid, hlm. 74-83.
[26]
Ibid, hlm. 84.
[27]
Ibid, hlm. 89.
[28]
Ibid, hlm. 89-91.
[29]
Ibid, hlm. 91.
[30]
Ibid, hlm. 92-93.
[31]
Ibid, hlm. 94-95.
[32]
Ibid, hlm. 99.
[33]
Ibid, hlm. 100.
[34]
Ibid, hlm. 101.
[35]
Ibid, hlm. 142.
[36]Manfaat
yang dikemukakan oleh Syari’ dalam menetapkan hukum untuk hambanya dalam usaha
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid......., hlm. 142)
[37]
Ibid, hlm. 144-146.
[38]
QS. Surat al-Baqarah, ayat 275 (Lihat: Departemen Agama RI, “al-Qur’an dan
Terjemahannya”, Bandung, PT Sygma Examedia Arkanleema, tt, hlm. 47).
[39]
QS. Surat al-Nisa’, ayat 161 (Lihat: Departemen Agama RI, “al-Qur’an dan
Terjemahannya”, Bandung, PT Sygma Examedia Arkanleema, tt, hlm. 103).
[40]
Fungsi dan peran bank syari’ah di antaranya: (a) Manajer investasi, bank
syari’ah dapat mengelola investasi dana nasabah. (b) Investor, bank syari’ah
dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang
dipercayakan kepadanya. (c) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran,
bank syari’ah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan
sebagamana lazimnya. (d) Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat
pada entitas keuangan syari’ah, bank islam juga memiliki kewajiban untuk
mengeluarkan dan mengelola zakat serta dana-dana sosial lainnya (Lihat: Heri
Sudarsono, “Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah”, Yogyakarta: Ekonesia,
2008, hlm. 43)
[41]
Salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pedagang yang mempunyai
keahlian untuk melakukan usaha bersama. Jika usaha tersebut mendapatkan
keuntungan, keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Namun, apabila
terjadi kerugian dalam usaha, kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal,
dan pengusaha tidak berhak atas upah dari usahanya (Lihat: Yazid Afandi, “Fiqh
Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah”, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009, hlm. 101)
[42]
A. Qadri Azizi, Abd. Muqsith Ghazali, dkk, “Pemikiran Islam Kontemporer di
Indonesia”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 141.
[43]
Artikel tentang “Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam” oleh Agustianto
di http//:www.agustiantocenter.com, posted on 16-04-2011.
mantap tesisnya bro
BalasHapus