HAK KHIYAR DALAM JUAL-BELI
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Hadits
Dosen pengampu : Dr. H. Hamim
Ilyas, MA.
Oleh:
Ahmad Darsuki
109 130 19
Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
HAK KHIYAR DALAM JUAL-BELI[1]
A.
PENDAHULUAN
Jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesama
manusia. Jadi, orang yang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai
orang yang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai orang
yang sedang membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan
barang yang dibutuhkan pembeli. Sedang bagi pembeli, ia sedang memenuhi
kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari oleh penjual. Atas asumsi ini
aktifitas jual beli merupakan aktifitas mulia, dan islam memperkenankannya. Akan
tetapi, agar dalam transaksi jual beli tersebut sejalan dengan aturan syara’
dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak atau lebih. Maka dalam jual beli ada
namanya hak khiyar (hak memilih).
Hak khiyar merupakan salah satu bagian terpenting dalam
jual beli untuk memberikan kebebasan, keadilan dan kemaslahatan bagi
masing-masing pihak yang sedang melakukan transaksi. Karena hadis merupakan
salah satu sumber ajaran Islam yang menduduki sangat signifikan, baik secara
struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah
al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan
(eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal
(global) atau mutlaq.[2] Oleh
karena itu, disini penulis akan membahas hak khiyar dalam jual beli dan hadis
yang terkait. Maka disini penulis mengambil sebuah pertanyaan bagaimana hadis tentang
hak khiyar dalam jual beli?, berangkat dari pertanyaan tersebut maka dalam
makalah ini penulis membahas hal yang berkaitan dengan hukum ekonomi dan bisnis Islam
dengan sub topik pembahasan hak khiyar dalam jual beli.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Secara lughawi Khiyar = pilihan,
sedangkan secara istilah pengertian khiyar adalah hak pilih bagi salah satu
atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual-beli untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal
tertentu yang membuat masing-masing atau salah satu pihak melakukan pilihan
tersebut. Pilihan ini dapat dilakukan dalam berbagai macam sebab dan keadaan
yang berbeda-beda.[3] Dalam ensiklopedi hukum islam[4] dijelaskan bahwa pembahasan khiyar menyangkut transaksi
bidang perdata, khususnya transaksi ekonomi. Menurut ulama fiqh, khiyar
disyari’atkan atau dibolehkan dalam islam didasarkan pada suatu kebutuhan yang
mendesak dengan mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang
melakukan transaksi. Dengan demikian, hak khiyar merupakan ruang yang
ditawarkan oleh fiqh muamalah untuk berfikir ulang, merenung dan saling
mengkoreksi antara pihak terkait dengan obyek dan transaksi yang telah mereka
lakukan. Dengan hak khiyar ini para pihak diharapkan terhindar dari munculnya
rasa penyesalan setelah transaksi selesai dilakukan.[5]
2. Dasar Hukum dan Penjelasannya
Adapun dasar hukum terkait dengan hak khiyar
dalam jual-beli tersebut adalah sebagai berikut:
* وعن ابن عمر عن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: إذا تبايع الرجلان، فكل واحد منهما بالخيار مالم يتفرقا آوكان
جميعا، أويخير أحدهما الآخر، فإن خير أحدهما الآ فتبا يعا على ذلك فقد وجب البيع،
وإن تفرقا بعد أن تبايعا ولم يترك واحد منها البيع فقد وجب البيع. متفق عليه،
واللفظ لمسلم.
Artinya: Dari Ibnu Umar Ra, dari Rasulullah Saw bersabda, “Apabila dua
orang melakukan jual beli, maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak
khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka
belum berpisah atau masih bersama; atau jika salah seorang di antara keduanya
menentukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar
pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar itu, maka jadilah jual beli
itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan masing-masing dari
keduanya tidak mengurungkan jual beli, maka jadilah jual beli itu.”
(Muttafaq Alaih, dan lafadz hadis ini
menurut riwayat Muslim).[6]
Penjelasan Kalimat
“Dari Ibnu Umar Ra, dari Rasulullah Saw
bersabda, “Apabila dua orang melakukan jual beli (yakni menetapkan adanya
jual beli di antara keduanya tidak saling menawar), maka masing-masing dari
keduanya mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan
jual beli) selama mereka belum berpisah (yakni berpisah secara fisik)
atau masih bersama; atau jika salah seorang di antara keduanya menentukan
khiyar kepada yang lainnya (yakni bila salah satu dari keduanya mensyaratkan
adanya khiyar dalam tempo tertentu untuk meneruskan jual beli sebelum berpisah.
Hal tersebut ditunjukkan dari sabda beliau): Jika salah seorang menentukan
khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar itu, maka jadilah
jual beli itu (yakni terlaksana dan sempurna). Jika mereka berpisah (yakni
dengan tubuh mereka) setelah melakukan jual beli (yakni mengadakan akad
jual beli) dan masing-masing dari keduanya tidak mengurungkan jual beli,
maka jadilah jual beli itu.”[7]
Tafsir Hadits
Dalam hadis di atas terdapat petunjuk adanya
khiyar majlis bagi kedua pihak pelaku jual beli sampai keduanya berpisah badan.
Ulama berbeda pendapat tentang keberadaannya menjadi dua pendapat, yaitu:[8]
Pertama, tetap hukumnya, inilah pendapat sekelompok sahabat di
antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan lainnya. Itu juga yang
dipegang oleh kebanyakan kalangan tabi’in dan Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan
Imam Yahya mereka mengatakan: perpisahan yang membatalkan khiyar yaitu sesuatu
yang dinamakan perpisahan secara adat kebiasaan. Seperti dalam rumah yang
sempit dengan cara salah seorang keluar darinya, dan dalam rumah yang besar
dengan cara berpindah dari tempatnya ke tempat yang lain dengan dua langkah
atau tiga langkah. Persiapan tersebut ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar
yang terkenal. Bila kedua pihak semuanya berdiri dan pergi bersama-sama maka
hak khiyar (pilih) tetap ada. Madzhab ini berargumentasi dengan hadis
yang Muttafaq Alaih ini.
Kedua, pendapat Al-Hadawiyah, Al-Hanafiyah, Malik dan
Al-Imamiyah yang mengatakan tidak ada khiyar majlis. Bahkan saat kedua pelaku
akad berpisah secara percakapan, maka tidak ada khiyar kecuali apa yang
disyaratkan. Berargumentasi dengan firman Allah:
تجرة عن تراض ....
Artinya:”Jual beli atas suka sama suka” (QS.
An-Nisa’:29) dan firman Allah:
وأشهدوا إذا تبايعتم
....
Artinya:”Dan persaksikanlah saat kalian berjual beli”
(QS. Al-Baqarah:282)
Mereka mengatakan: persaksian bila terjadi
setelah berpisah badan tidak sesuai dengan perintah Allah, dan bila terjadi
sebelumnnya maka tidak tepat pada tempatnya.
Sedangkan hadis:
إذا اختلف البيعان
فالقول قولالبائع.
Artinya:”Apabila berbeda pendapat kedua pelaku jual beli maka ucapan
yang diterima yaitu ucapan penjual”, belum diperinci.
Pendapat diatas dijawab sebagai berikut:
Ayat tersebut masih mutlak dikhususkan dengan
hadis seperti khiyar syarat. Begitu pula halnya hadis dan ayat persaksian
dimaksudkan saat akad jual beli. Hal tersebut tidak menafikan adanya khiyar
majelis seperti halnya tidak menafikan semua jenis khiyar. Mereka mengatakan:
hadis tersebut mansukh (terhapus) dengan hadis:
المسلمون على شروطهم
Artinya:”Kaum muslimin sesuai dengan syarat mereka”
Maka khiyar setelah terjadi jual beli akan
merusak syarat, tapi dapat dibantah bahwa pada asalnya tidak di-sakh
(dihapus) dan tidak ditetapkan dengan sekedar kemungkinan. Mereka mengatakan:
karena dari riwayat Malik dan tidak dapat diamalkan. Pendapat tersebut dijawab
bahwa perbedaan sikap perawi tidak mengharuskan meninggalkan riwayatnya. Karena
amal perbuatannya berdasarkan atas hasil ijtihadnya dan terkadang dia melihat
hal yang lebih kuat menurutnya dari hal yang dia riwayatkan walaupun tidak kuat
dalam hal yang sama.
Mereka mengatakan bahwa hadis ini
diperuntukkan bagi kedua pihak yang saling menawar sebagaimana banyak digunakan
bentuk penawaran penjual seperti itu. Hal tersebut bersifat mutlak dan majazi,
sedangkan pada asalnya merupakan kebenaran yang sebenarnya. Disanggah juga,
bahwa hal tersebut mengharuskan mengartikan secara majaz sesuai dengan pendapat pertama. Bila hal
tersebut dimaksudkan dengan berpisah badan setelah selesai ucapan akad telah
lewat sebagai bentuk majaz di waktu lampau. Sanggahan tersebut dijawab, bahwa
kami tidak menerima sebagai bentuk majaz waktu lampau, justru merupakan hakikat
seperti pendapat Jumhur ulama yang berbeda halnya dengan bentuk depan yang
merupakan bentuk majaz yang disepakati.
Mereka mengatakan, maksud berpisah dengan
perkataan dan maksud berpisah disini berupa perpisahan antara perkataan penjual
“aku jual dengan harga sekian” atau perkataan pembeli “aku beli”.
Mereka mengatakan, maka pembeli mempunyai hak khiyar pada perkatannya:”aku
beli” atau dia meninggalkannya. Dan penjual mempunyai hak khiyar sampai
pembeli mewajibkan jual beli. Tidak dipungkiri lagi kelemahan dan kebatilan
pendapat ini. Karena mengabaikan faedah hadis yang sudah diyakini setiap
penjual atau pembeli dalam gambaran khiyar ini bahwa tidak ada transaksi dari
keduanya. Sehingga khiyar tersebut menghilangkan faedah dan lafadz hadis
tertolak. Maka pendapat yang benar adalah pendapat pertama.
*
وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صعلم قال : البائع والمبتا ع بالخيار
مالم يفترقا، إلا أن تكون صفقة خيار، ولايحل له أن يفارقه خشية أن يستقيله. رواه
الخمسة – إلا ابن ماجه – والدارقطعي وابن خزيمة وابن الجارود. وفي رواية : حتى
يتفرقا من مكا نهما.
Artinya:”Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa
Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya
berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak
diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” (H.R Al-Khamsah
kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud.[9] Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya
meninggalkan tempat mereka.”)
Penjelasan Kalimat
“Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar
sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing
pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” Riwayat Al-Khamsah kecuali ibnu Majah,
Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud.[10] Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya
meninggalkan tempat mereka.” (Dan hadis Abu Dawud dari Ibnu Amr dengan
lafadz: “Kedua pelaku jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak khiyar
sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing
pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan,” Mereka
mengatakan: sabda beliau: “takut jual beli dibatalkan” menunjukkan sah
terjadinya jual beli.[11]
Sanggahan tersebut dijawab, bahwa hadis ini
menunjukkan adanya khiyar majlis. Juga karena sabdanya: “mempunyai hak
khiyar sebelum keduanya berpisah”. Adapun sabdanya, ‘An-Yastaqillahu’ (membatalkannya)
maksudnya membatalkan jual beli, karena kalau maksud sebenarnya adalah
membebaskan niscaya makna berpisah tidak mempunyai arti sehingga perlu
diartikan membatalkan. Itulah yang diartikan oleh At-Tirmidzi dan ulama lainnya
dengan mengatakan, tidak boleh meninggalkannya setelah jual beli khawatir
memilih untuk membatalkannya. Adapun maksud Istiqalah disini berupa
pembatalan jual beli orang yang menyesal. Dan mereka mengartikan makna tidak
halal dengan suatu kebencian, karena tidak sesuai dengan akhlak baik dan
perilaku seorang muslim dalam bersosialisasi bukan karena khawatir memilih yang
dibatalkan diharamkan. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Umar bila
berjual beli dengan seseorang dan ingin menyempurnakan jual beli, beliau
berjalan sebentar kemdian kembali lagi. Hal itu diartikan bahwa Ibnu Umar belum
menerima hadis larangan ini.[12]
Ibnu Hazm berkata, “Hadis Ibnu Amr diartikan
berpisah pembicaraan, sehingga faedah hadis tersebut hilang bersamanya karena
hal tersebut mengharuskan kehalalan memisahkan diri, baik dikhawatirkan
membatalkannya atau tidak. Karena Iqalah dibolehkan sebelum berpisah
atau tidak.” Ibnu Abdil Bar mengatakan bahwa kalangan Malikiyah dan Hanafiyah
banyak membicarakan dengan menolak hadis dengan panjang lebar. Bila kata ‘tempat
keduanya’ maka takwil tidak lagi mempunyai posisi dan menjadi batal secara
zhahir dan batin dengan mengartikan perpisahan secara pembicaraan.[13]
* وعن ابن عمر قال: ذكر رجل
للنبي صعلم أنه يخدع في البيوع فقال: إذا با يعت فقل: لا خلابة . متفق عليه.
Artinya:”Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang yang mengadu kepada
Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda, “Jika
engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan melakukan tipu daya”.” (Muttafaq
Alaih)
Penjelasan Kalimat
”Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang (bernama
Habban bin Munqidz) mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual
beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan
melakukan tipu daya” (yakni penipuan) Muttafaq Alaih. Ishaq menambahkan dalam
riwayat Yunus bin Bakir dan Abdil A’la lafazh,
ثم أنت بالخيار في كل
سلعة ابتعتها ثلاث ليال فإن رضيت فأمسك وإن سخطت فاردد.
Artinya:“Kemudian engkau mempunyai hak pilih setiap barang yang engkau
beli selama tiga malam, bila engkau rela maka peganglah (ambillah) dan bila
engkau benci maka kembalikanlah”.
Orang tersebut masih hidup hingga periode
Utsman saat itu berusia 130 tahun. Pada zaman Utsman banyak orang-orang bila
membeli sesuatu dikatakan padanya, engkau tertipu dengannya maka kembalilah dan
saksikanlah dengan seorang sahabat bahwa Nabi Saw memberikannya hak pilih
selama tiga hari sehingga dirham miliknya dikembalikan.
Tafsir Hadis
Hadis tersebut sebagai dalil adanya hak pilih
saat ditipu dalam jual beli. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat menjadi dua
pendapat, yaitu:[14]
Pertama, tetapnya khiyar saat ditipu. Itulah pendapat yang
dipegang oleh Ahmad dan Malik, tetapi hal tersebut terjadi bila penipuan
tersebut kelewatan pada orang yang tidak mengetahui harga barang. Dan kalangan
Malikiyah membatasi kadar penipuan dengan tiga kali harga. Semoga saja mereka
mengambil pembatasan pada hal yang menyerahkan kemutlakan jenis penipuan secara
umum. Karena penipuan kecil biasanya dapat ditoleransi. Dan siapa yang menerima
dengan terjadinya penipuan setelah mengetahuinya tidak disebut sebagai bentuk
penipuan. Hanya saja sebagai bentuk keteledoran dalam berjual beli yang
pelakunya dipuji oleh Rasulullah Saw dan dinyatakan bahwa Allah mencintai
seorang yang mudah menjual dan membeli.
Kedua, jumhur ulama berpendapat tidak ada khiyar dalam penipuan
berdasarkan keumuman hadis dan terjadi jual beli tanpa dibedakan antara tertipu
atau tidak. Mereka mengatakan: hadis dalam bab ini terjadi khiyar disebabkan
kelemahan akal tersebut. Hanya saja kelemahan tersebut tidak keluar dari
batasan tamyiz sehingga perilakunya sama seperti perilaku anak kecil dan
di izinkan memiliki khiyar karena tertipu. Di katakan bahwa kelamahan akalnya
ditunjukkan oleh hadis yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan dari hadis
Anas dengan lafazh:
إن رجلا كان يبا يع
وكان في عقله ضعف.
Artinya:”Sesungguhnya seorang berjual beli sedangkan akalnya lemah”
Dan berdasarkan penegasan sabda Nabi Saw:”tidak
ada penipuan” mensyaratkan tidak adanya penipuan sehingga jual belinya
disyaratkan selama tidak ada penipuan sehingga merupakan bentuk khiyar syarat.
Ibnu Arabi mengatakan:”Penipuan dalam kisah ini bisa dimungkinkan berupa
cacat atau kepimilikan atau harga atau bentuk maka tidak dapat dijadikan
pegangan dalam penipuan yang bersifat khusus. Kasus ini khusus yang tidak dapat
dijadikan keumuman masalah”.
Di katakan dalam riwayat Ibnu Ishaq bahwa
beliau mengadu kepada Nabi Saw atas penipuan yang diterimanya. Riwayat tersebut
membantah pendapat Ibnu Arabi. Sebagian yang lain mengatakan, bila seorang
penjual atau pembeli mengatakan tidak ada penipuan maka terjadilah khiyar
karena penipuan walaupun tidak terjadi padanya penipuan. Hal tersebut dibantah
bahwa hal tersebut dipersempit dengan yang tertuang dalam riwayat bahwa dia
tertipu.[15]
Kalangan Al-Hadawiyah menetapkan dua jenis
khiyar karena tertipu, yaitu:
Pertama, pada orang yang berperilaku kepada orang lain
Kedua, pada anak kecil yang sudah mumayiz dengan berargumentasi
dengan hadis ini. Hal tersebut sebagai dalil bentuk kedua bila benar terdapat
kelemahan pada akal orang tersebut bukan pendapat pertama.
3. Macam-Macam Khiyar
Dalam pembahasan tentang khiyar, dibedakan
antara khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti
khiyar syarat, khiyar ta’yin, dan khiyar yang bersumber dari syara’, seperti
khiyar al-‘aib, khiyar ru’yah, dan khiyar majlis. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut:
a. Khiyar Syarat; adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu
pihak yang berakad atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli,
selama tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan, “saya
beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan
atau membatalkan akad selama tiga hari”.[16] Khiyar syarat hanya berlaku bagi akad yang
mengikat kedua belah pihak dan muncul atas kesepatakan kedua belah pihak.
Sedangkan tenggang waktu khiyar syarat ada perbedaan pendapat, yaitu:
- Madzhab Hanafi dan Imam Syafi’i;
bahwa waktu khiyar syarat tidak lebih dari tiga hari.[17] Hal ini sejalan dengan hadis yang berbicara
tentang khiyar syarat, yaitu hadis tentang kasus Habbab bin Munqiz yang
melakukan penipuan dalam jual beli, sehingga para konsumen mengadu kepada
Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seseorang membeli
satu barang, maka katakanlah (pada pembeli): jangan ada tipuan dan saya
berhak memilih dalam waktu tiga hari”. (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Baihaki,
al-Nasa’i, al-Hakim, dan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar).[18]
- Imam Abi Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, madzhab Hanbali
berpendapat; bahwa tenggang waktu khiyar syarat diserahkan sepenuhnya kepada kedua
belah pihak yang melakukan transaksi jual beli, sebab khiyar disyari’atkan
untuk kelegahan hati kedua belah pihak dan bisa dimusyawarhkan antara keduanya.[19] Adapun hadis Habban tersebut di atas,
menurut mereka khusus untuk kasus Habban tersebut Rasulullah SAW
menganggap bahwa untuk Habban, tenggang waktu yang diberikan cukup tiga
hari; sedangkan untuk orang lain belum tentu cukup tiga hari.[20]
- Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang waktu itu ditentukan sesuai
dengan kebutuhan. Karenanya, bisa berbeda setiap obyek akad, misalnya untuk
buah-buahan, khiyar tidak boleh lebih dari satu hari; sementara untuk obyek
lainnya, seperti tanah dan rumah diperlukan waktu lebih lama. Dengan demikian,
tenggang waktu amat tergantung pada obyek yang diperjualbelikan.[21]
Terkait dengan khiyar syarat, disini Ulama
fiqh sepakat bahwa akad yang dilakukan yang disertai khiyar syarat bersifat
tidak mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan. Jika tenggang waktu habis,
secara otomatis akad tersebut mengikat meskipun tanpa ada pernyataan dari salah
satu pihak atau kedua belah pihak. Hal ini menegaskan bahwa pihak-pihak yang
berakad sudah terikat dengan akad yang disepakatinya.[22] Akan tetapi muncul ikhtilaf dikalangan Ulama
fiqh dengan implikasi khiyar terhadap tindakan hukum bagi para pihak;[23]
-
Ulama Hanafi dan Malik berpendapat; bahwa khiyar
menyebabkan terhalangnya akibat hukum yang lahir dari akad. Kedua belah pihak
belum bisa secara bebas melakukan tindakan hukum atas benda yang ditransaksikan
dengan disertai khiyar selama jangka waktu khiyar belum habis.
-
Syafi’i dan Hambali berpendapat; bahwa akibat hukum jual
beli tetap berlaku selama masa khiyar, sampai barang yang dijual diserahkan
kepada penjual. Penjual dapat melakukan tindakan hukum atas benda yang
ditransaksikan.
Perbedaan pendapat ini akan terlihat jelas
dalam masalah biaya objek jual beli yang muncul secara alami dari objek jual
beli. Apabila objek jual beli itu adalah hewan ternak (seperti kambing atau
sapi), maka biaya pemeliharaan hewan, menurut Hanafi dan Maliki menjadi
kewajiban penjual dan hasil hewan itu (seperti susunya) menjadi hak penjual.
Menurut Syafi’i dan Hambali bahwa biaya pemeliharaan dibebankan bagi pembeli
dan hasil (susu hewan itu) menjadi haknya.[24]
b. Khiyar Ta’yin; hak pilih bagi pembeli dalam menentukan
barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Terkadang obyek jual beli memilih
kualitas yang berbeda, sedangkan pembeli tidak mampu untuk mengidentifikasi
kualitas tersebut. Dalam kondisi seperti ini pembeli minta bantuan untuk
menganalisa kualitasnya.[25] Misalnya, dalam pembelian keramik ada
yang berkualitas super dan sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara
pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas sedang. Untuk
menentukan pilihan tersebut ia memerlukan bantuan ahli keramik atau arsitek. Khiyar
seperti ini menurut Madzhab Hanafi dibolehkan, karena produk sejenis yang
berbeda kualitas sangat banyak dan tidak diketahui secara pasti oleh pembeli,
sehingga ia memerlukan bantuan seorang ahli. Khiyar ini ditujukan agar pembeli
tidak tertipu dan sesuai dengan kebutuhannya.[26] Sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan,
sebab jual beli seperti di atas mengandung ketidak jelasan yang masuk dalam
jual beli al-ma’dum.[27] Contoh dalam kasus jual beli mobil. Seseorang ingin
membeli sebuah mobil bekas. Sementara ia tidak tahu kualitas mobil yang akan
dibelinya. Untuk memastikan kualitas mobil yang akan dibeli, ia meminta bantuan
orang lain untuk menganalisanya. Jadi dan tidaknya pembeli tersebut atas barang
yang akan ia beli, ia lakukan atas rekomendasi orang yang diminta bantuan
tersebut. Khiyar ini disebut sebagai khiyar ta’yin.[28]
c. Khiyar ‘Aib; adalah hak untuk membatalkan atau
melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat
suatu cacat pada obyek yang diperjual belikan, dan cacat tersebut tidak
diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.[29] Misalnya, seseorang membeli telur ayam
satu kilogram, namun ternyata satu butir di antaranya sudah busuk , tanpa
diketahui oleh penjual maupun pembeli sebelumnya. Dalam kasus seperti ini,
menurut para ahli fiqh ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Hal ini didasarkan
pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:”Sesama muslim itu bersaudara; tidak
halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada
barang itu terdapat ‘aib/cacat” (HR. Ibnu Majah dari Uqbah bin Amir).
Menurut kesepakatan ulama fiqh khiyar ‘aib ini berlaku sejak diketahuinya cacat
pada barang yang diperjualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik
hak khiyar.[30] Cacat yang menyebabkan adanya hak khiyar,
menurut ulama madzhab Hanafi dan Hambali adalah seluruh unsur yang merusak
obyek jual beli tersebut dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang.
Sedangkan cacat menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i adalah seluruh cacat
yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan
daripadanya.[31] Adapun khiyar ini memiliki syarat-syarat
tertentu agar dapat berlaku, yaitu:[32]
-
Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat
ketika berlangsung akad. Jika sejak awal pembeli sudah tahu cacat yang ada pada
barang yang akan dibeli, maka padanya tidak ada khiyar ‘’aib.
-
Ketika akad berlangsung, penjual tidak mensyaratkan bahwa
apabila ada cacat tidak bisa dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari
pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang akan dibeli. Jika penjual
membuat kesepakatan kepada pembeli, bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa
dikembalikan dalam kondisi apapun dan pembeli menyepakatinya, maka sudah tidak
ada lagi khiyar ‘aib.
-
Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
Cacat yang ada pada benda yang akan dibeli bukan akibat dari tindakan pembeli.
Demikian juga pembeli tidak boleh berusaha untuk merubah atau menghilangkan
cacat yang ada pada benda yang akan dibeli jika ditemukan cacat. Jika hal
tersebut dilakukan, khiyar ‘aib batal.
Sedangkan dalam khiyar ‘aib, pengembalian barang bisa terhalang apabila:[33]
-
Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang
tersebut. Jika sejak awal seorang pembeli mengetahui ada cacat, dan atas cacat
tersebut ia merelakannya, maka ia tidak bisa mengembalikannya, maka ia tidak
bisa mengembalikan barang yang sudah dibelinya.
-
Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya. Jika sejak awal
pemilik barang sudah memberitahukan kepada pembeli untuk tidak mau menerima
resiko cacat yang ada pada barang dan pembeli menyepakatinya, maka jika pembeli
kemudian menemukan cacat, barang tersebut tidak bisa dikembalikan.
-
Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru
akibat perbuatan pemilik hak khiyar. Benda obyek jual beli sudah tidak lagi
seperti semula. Termasuk dalam hal ini jika pada barang tersebut terdapat
penambahan materi barang dari pemilik hak khiyar.
d. Khiyar Ru’yah: Hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan
berlangsung atau batalnya jual beli yang dilakukannya terhadap suatu obyek yang
belum dilihatnya ketika akad berlangsung. Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari
ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan az-Zahiri menyatakan bahwa khiyar
ru’yah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah SAW:”siapa
yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu” (HR. Daruquthni dari Abu Hurairah). Menurut mereka akad
seperti ini bisa terjadi disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada
ditempat berlangsungnya akad atau karena sulit dilihat (seperti ikan kaleng).
Khiyar ru’yah ini menurut mereka mulai berlaku sejak pembeli melihat barang
yang akan ia beli. Akan tetapi, ulama Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa jual
beli barang yang ghaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu
akad maupun tidak. Oleh sebab itu menurut mereka khiyar ru’yah tidak berlaku,
karena akad itu mengandung unsur penipuan yang bisa membawa kepada
perselisihan; dan rasulullah melarang jual beli yang menngandung penipuan (HR.
Jama’ah [mayoritas ahli hadis], kecuali al-Bukhari). Hadis yang dikemukakan
jumhur diatas tentang syari’at khiyar ru’ayh menurut mereka adalah da’if
(lemah), tidak bisa dijadikan dasar hukum.[34] Misalanya, ketika Suatu saat, seorang pembeli
ingin membeli barang, sementara ia belum bisa melihat barang tersebut. Kemudian
ia menyifatinya terhadap barang yang diinginkan dan penjual siap menghadirkan
barang tersebut di lain waktu. Saat barang tersebut dihadirkan pembeli memiliki
kesempatan untuk melakukan pilihan antara melangsungkan atau membatalkan jual
beli tersebut. Inilah yang disebut khiyar ru’yah.[35] Sedangkan jumhur ulama mengemukakan beberapa
syarat berlakunya khiyar ru’yah, yaitu:[36]
-
Obyek jual beli pembeli tidak dilihat pembeli ketika akad
berlangsung. Barang tersebut masih menjadi tanggungan penjual saat pembeli
menyatakan kehendaknya.
-
Obyek akad berupa materi. Ia adalah benda yang dapat
dilihat dan disifati.
-
Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan.
Tidak ada persyaratan yang ditetapkan oleh penjual dan kemudian disepakati oleh
pembeli bahwa obyek jual beli tidak bisa dibatalkan.
Khiyar Ru’yah dapat berakhir apabila:
-
Pembeli menunjukkan kerelaanya. Saat obyek jual beli
tersebut dihadirkan oleh penjual, pembeli menyatakan setuju dengan barang
tersebut.
-
Obyek yang diperjual belikan hilang atau terjadi
penambahan cacat baik oleh pembeli atau kedua belah pihak.
e. Khiyar Majlis: Hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad
untuk membatalkan atau melangsungkan akad, selama keduanya masih berada dalam
satu majlis dan belum pisah badan/tempat.[37] Artinya, suatu transaksi baru di anggap sah
apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan/tempat
atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual
dan/atau membeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual
beli dan sewa-menyewa.[38] Dasar hukum khiyar ini adalah sabda
Rasulullah SAW yang artinya: “Apabila dua orang melakukan akad jual beli,
maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah
badan/tempat...” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar). Para
ahli hadis menyatakan bahwa yang dimaksudkan Rasulullah SAW dengan kalimat “berpisah
badan/tempat” adalah setelah melakukan akad jual beli, barang diserahkan
kepada pembeli dan harga barang diserahkan kepada penjual. Imam an_Nawawi
mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli telah berpisah tempat,
seluruhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat setempat dimana jual beli itu
berlangsung.[39] Terkait dengan khiyar majlis ini, ulama
berbeda pendapat tentang keabsahannya, yaitu:
-
Madzhab Syafi’i dan Hambali: Bahwa masing-masing
pihak yang melakukan akad berhak mempunyai khiyar majlis, selama mereka masih
berada dalam majlis akad, sekalipun akad telah syah dengan adanya ijab dan
kabul. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih memiliki hak pilih untuk
melangsungkan jual belinya atau membatalkannya, selama mereka masih belum
berpisah dalam tempat jual beli.[40] Alasannya berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar yang sebelumnay sudah
disebutkan di atas. Serta hadis dari Amr bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Daruquthni, dan Ibnu
Khuzaimah.[41]
-
Hanafi dan Maliki: suatu akad sudah sempurna dengan
adanya ijab dan kabul. Setelah ijab kabul terjadi, tidak ada lagi peluang untuk
membatalkan meskipun mesih berada dalam satu majlis.[42] Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam
surah an-Nisa’ (4) ayat 29 yang artinya: “...kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu....” Menurut mereka,
hadis tentang khiyar majlis tidak bisa diterima, karena bertentangan dengan
firman Allah dalam surat al-Ma’idah (5) ayat 1 yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu....” maksudnya, apabila
suatu akad telah dipenuhi, kedua belah pihak sudah saling rela, maka akad telah
sah dan tidak ada lagi peluang ditempat tersebut untuk membatalkan akad.
Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, hadis ini bertujuan untuk menunjukkan
selesai akad jual beli, bukan berpisahnya badan/tempat masing-masing dari
majlis akad. Oleh karena itu, sebelum selesainya akad, masing-masing pihak
memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli.[43]
C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa baik hadis pertama dan ketiga kalau dilihat dari otentisitas
hadis tersebut tidak diragukan lagi tentang keasliannya karena hadis tersebut
termasuk hadis shahih, artinya bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith
sampai ke ujung mata rantai sanad tanpa adanya syadz dan ‘illat yang bisa menyebabkan hadis tersebut dla’if.
Sedangkan hadis kedua termasuk hadis hasan yaitu hadis yang bersambung sanadnya yang
dibawakan oleh perawi yang adil namun ringan dhabithnya dengan tanpa syad dan
‘illat. Jadi, perbedaan antara hadist hasan dan hadist shohih di atas hanya
terletak pada satu sisi, yaitu rijal (perowi) hadist hasan tidaklah sama dengan
rijal hadis shahih dalam masalah dhabith nya, perawinya tidak semasyhur
hadits shahih.
Daftar Pustaka
Said Aqil Husin Munawar dan Abdul Mustaqim, “Studi
Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual ASBABUL WURUD”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Muhammad bin Islmail Al-Amir Ash-Shan’ani, “Subul
As-Salam Syarah Bulughul Maram” Alih Bahasa oleh Muhammad Isnan, dkk,
Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009, jilid
2.
[1] Makalah dipresentasikan
pada diskusi kelas mata kuliah studi hadis di PPs MSI-UII Yogyakarta
pada tanggal 17 September 2011.
[2] Said Aqil Husin Munawar
dan Abdul Mustaqim, “Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual ASBABUL WURUD”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 3
[3] Yazid Afandi, Fiqh
Mualamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah,
(Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 75.
[4]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 914.
[7] Muhammad bin Islmail
Al-Amir Ash-Shan’ani, “Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram” Alih Bahasa
oleh Muhammad Isnan, dkk (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009), jilid 2, hlm.
388.
[27]Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 79.
[35]Yazid Afandi, Fiqh Mualamalah dan
Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar