OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN
WAKAF SECARA PRODUKTIF
Guna Memenuhi Tugas
Akhir Mata Kuliah Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah
Dosen
Pengampu: Dr. Drs. H. Dadan Muttaqin, S.H., M.Hum.
Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)
Konsentrasi
Hukum Bisnis Syari’ah
Program
Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas
Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN WAKAF SECARA PRODUKTIF[1]
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Wakaf telah di Syari’atkan dan telah dipraktikan oleh umat Islam seluruh
dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat
Islam di Negara Indonesia. Karenanya perwakafan merupakan salah satu masalah
yang penting dalam rangka hubungan antara hukum Islam dengan hukum Nasional.
Dikatakan penting karena wakaf adalah suatu amalan-amalan kegiatan keagamaan
baik dibidang keagrariaan maupun bidang sarana fisik yang dapat digunakan
sebagai pengembangan kehidupan keagamaan khususnya umat islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat baik spiritual maupun materiil menuju masyarakat yang
adil dan makmur.
Wakaf memainkan peran ekonomi dan sosial yang sangat penting dalam sejarah
Islam, wakaf berfungsi sebagai sumber pembiayaan bagi masjid-masjid, sekolah-sekolah,
pengkajian dan penelitian, rumah-rumah sakit, pelayanan sosial dan pertahanan.[2]
Sedangkan di Indonesia perwakafan sudah ada sejak lama, yaitu sebelum Indonesia
merdeka, karena di Indonesia dulu pernah berdiri kerajaan- kerajaan islam. Wakaf
dalam kaitannya dengan masalah sosial ekonomi, wakaf harus dikelola secara
produktif sehingga dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup masyarakat.
Dengan demikian, perlu kiranya kita mengkaji, menganalisis dan menerapkan
strategi pengelolaan dalam rangka pengembangan wakaf secara berkesinambungan
agar harta wakaf berguna dalam pemberdayakan ekonomi umat. Namun untuk
melakukan optimalisasi fungsi wakaf dan pengembangannya disini perlu berpedoman
pada aspek-aspek hukum mengenai wakaf sebagaimana dipraktikkan dalam sejarah
Islam.[3] Oleh
karana itu, kita perlu lebih memikirkan dan mengoptimalkan cara mengelola wakaf
yang ada supaya dapat mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi
wakif maupun mauquf ‘alaih (masyarakat). Dengan demikian, maka dalam konteks
ini pengelolaan wakaf harus menggunakan pendekatan bisnis dan manajemen.
Terkait dengan persoalan wakaf, disini pemerintah memberikan perhatian yang
sangat serius dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf karena selama
ini tradisi masyarakat Indonesia khususnya dipedalaman dalam pengelolaan wakaf masih
cenderung bersifat konsumtif dan pengelolaan secara produktif yang diharapkan
oleh pemerintah belum maksimal. Selain itu juga persepsi masyarakat dalam
memahami wakaf masih terikat dan tersekat dengan pemahaman lama yang hampir
mendominasi pemikiran masyarakat Muslim Indonesia.
Dengan demikian, lahirnya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang telah
disebutkan di atas adalah bagian dari semangat memperbaharui dan memperluas
cakupan objek wakaf dan pengelolaannya agar mendatangkan manfaat yang maksimal
untuk kesejahteraan umum dengan harapan bisa membantu mengurangi pengangguran
dan kemiskinan yang ada di masyaraka. Akan tetapi, kalau kita melihat kenyataan
di masyarakat apa yang diharapkan oleh pemerintah tersebut sampai saat ini masih
jauh dari kenyataan yang ada di masyarakat. Selama ini tanah wakaf yang
diberdayakan secara produktif hanya berpusat di perkotaan, sedangkan tanah
wakaf yang ada di daerah masih kurang diberdayakan secara produktif. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan dan pengeloaan wakaf secara produktif
masih kurang maksimal. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka
sebenarnya apa yang menjadi faktor penghambat pemberdayaan dan pengelolaan wakaf
secara produktif dan bagaimana pengembagan benda wakaf secara produktif masih
perlu dikaji. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis merasa
tertarik untuk mengkaji mengenai Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan
analisis kualitatif.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, melihat luasnya pembahasan mengenai Wakaf Produktif, maka
penulis akan menfokuskan kajian hanya pada Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf
Secara Produktif. Oleh karena itu, penulis dapat merumuskan dua pokok masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor penghambat pemberdayaan dan
pengelolaan wakaf secara produktif.
2.
Bagaimana pengembagan benda wakaf secara produktif?
B. PEMBAHASAN
Untuk menjawab masalah yang
ada pada rumusan masalah di atas, maka penulis dalam pembahasan ini menyajikan
beberapa poin penting terkait hal tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.
Pengertian
Wakaf Produktif
Kata “wakaf” dalam
bahasa Indonesia berasal dari kata Arab al-waqf, yang berarti menahan
atau menghentikan. Kata lain yang sering digunakan sinonim dengan wakaf adalah al-hubus
(jamaknya al-ahbas), yang berarti sesuatu yang ditahan atau
dihentikan, maksudnya ditahan pokoknya dan dimanfaatkan hasilnya di jalan
Allah. Kata “wakaf” dalam hukum Islam mempunyai dua arti: Arti kata kerja,
ialah tindakan mewakafkan, dan arti kata benda, yaitu obyek tindakan
mewakafkan.[4]
Bila wakaf bermakna objek atau benda yang diwakafkan (al-mauquf bih)
atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang dipakai
dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, istilah wakaf dapat bermakna
objek yang diwakafkan atau institusi.[5]
Dengan kata lain dalam arti kata benda wakaf artinya adalah benda wakaf. Bila
dikatakan wakaf tidak boleh dijual artinya benda wakaf tidak
boleh dijual.[6]
Secara terminologis
dalam hukum Islam, menurut definisi yang paling banyak diikuti, wakaf
didefinisikan sebagai “melembagakan suatu benda yang dapat diambil manfaatnya
dengan menghentikan hak bertindak hukum pelaku wakaf atau lainnya terhadap
benda tersebut dan menyalurkan hasilnya kepada saluran yang mubah yang ada atau
untuk kepentingan sosial dan kebaikan”. Ada pula yang mendefinisikan wakaf
sebagai “menahan suatu benda untuk tidak pindahmilikkan buat selama-lamanya dan
mendonasikan manfaat (hasil)-nya kepada orang-orang miskin atau untuk
tujuan-tujuan kebaikan.”[7] Kaitannya
dengan kata “produktif” bahwa dalam ilmu manajemen terdapat satu mata
kuliah yang disebut dengan manajemen produksi/operasi. Operasi atau produksi
berarti proses pengubahan/transformasi input menjadi output untuk
menambah nilai atau manfaat lebih. Proses produksi berarti proses kegiatan yang
berupa; pengubahan fisik, memindahkan, meminjamkan, dan menyimpan.[8]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wakaf produktif secara terminologi adalah
transformasi dari pengelolaan wakaf yang profesional untuk meningkatkan atau
menambah manfaat wakaf. Sedangkan Muhammad Syafi’i Antonio mengatakan
bahwa wakaf produktif adalah pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan ciri
utama, yaitu: pola manajemen wakaf harus terintegrasi, asas kesejahteraan nazir,
dan asas transformasi dan tanggungjawab.[9]
Adapun definisi wakaf
dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik bahwa wakaf “perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya
yang berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sederhana tetapi cukup jelas tentang yaitu
“wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, sekelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
ajaran Islam.”[10]
Sedangkan dalam UU No.41 Tahun 2004 tentang Perwakafan (Pasal 1 angka 1), wakaf
didefinisikan sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan
sebagian harta miliknya untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan
umum menurut syariah.” Dalam Undang-Undang tersebut tidak ada kata-kata “untuk
selama-lamanya” seperti dalam definisi KHI, karena Undang-Undang ini, wakaf
tidak selalu abadi, tetapi juga ada kemungkinan untuk selama waktu tertentu.
Dari beberapa perbedaan
definisi di atas, walaupun dalam peratuan perundang-undangan tidak ada
penyebutan kata produktif, tapi dapat dipahami bahwa makna wakaf dan wakaf
produktif itu sendiri adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya
atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya.[11] Namun,
dalam pengembangan benda wakaf secara produktif tentu juga harus memperhatiakan
kaidah/prinsip produksi yang Islami. Adapun kata “menyejahterakan” dalam UU
No.41 Tahun 2004 di atas dapat diartikan sebagai upaya para pihak (terutama
pengelola wakaf) untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam melalui
pendayagunaan obyek wakaf.[12] Oleh
karena itu, pendekatan yang digunakan dalam pemberdayaan obyek wakaf tidak
semata-mata pendekatan ekonomi, tetapi pendekatan bisnis. Bisnis dapat
ditegakkan secara kokoh bila didukung oleh sumber daya manusia yang tangguh dan
manajemen yang baik.
b.
Dasar
Hukum Wakaf
Para ahli hukum Islam
menyebutkan beberapa dasar hukum wakaf dalam hukum Islam yang meliputi ayat
al-Qur’an, hadis, ijma’, dan ijtihad para ahli hukum Islam serta hukum Indonesia
yang mengatur tentang wakaf, yaitu sebagai berikut:
1.
Firman Allah,
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS.
Ali Imran [3]: 92).[13]
Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian
dari hasil usahamu yang baik, dan dari apa yang kamu keluarkan untuk dari alam
bumi. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk daripadanya untuk kemudian
kamu infakkan padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan
memicingkan mata (enggan). Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(QS. Al-Baqarah [2]: 267).[14]
Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk melakukan
infak secara umum terhadap sebagian dari apa yang dimiliki seseorang, dan
termasuk ke dalam pengertian umum infak menurut jumhur ulama adalah melalui
sarana wakaf.[15]
2.
Hadis Nabi Saw,
Dari Ibnu
Umur r.a. (dilaporkan) bahwa ‘Umar Ibn al-Khattab memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, lalu beliau datang kepada Nabi Saw untuk minta instruksi beliau
tentang tanah tersebut. Katanya: Wahai Rasulullah, saya memperoleh sebidang
tanah di Khaibar yang selama ini belum pernah saya peroleh harta yang lebih
berharga dari saya dari padanya. Apa instruksimu mengenai harta itu? Rasulullah
bersabda: Jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya (melembagakan
bendanya) dan menyedekahkan manfaatnya. [Ibnu Umar lebih lanjut] melaporkan:
Maka Umar menyedekahkan tanah itu dengan ketentuan tidak boleh dijual,
dihibahkan atau diwariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkankannya kepada
orang fakir, kaum kerabat, bidak belian, sabilillah, ibn sabil dan tamu. Dan
tidak dilarang bagi orang yang menguasai tanah wakaf itu (mengurus) untuk makan
dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud
menumpuk harta. [HR Bukhari].[16]
Dari Abu Hurairah r.a. (dilaporkan bahwa Rasulullah
saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali
tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang di manfaatkan atau anak salih yang
mendo’akannya. [HR. Muslim].[17]
Sedekah jariah yang disebutkan dalam hadis Abu
Hurairah tidak lain yang dimaksud adalah wakaf, dimana pokok bendanya tetap
sedang manfaat benda yang diwakafkan itu mengalir terus (jariah=mengalir)
sehingga wakif (pelaku wakaf) tetap mendapat pahala atas amalnya meskipun ia
telah meninggal dunia.[18]
3.
Ijma’,
Selain dasar dari al-Qur’an dan hadis di atas, para
ulama sepakat (Ijma’) menerima wakaf sebagai suatu amal jariyah yang
disyari’atkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak
amalan wakaf dalam Islam karena telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan
dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimin sejak masa awal Islam
hingga sekarang.[19]
4.
Ijtihad,
Ketentuan-ketentuan detail mengenai
perwakafan didasarkan kepada ijtihad para ahli hukum islam.
5.
Dalam hukum
Indonesia sumber-sumber pengaturan wakaf antara lain meliputi PP No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Permendagri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata
Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik, Permenag No. 1 Tahun 1978
tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, dan berbagai surat keputusan Menag dan Dirjen Binbaga Islam Departemen
Agama, serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Yang lebih penting di
atas semua itu adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan.
Dalam pasal 70 ditegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang
ini.
c.
Rukun
Wakaf
Dalam hukum Islam untuk
terwujudnya wakaf harus dipenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu: (1) wakif, (2) benda yang diwakafkan, (3) mauquf
‘alaih (penerima wakaf/Nazir), (4) ikrar (pernyataan) wakaf. Dalam UU No.
41/2004 tentang Perwakafan (pasal 6), selain empat unsur di atas dimasukkan
juga sebagai rukun wakaf: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Untuk
orang yang berwakaf disyaratkan: (a) orang merdeka, (b) harta itu milik
sempurna dari orang yang berwakaf, (c) baligh dan berakal, (d) cerdas.[20] Wakif
ialah orang, atau badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Adapun organisasi
dan badan hukum diwakili oleh pengurusnya yang sah menurut hukum dan memenuhi
ketentuan organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda miliknya
sesuai dengan ketentuan anggaran dasarnya.[21]
Benda wakaf adalah
segala benda baik yang bergerak atau tidak bergerak. Benda ini disyaratkan
memiliki daya tahan dan tidak habis hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam.[22]
Selain itu benda milik pelaku wakaf, bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan, dan sengketa.[23]
Dalam madzhab Hanafi benda wakaf juga dapat berupa uang, yaitu dinar dan
dirham. Disini jelas bahwa uang dapat ditahan pokoknya dan diambil hasilnya,
seperti uang yang ditempatkan dalam deposito mudharabah, misalnya; menghasilkan
keuntungan yang dapat di manfaatkan tanpa menghabiskan pokoknya, sesuai dengan
konsep wakaf berupa menahan pokok dan mengambil manfaat.[24]
Ikrar (pernyataan)
wakaf adalah pernyataan kehendak untuk melakukan wakaf, dan harus dilakukan
secara lisan dan/atau tulisan oleh wakif secara jelas dan tegas kepada nazir
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan 2 orang
saksi. PPAIW kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf. Selanjutnya
adalah nazir, hal ini dapat terdiri dari perorangan, organisasi atau badan
hukum. Apabila perorangan, nazir harus memenuhi syarat-syarat, berupa dewasa,
sehat akal dan cakap bertindak hukum.[25]
Selain itu, dalam UU No. 41/2004 pasal 10 disyaratkan juga warga negara
Indonesia, amanah, beragama Islam. Untuk nazir berupa organisasi disyaratkan
bahwa pengurusnya memenuhi syarat nazir perorangan dan organisasi itu bergerak
di bidang sosial. Nazir badan hukum selain memenuhi dua syarat organisasi di
atas, juga harus memenuhi syarat bahwa badan hukum itu merupakan badan hukum
Indonesia dan dibentuk berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia. Adapun
tugas nazir dalam UU No. 41/2004 pasal 11 dinyatakan bahwa nazir berkewajiban
untuk melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkannya sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan
melindunginya, serta melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf
Indonesia.
d.
Tujuan
Wakaf
Wakaf dilakukan untuk
suatu tujuan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam ikrar wakaf. Dalam
menentukan tujuan wakaf berlaku asas kebebasan kehendak dalam batas-batas tidak
bertentangan dengan hukum syariah, ketertiban umum dan kesusilaan. Sebelumnya
di atas sudah disinggung bahwa dalam hadis Nabi saw wakaf dilarang dijual,
dihibahkan atau diwariskan. Secara umum pada asasnya tidak dibenarkan melakukan
perubahan wakaf dari apa yang ditentukan dalam ikrar wakaf. Perubahan itu hanya
dimungkinkan karena ada alasan yang lebih kuat berdasarkan prinsip istihsan.[26]
Dalam Kompilasi Hukum
Islam ditegaskan bahwa pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak
dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam
ikrar wakaf, dan dalam UU No. 41/2004 pasal 23 ditentukan bahwa peruntukan
wakaf itu dilakukan oleh wakif pada waktu membuat pernyataan ikrar wakaf. Harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan tidak boleh dijadikan jaminan, disita,
dijual, dihibahkan, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan
hak lainnya. Namun dikecualikan penggunaan untuk kepentingan umum sesuai dengan
rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan syariah, dan hal ini hanya
dapat dilakukan setelah mendapat izin Menteri Agama atas persetujuan Badan
Wakaf Indonesia.
e.
Faktor
Penghambat Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif
Adapun yang terkait dengan faktor penghambat pemberdayaan wakaf secara
produktif, menurut Uswatun[27] disini terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat,
yaitu sebagai berikut:
1.
Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.
Selama ini, umat Islam di Indonesia khususnya masyarakat dipedalaman masih
banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan
ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan
pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti
itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang
keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu,
layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.
Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa
diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal
wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana
tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 Tahun 2004, dan juga sejalan dengan
fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.[28]
2.
Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Sampai saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih kurang
maksimal. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam
pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya
adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah,
dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya
kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan
wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat
di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi
masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan,
nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi
jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan
wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan
melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf
Indonesia.
Terkait dengan pengelolaan wakaf secara produktif,
disini ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan, ketiga aspek tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
Aspek Kelembagaan Wakaf
Kelahiran Badan Wakaf
Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang
Nomer 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dalam Pasal 47
adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Disini BWI
merupakan lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang
dalam melaksankan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan mana-pun,
serta bertanggung jawab kepada masyarakat.[29]
BWI berkedudukan di ibu kota dan dapat membentuk perwakilan di provensi atau
kabupaten sesuai dengan kebutuhan, lembaga ini selain memiliki tugas-tugas
konstitusi BWI harus menggarap wilayah tugas sebagai berikut:[30]
a.
Merumuskan
kembali fikih wakaf baru di Indonesia, agar wakaf dapat dikelola lebih praktis,
fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai lembaga Islam yang
kekal.
b.
Membuat
kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya
wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
c.
Menyusun dan
mengusulkan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah.
Ketiga tugas di atas tentu merupakan tugas
yang berat bagi BWI, oleh karena itu orang-orang yang duduk dalam lembaga
tersebut harus benar-benar orang yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam
mengelola wakaf dan hal-hal yang terkait dengan wakaf.
Kedua, Aspek Akuntansi
Dalam pengertian yang
paling sederhana, akuntansi dapat dipahami sebagai kegiatan pencatatan kegiatan
usaha bisnis, baik komersial ataupun bukan, untuk tujuan tertentu.[31]
Berdasarkan tujuan dasar dan pola operasi sebuah entitas, akuntansi dapat
dipilah menjadi dua, yaitu;[32] Pertama,
akuntansi untuk organisasi yang bermotifkan mencari laba (profit oriented
organization), ini biasanya diwakili oleh perusahaan-perusahaan komersial,
baik yang bersifat menjual jasa, perdagangan, dan perusahaan manufaktur. Kedua,
akuntansi untuk organisasi nirbala (non-profit oriented organizaation),
ini diwakili oleh organisasi pemerintahan di segala tingkatan (pusat, propinsi,
kabupaten, dan seterusnya), lembaga pendidikan, organisasi massa dan sosial
kemasyarakatan, termasuk organisasi dan badan hukum yang banyak mengelola
kekayaan wakaf. Oleh karena itu, aspek akuntansi ini sangat dibutuhkan dalam
pengelolaan wakaf secara produktif sehingga apa yang menjadi tujuan dari
pemberdayaan benda wakaf tersebut tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Disamping itu, harus memperhatikan apa yang menjadi tuntutan akuntansi yang
dipandang lebih mendekati dengan prinsip syariah baik dari aspek tujuan dan
aspek metode tekniknya.
Ketiga,
Aspek Auditing
Auditing dalam bahasa
Indonesia biasanya diartikan sebagai pemeriksaan dan secara harfiah yaitu bahwa
pihak tertentu melaporkan secara terbuka tugas atau amanah yang diberikan
kepadanya, dan pihak yang memberi amanah mendengarkan. Jadi, ini merupakan
manifestasi pertanggung jawaban pihak tertentu yang diberi tanggung jawab
kepada pihak yang memberi amanah.[33]Dalam
kontek lembaga wakaf secara umum dibentuk dan didirikan adalah mengelola sebuah
atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk
kesejahteraan umat umumnya, dan menolong mereka yang kurang mampu.[34]
Dalam proses auditing harus tidak melanggar asas-asas syariah, walau sementara
ini tujuan dan prosudur auditing secara konvensional dapat dipakai. Namun,
disini diperlukan segera upaya untuk melakukan penyempurnaan agar bagian-bagian
yang tidak islami dapat dikurangi.
3. Benda yang
Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup
untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang
ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di
Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak
bergerak), padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam
termasuk surat berharga dan uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang
amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung
pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan
berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang
profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada
beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak
dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi
kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus
tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu,
dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti
melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan
kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan wakaf
tersebut berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon
wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan
masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya.[35]
f.
Pengembangan
Benda Wakaf Secara Produktif
Kesadaran masyarakat
untuk mengamalkan tingkat religiusitasnya dengan cara wakaf memang cukup
tinggi. Namun sayangnya, banyak aset wakaf yang tingkat pendayagunaannya
stagnan, dan tidak sedikit yang tidak berkembang sama sekali. Penyebabnya
adalah umat Islam pada umumnya mewakafkan tanah, namun kurang memikirkan biaya
operasional sekolah, sehingga yang harus dilakukan adalah pengembangan wakaf
produktif untuk mengatasi hal tersebut.
Pilihan menganut
manajemen modern menjadi niscaya dan harus dilakukan serta kelaziman bahwa
harta benda wakaf adalah hanya harta benda tak bergerak harus segera diubah
bahwa harta benda wakaf bergerak juga bisa diwakafkan dan potensial untuk
dikembangkan. Keterikatan dengan pemahaman yang diyakini dan kualitas nadzir
yang tidak futuristik dalam mengelola aset wakaf menyebabkan potensi harta
wakaf tidak berkembang semestinya.[36]
Terkait dengan itu, hal yang harus dilakukan pertama adalah manajemen
kenadziran dan profesionalitas nadzir, baik mengenai (a) kredibilitas terkait
dengan kejujuran, (b) profesionalitas terkait dengan kapabilitas, maupun (c)
kompensasi terkait dengan upah pendayagunan sebagai implikasi
profesionalitasnya, yang kedua adalah peruntukan aset wakaf. Kemungkinan
alih fungsi (rubah peruntukan) dan relokasi menjadi kemestian yang harus
dilakukan untuk pengembangan aset wakaf yang boleh jadi juga terpengaruh oleh
mekanisme pasar yang mempengaruhi kebutuhan peruntukan aset wakaf agar lebih
produktif.
Pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Kategori produktif[37]
yang dapat dilakukan antara lain: cara pengumpulan, investasi, penanaman modal,
produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian,
pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan,
usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dalam hal pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf diperlukan penjamin, maka diperlukan lembaga
penjamin syariah.[38]
Lembaga tersebut adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjamin
atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim
asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan dan pengelolaan fungsi aset wakaf
secara produktif merupakan upaya menghidupkan kembali harta wakaf yang statis
atau cenderung mati.
Dalam rangka untuk
mengembangkan benda wakaf secara produktif, disini ada 2 (dua) model pembiayaan
proyek wakaf produktif, yaitu secara tradisonal dan institusional. Adapun
penjelasan keduanya adalah sebagai berikut:
1.
Secara
Tradisional
Dalam model pembiayaan
harta wakaf tradisional, buku fikih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan
rekonstruksi harta wakaf, yaitu:[39]
(a) pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf
yang lama, jenis pembiayaan dengan menambah harta wakaf baru pada harta wakaf
yang lama ini sudah lama ada dalam sejarah Islam, seperti pada masjid, sekolah,
rumah sakit, panti asuhan, universitas, dan kuburan dan lain-lain. (b) pinjaman
untuk pembiayaan kebutuhan operasional harta wakaf dan pemeliharaan untuk
mengembalikan fungsi wakaf sebagaimana mestinya. (c) penukaran pengganti (substitusi)
harta wakaf, dalam hal ini paling tidak memberikan pelayanan atau pendapatan
yang sama tanpa perubahan peruntukan yang ditetapkan wakif. (d) pembiayaan Hukr
(sewa berjangka panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar, ini
untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf. Dari pada menjual harta wakaf,
Nazir dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan suatu nilai nominal
secara periodik. (e) pembiayaan Ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran).
Disini ada dua bagian, yaitu: pertama, berupa uang muka lump sum yang
besar untuk merekonstruksikan harta wakaf yang bersangkutan, dan kedua,
berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa.
2.
Secara
Institusional
Dalam rangka
mengembangkan wakaf secara produktif, disini ada empat model pembiayaan yang
membolehkan pengelola wakaf produktif memegang hak eksklusif terhadap
pengelolaan, yaitui:[40]
Murabahah, Istisna’, Ijarah, dan Mudharabah serta berbagi kepemilikan atau
Syari’atul al-Milk, dimana ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen, atau
menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia pembiayaan, disebut bagi hasil
dan sewa berjangka panjang.
C. ANALISIS
Dalam pengelolaan dan
pengembagan benda wakaf secara produktif, seorang Nazhir memiliki peran dan
fungsi yang sangat fundamental. Oleh karena itu, seorang Nazhir harus memiliki
integritas dan profesional dalam mengelola dan mengembangkan benda wakaf.
Dengan demikian, seorang Nazhir dituntut untuk
memiliki keahlian dalam berbagai bidang keilmuan, diantanya seorang
Nazhir memiliki ahli dalam bidang hukum positif dan hukum Islam tentang perwakafan,
ahli dalam bidang bisnis dan ekonomi syariah, serta memiliki kemampuan manajemen
yang baik selain harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang. Kalau penulis perhatikan para Nazhir yang ada di daerah atau
pedalaman masih banyak yang belum memiliki kemampuan seperti di atas, oleh
karena itu para Nazhir yang ada di daerah atau pedalaman masih memerlukan
bimbingan dan pelatihan secara berkelanjutan mengenai bidang-bidang yang
terkait dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf benda secara produktif.
Sedangkan terkait
dengan faktor penghambat pemberdayaan wakaf secara produktif, seperti yang
telah disebutkan di atas disini ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan,
yaitu aspek lembaga wakaf, aspek akuntansi, dan aspek auditing. Terkait dengan
aspek lembaga wakaf, sejak dikeluarkannya PP No. 42/2006 tentang pemberlakuan
UU No. 41/2004 tentang wakaf sampai saat ini Badan Wakaf Indonesia (BWI) hanya
memiliki beberapa perwakilan saja ditingkat Provinsi, seperti; Jawa Timur, Jawa
Barat, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara. Dengan demikian, perwakilan Badan
Wakaf Indonesia ditingkat Provinsi masih belum merata. Oleh karena itu, perlu
adanya perwakilan secara merata baik ditingkat Provinsi dan Kabupaten sehingga
pemberdayaan benda wakaf secara produktif lebih maksimal dan merata serta
manfaat dari hasil pengelolaan benda wakaf secara produktif dapat dirasakan
oleh masyarakat banyak sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam aspek akuntansi
dan auditing, tentu kedua aspek ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena sangat
terkait dengan pengelolaan dan pengembangan benda wakaf secara produktif. Pihak
Nazhir akan mencatat hal-hal yang terkait dengan akad/transaksi produk
pembiayaan dalam rangka mengelola dan pengembangan benda wakaf tersebut.
Sedangkan auditing / pengawasan juga penting dilakukan bagi lembaga sebagai
pengelola, karena adanya pengelolaan secara melembaga seperti ini juga memiliki
potensi akan terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan tanggung jawab. Oleh
karena itu, pengawasan dan laporan tahunan dari pihak pengelola (Nazhir) sangat
penting dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya penyimpangan tersebut. Terkait
dengan pengembangan benda wakaf secara produktif, pihak pengelola harus bekerja
sama dengan Institusi lain seperti Lembaga Keuangan Syariah baik Mikro atau
Makro. Namun, perkembangan lembaga keuangan yang berbasis syariah khususnya di
daerah atau pedalaman masih relatif sedikit. Sehingga ini juga akan menjadi
salah satu faktor penghambat bagi pengembangan benda wakaf secara produktif khususnya
dalam hal pembiayaan yang berlandaskan prinsip syariah.
D. KESIMPULAN
Terlepas
dari beberapa penjelasan di atas, disini dapat diambil sebuah kesimpulan, yaitu
bahwa yang menjadi faktor penghambat dari pemberdayaan wakaf produktif adalah minimnya
pemahaman masyarakat khususnya masyarakat pedalaman
tentang hukum wakaf dan wakaf produktif, pengelolaan dan manajemen wakaf yang
kurang efektif dan profesional, serta minimnya benda yang diwakafkan oleh
masyarakat selain tanah dan nazhir (pengelola wakaf) sendiri kurang mengerti
tentang hukum yang terkait dengan perwakafan sehingga terjadi penyimpangan dan
kurang amanah. Dengan demikian, dalam rangka optimalisasi pemberdayaan benda
wakaf secara produktif masih perlu banyak evaluasi dan memaksimalkan
sosialisasi kepada masyarakat oleh pihak yang berwenang terkait dengan
pengelolaan dan pengembangan benda wakaf secara produktif. Selain itu, melihat
tujuan dari pemberdayaan benda wakaf secara produktif. Maka disini juga memerlukan
keterlibatan dari semua pihak dalam mensosialisasikan dan mengembangkan wakaf
secara produktif, karena persoalan kesejahteraan dan kemiskinan adalah tanggung
jawab kita bersama. Sedangkan untuk mengembangkan benda wakaf secara produktif
pihak pengelola/ Nazhir bisa bekerja sama dengan Intitusi atau lembaga keuangan
yang berlandaskan prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet ke-1, Jakarta: RM
Books, 2007.
S.
Praja, Juhaya, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara, 1995.
Mubarok,
Jaih, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Zahrah,
Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1971.
Dahlan,
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996.
Muslim,
Shahih Muslim, Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t, Juz 8.
Soemita,
Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, cet ke-2, Jakarta: Kencana,
2010.
Pedoman
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN, 2006.
Hasanah,
Uswatun, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam
Perspektif Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Naskah Pidato
Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009.
Matraji,
Abdullah Ubaid (Staf Divisi Humas Badan Wakaf
Indonesia), Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009.
Hasan, Thalhah, Perlu Rekonsepsi Fikih Wakaf, Republika,
30 April 2004.
Tim
Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005.
[1] Revisi
makalah dikumpulkan dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Hukum
Lembaga Keuangan Syariah di PPs MSI-UII Yogyakarta pada tanggal 11 Desember
2011.
[2]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, cet ke-1,
(Jakarta: RM Books, 2007 ), hal. 75.
[3]
Ibid, hal. 76.
[4]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 76.
[5]
Juhaya S. Praja, “Perwakafan di Indonesia: Sejarah,
Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya”. (Bandung: Yayasan Piara, 1995), hal. 6.
[6]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 76-77.
[7]
Ibid.
[8]
Jaih Mubarok, “Wakaf Produktif”, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2008), hal. 15.
[9]
Ibid, hal. 35-36.
[10]
Lihat KHI pasal 215 ayat (1)
[11]
Abu Zahrah, “Muhadharat fi al-Waqf”, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1971),
hal. 41.
[12]
Jaih Mubarok, “Wakaf Produktif”, hal. 27.
[13]
لن تنا لواالبر حتى
تنغفوا مما تحبون وماتنفقوا من شيء فان الله به عليم { العمران:92}
[14]
يآيهاالذين امنوا
انفقوا من طيبت ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض ولاتيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم
باخذيه الا ان تغمضوافيه واعلموا ان الله غني حميد {البقرة: 267}
[15]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 78., Lihat
juga: Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum islam”, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1996), hal. 1906.
[16]Muslim, “Shahih Muslim”, (Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t),
Juz 8, hal. 407.
[17]
Ibid, hal. 405.
[18]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 79.
[19]
Andri Soemitra, “Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, cet ke-2,
(Jakarta: Kencana, 2010), hal. 435-436.
[20]
Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum islam”, hal. 1906.
[21]
KHI pasal 215 ayat (2) dan 217 ayat (1).
[22]
Ibid, pasa 215 ayat (4).
[23]
Ibid, pasal 217 ayat (3).
[24]
Syamsul Anwar, “Studi Hukum Islam Kontemporer”, hal. 81.
[25]
Ibid, hal. 82.
[26]
Ibid.
[27]
Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum
Islam di Indonesia”, (Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar
di Universitas Indonesia, 6 April 2009), hal. 17-18.
[28]
Abdullah
Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia), Republika Newsroom,
Kamis, 05 Februari 2009.
[29]
Andri Soemita, “Bank
& Lembaga Keuangan Syariah”, hal. 445.
[30]
Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf oleh DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN 2006, hal.
105-106.
[31]
Ibid, hal. 106.
[32]
Ibid, hal. 107-108.
[33]
Ibid, hal. 108.
[34]
Ibid, hal. 110.
[35]
Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum
Islam di Indonesia”, hal. 18.
[36]
Thalhah Hasan, “Perlu Rekonsepsi
Fikih Wakaf”, Republika, 30 April 2004.
[37]
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya.
[38]
Ibid, pasal 43 ayat (3) dan penjelasannya.
[39]
Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf oleh DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN 2006, hal. 114-118.
[40]
Ibid, hal. 119.
Nice info Wakaf Produktif
BalasHapusKABAR BAIK
BalasHapusPertama saya ingin mengatakan jika Anda takut akan berhasil, Anda tidak akan berhasil bahkan jika kesempatan datang murah dan gratis, itu semua dimulai pada malam yang dingin sementara di tempat tidur saya pergi melalui internet hanya untuk lelah sehingga saya bisa tidur setelah lama hari di bank mencoba untuk mengamankan pinjaman dengan rumah saya dari bank HSBC di pekanbaru bagi mereka yang mungkin tahu bank ini, saya mencoba dan setelah dokumentasi saya diberitahu untuk kembali dalam waktu 30 hari yang bagi saya seperti selamanya jadi sementara pada saya ranjang memikirkan tindakan saya berikutnya, saya menemukan cerita tertentu tentang cara mendapatkan pinjaman dan pada tingkat yang sangat rendah 2% dengan nama-nama perusahaan sebagai perusahaan pinjaman Rossa Stanley saya bertanya-tanya apakah itu nyata sehingga saya menyelidiki lebih jauh dan datang di seorang wanita bernama Nadia Sisworo bersaksi bagaimana dia mendapatkan pinjaman dengan rincian banknya semua ditampilkan jadi saya mengirim email dan kami berbicara, kami mengobrol dan dia meminta saya untuk menghubungi perusahaan ibu rossa bahwa jika rumah saya nyata dan identitas saya mungkin beruntung mendapatkan pinjaman jadi saya mengirim email ke ibu Rossastanleyloancompany@gmail.com tentang kondisi saya dan formulir pinjaman diberikan, saya mengisi dan mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp350.000,00, dan sisanya untuk Kemuliaan Allah, saya mendapat pinjaman dari perusahaan induk rossa, jadi orang yang saya sayangi jika Anda memiliki beban keuangan yang tulus atau ingin mengembangkan bisnis Anda jangan ragu untuk bertemu ibu rossa untuk bantuan saya yakin Rp350.000.000,00 sudah cukup untuk meninggalkan kemiskinan dan bahagia selamanya seperti saya jika Anda masih ragu-ragu biaya untuk menelepon atau WhatsApp saya di +6282385590743 atau menulis saya di hadiemi64@gmail.com dan saya akan membuktikan kepada Anda ibu nyata