Kamis, 01 Maret 2012

MEMBEBASKAN PEREKONOMIAN DARI RIBA


MEMBEBASKAN PEREKONOMIAN DARI RIBA
Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen pengampu : Dr. H. Sukamto, MA







Oleh:
Ahmad Darsuki
109 130 19




Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
MEMBEBASKAN PEREKONOMIAN DARI RIBA[1]

A.  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Pada dasarnya, kali pertama pelarangan tentang riba adalah di wilayah Arab dan setelah itu di wilayah dimana Islam berkuasa. Oleh karena itu, seluruh operasi pada sistem ekonomi yang mengandung unsur riba diharamkan.[2] Karena itu, ciri khas ekonomi Islam atau bisnis syari’ah adalah konsep anti-riba. Konsep ini menghapuskan semua jenis riba dalam setiap transaksi, baik disektor riil terlebih disektor keuangan.[3] Untuk menghadapi era globalisasi khususnya dalam bidang ekonomi, nampaknya tak ada batas lagi antar negara, dunia makin transparan, kekuatan-kekuatan ekonomi semakin menyatu, mereka bergabung dalam bentuk merger, joint veture, holding company, atau kerjasama antar negara membentuk perusahaan multinasional, yaitu suatu gabungan perusahaan antar bangsa. Kalau aktivitas ini tidak dibimbing oleh suatu etika tertentu, maka mereka mulai menghilangkan batas-batas yang baik dan yang buruk, yang boleh dan yang terlarang, mereka mulai mengaburkan yang halal dengan yang haram. Kemajuan usaha yang mereka peroleh tidak terlepas dan hubungan hutang-piutang yang terjadi di antara mereka baik pengusaha industri, perdagangan, pertanian dengan perusahaan perbankan atau pinjam-meminjam antar individu dan perusahaan lain.[4]
Dengan demikian, dominasi transaksi ribawi dalam perekonomian telah berdampak pada berfluktuasinya tingkat inflasi dan berpotensi sebagai alat eksploitasi manusia, mengarah pada ketidakadilan distribusi, dan membawa pada marjinalisasi kebenaran. Riba adalah tambahan nilai yang diperoleh dengan tanpa resiko dan bukan merupakan hadiah atau konpensasi kerja. Oleh karena itu, riba dimungkinkan terjadi pada transaksi perdagangan ataupun keuangan. Riba perdagangan timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas, sama kuantitas, dan sama waktu penyerahan, seperti kasus jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Transaksi semacam ini dilarang di dalam Islam karena mengandung unsur gharar atau ketidakpastian bagi kedua belah pihak dan berdampak pada ketidakadilan.[5]
Terkait dengan di atas, perkembangan lembaga keuangan syariah dengan berbagai instrumen yang ada menimbulkan optimisme akan perubahan sikap terhadap keberadaan riba, walaupun masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima sebagai riba seperti masih banyaknya institusi pendidikan lebih mengenalkan bunga sebagai bagian instrumen moneter dari sistem keuangan di dalam suatu negara dan masyarakat muslim lebih familiar dengan sistem konvensional.[6]       
2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka sangat penting kiranya melakukan pembahasan terkait dengan persoalan tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengertian riba dan dasar hukumnya?
2.    Bagaimana ayat-ayat tentang riba dan tafsirnya?
3.    Bagaimana dampak riba dalam perekonomian?
4.    Bagaimana cara untuk membebaskan perekonomian dari riba?
B.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-Ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘ulu). Dengan kata lain, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah. Demikian juga, Imam Sarakhi dalam kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwad yang dibenarkan syariat atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan atau harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[7]
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut Ibnu Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama. Ada beberapa perbedaan definisi riba dikalangan ulama, tetapi perbedaan ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba di dalam konteks hidupnya. Sehingga walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya, tetapi substansi dari definisi tersebut sama. Secara umum ekonomi muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.[8] 
2.    Ayat-Ayat Riba dan Tafsir-Nya
Adapun mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan riba dan tafsir ayat tersebut, yaitu bahwa dalam al-Qur’an ditemukan kata riba berulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu al-Baqarah, Ali 'Imran, al-Nisa', dan al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah).[9] Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah surat al-Rum ayat 39 yang berbunyi:
وما اتيتم من ربا ليربوا في اموال النا س فلا يربوا عند الله وماءاتيتم من زكوة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون
Artinya:”Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281 surat al-Baqarah yang berbunyi:
يايهاالذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين ......
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.........”
Selanjutnya Al-Zanjani,[10] berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 dari surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 dari surat al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba. Adapun ayat tersebut berbunyi:
واخذهم الربوا وقدنهواعنه واكلهم اموال النا س بالباطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا اليما
Artinya:“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal mereka sungguh telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih .”
Menurut al-Maraghi[11] dan al-Shabuni[12], tahap-tahap pembicaraan al-Qur’an tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (QS al-Rum, 30: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (QS al-Nisa', 4: 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (QS Ali 'Imran, 3: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (QS al-Baqarah, 2: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka disini cenderung hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan al-Qur’an, karena sebagaimana dikemukakan di atas, QS al-Nisa', 4: 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 dari surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktik riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya QS al-Baqarah, 2: 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat QS al-Rum, 30: 39.
Di sisi lain, QS al-Rum, 30: 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. al-Qurthubi[13] dan Ibn al-'Arabi[14] menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.[15] Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih. Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat QS al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, al-Zarkasyi dalam al-Burhan[16] menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat QS al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw, dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam al-Qur’an bermula dari ayat Ali' Imran 131.[17]
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan al-Qur’an dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-QS Ali 'Imran, 3: 130 dan QS al-Baqarah, 2: 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun. Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan al-Qur’an. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".
Sedangkan pandangan ulama tentang arti Adh'âfan Mudhâ'afah bahwa dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabari dalam tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya al-Qur’an. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaza'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.[18]
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.[19] Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.[20]
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 dari surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Qur’an menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu)”.[21]
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekedar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut al-Thabari, seseorang yang mempraktikkan riba dinamakan murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.[22] Kesimpulan al-Thabari ini didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.[23]
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-Ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."[24] Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekedar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya, bila tidak berlipat ganda maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram. Dengan demikian, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat disana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga. Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada QS al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.[25] Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada QS Ali 'Imran, 3: 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada QS al-Baqarah, 2: 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah. Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu. Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sadakah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas, tentang arti riba yang dimaksud oleh al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam al-Baqarah tersebut masih dapat ditolak oleh sementara ulama -- antara lain -- dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
1.      Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (QS al-Baqarah, 2: 278) untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktikkan ala jahiliyah itu.[26]
2.      Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktik riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan-akan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.[27] Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn Jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."[28] Karena itu, sungguh tepat terjemah yang ditemukan dalam al-Quran dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam QS Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan al-Qur’an adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan al-Qur’an? Jawabannya, disini terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al-Qur’an dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan.
Dengan demikian, ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia merupakan syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Qur’an dan yang diisyaratkan oleh penutup QS al-Baqarah, 2: 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Dari beberapa riwayat tentang praktik riba pada masa turunnya al-Qur’an, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktik tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Hal tersebut dikonfirmasikan oleh penutup QS al-Baqarah, 2: 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sadakah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sadakah. Kemudian pada QS al-Bqarah, 2: 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Dari penjelasan di atas, maka dapat garis bawahi bahwa riba pada masa turunnya al-Qur’an adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Hal tersebut diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadhâ'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang). Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[29]
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa harâm (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.[30] Dengan demikian, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud al-Qur’an: "Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."[31]
3.    Macam-Macam Riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.[32] Adapun penjelasan pembagian di atas adalah sebagai berikut:
1)   Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
2)   Riba Jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasiah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl. Tafsir Qurtuby menjelaskan: “Pada zaman jahiliah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur; “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kriditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru”.[33]
3)   Riba Fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mistlin), sama kualitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar  yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain. Misalnya, 1 kg beras dijual dengan 1 seper empat kg. Kelebihan seper empat kg tersebut disebut dengan riba fadhl. Jual beli seperti ini hanya berlaku dalam al-muqayadah (barter), yaitu barang ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang.[34]
4)   Riba Nasiah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Riba nasiah yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Misalnya dalam barter barang sejenis, membeli satu kilogram gula yang akan dibayarkan satu bulan yang akan datang. Atau barter dalam barang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi’ah.[35]
4.    Prinsip-Prinsip Riba
Adapun mengenai prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba di dalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah saw, yaitu:[36]
1)      Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai, mengandung unsur riba. Contoh, adanya unsur riba di dalam pertukaran satu ons emas dengan setengah ons emas.
2)      Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tapi berbeda nilai atau harganya dan dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
3)      Pertukaran barang yang sama nilai atau harganya akan tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran dengan cara dari tangan ke tangan tunai, maka pertukaran tersebut terbebas dari unsur riba. Contoh, jika satu ons emas mempunyai nilai sama dengan satu ons perak. Kemudian dinyatakan sah apabila dilakukan pertukaran dari tangan ke tangan tunai. Sebaliknya, transaksi ini dinyatakan terlarang apabila dilakukan secara kredit karena adanya unsur riba.
4)      Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari riba sehingga diperbolehkan. Contoh, garam dengan gandum, dapat dipertukarkan, baik dari tangan ke tangan maupun secara kredit, dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
5)      Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari unsur riba sehingga sah. Contoh, perhiasan emas ditukar dengan emas atau gandum ditukar dengan tepung gandum.
6)   Di dalam perekonomian yang berasaskan uang, dimana harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, keduanya terbebas dari riba, dan oleh karenanya diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum yang lain 15 kg per dolar. Kadua grade gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya riba karena transaksi itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau beratnya.
5.    Dampak Riba Dalam Perekonomian
Dalam transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan mungkin terjadi. Dalam hal simpan-pinjam, misalnya, Islam melarang untuk mengenakan denda jika hutang telat dibayar karena prinsip hutang dalam hal ini adalah menolong orang lain (tabarru’) dan tidak dibolehkan mengambil keuntungan dalam tabarru’. Dalam riba jahiliyah tersebut, potensi eksploitasi sangat tinggi. Di samping itu, pengambilan keuntungan sepihak dalam transaski keuangan juga dilarang dalam Islam, yang dikenal dengan istilah riba nasi’ah, dimana ada kesepakatan untuk membayar bunga dalam transaksi hutang-piutang atau pembiayaan. Dalam hal ini, satu pihak akan mendapatkan keuntungan yang sudah pasti, sedangkan pihak lainnya hanya menikmati sisa keuntungannya. Jelas hal ini tidaklah adil. Dengan demikian, implementasi penggunaan riba dapat berdampak buruk bagi perekonomian, yaitu:[37]
1)      Ketidakadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. Prinsip riba yang memberikan hasil tetap pada satu pihak (pemodal) dan hasil tak tetap pada pihak lawan (pengusaha).
2)      Potensi ekploitasi terhadap pihak yang lemah dan keuntungan lebih berpihak pada orang-orang kaya. Sistem riba memiliki kecenderungan terjadinya akumulasi modal pada pihak bermodal tinggi.
3)      Alokasi sumber daya ekonomi tidak efisien. Prinsip dan sistem bunga membawa kecenderungan alokasi dana tidak di dasarkan atas prospek profitabilitas usaha melainkan lebih pada dasar kemampuan pengembalian pinjaman (kolektibilitas) dan nilai jaminan (kolateral).
4)      Terhambatnya investasi.
Di samping itu, dampak riba juga tidak saja berpengaruh dalam kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan di tengah-tengah masyarakat, yaitu:[38]
1)      Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama/saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu kesulitan orang lain.
2)      Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu ke waktu. Keadaan ini menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan kreativitas dalam bekerja.
3)      Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menuntut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama. Menjadikan kreditur mempunyai ligetimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitugkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.
4)      Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Bagi orang yang mendapatkan pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan.
5)      Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak bernilai lagi, bahkan nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijadikan komoditas.
6)      Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi. Investor akan memperhitungkan besarnya harga peminjam atau bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi yang tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi  maka akan mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya beberapa dampak riba baik terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat, maka diperlukan usaha secara kolektif, terencana dan terorganisasi untuk menguranginya dan memberikan alternatif yang lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah simultan dan berkesinambungan dalam memperjuangkan keempat hal berikut:[39]
1)      Mendidik masyarakat dan mengajak partisipasi mereka dalam proses penghapusan sistem riba. Sistem pemerintahan yang sudah mulai demokratis memiliki potensi besar dalam mengajak masyarakat untuk memerangi ketidakadilan dan eksploitasi dari sistem riba.
2)      Mengurangi dan menghilangkan sebab-sebab yang membuat para pemodal menggunakan prinsip bunga. Para pemodal akan enggan menawarkan modalnya kepada pengusaha dengan prinsip bagi hasil ketika depresiasi mata uang selalu terjadi dan kecilnya jaminan bahwa pengusaha tidak akan menipu mereka.
3)      Mengurangi dan menghilangkan sebab-sebab masyarakat dan pengusaha menginginkan sistem bunga (riba). Selama depresiasi terjadi dan bisa mamkan dana tabungan, dan disisi lain bank menawarkan bunga tabungan/deposito di atas tingkat inflasi, maka sangatlah sulit mengajak masyarakat untuk menghindari menabung dana mereka di bank konvensional. Kebijakan terbaik adalah dengan menurunkan tingkat bunga pasar dan tingkat inflasi sehingga masyarakat tidak lagi berharap bahwa nilai waktu dari uang adalah positif. Oleh karena itu, diperlukan standar lain bagi bank dalam memberikan imbalan kepada para penabung atau deposan, serta diperlukannya insentif yang cocok bagi para peminjam dana dengan prinsip non-bunga sehingga peluang tindak penipuan bisa dihindari. Standar semacam ini perlu diubah, sehingga modal besar hanya akan diberikan pada investasi-investasi yang benar-benar memerlukan modal besar.
4)      Mencegah terjadinya penurunan produksi dan pengangguran. Para kapitalis memerlukan waktu untuk berpindah dari sistem bunga ke sistem bagi hasil, dari sistem risk shifting menuju sistem risk sharing, karena dalam hal ini mereka harus turut mengambil resiko usaha.
5)      Perlunya pemerintah membantu usaha-usaha tersebut. Kebijakan pemerintah sangat sering berpihak dan didekti oleh kepentingan kapitalis dan penguasa. Sistem pemerintahan yang demokratis belum menjamin hilangnya praktek ekploitasi pihak yang lemah dan budaya korupsi/penipuan. Peran para ekonom dalam menetapkan sistem bebas bunga tidak akan berarti ketika budaya penipuan, eksploitasi masih bertahan. Karenanya pemerintah perlu mengambil tindakan legislatif dan administratif yang mendukung pelaksanaan sistem non-bunga.
6.    KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil beberapa poin kesimpulan bahwa:
·      Riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.
·      Praktik riba pada masa turunnya al-Qur’an, mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan.
·      Mereka yang berpegang pada teks (berlipat ganda) menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya, bila tidak berlipat ganda maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
·      Riba sangat berdampak buruk bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat.
·      Diperlukan usaha secara kolektif, terencana dan terorganisasi untuk mengurangi dan memberikan alternatif yang lebih baik, khususnya dari komponen masyarakat dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA


Khamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka   
              Pelajar, 2010.
Suwiknyo, Dwi, Kompilasi Tafsir; Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
              Pelajar, 2010.
Alma, Mukhtar Alma dan Juni Priansa, Donni, Manajemen Bisnis Syari’ah, Bandung:
              Alfabeta, 2009.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
              Yogyakarta: Ekonesia, 2003.
Al-Suyuthy, Jalaluddin, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, 1318, H), Jilid I.
 Al-Zanjany, Abdullah, Tarikh Al-Qur'an, (Beirut: Al-'Alamiy, 1969).
Al-Maraghiy,Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghiy, Mesir: Mushthafa al-Babi Al-
              Halabiy, 1946, jilid III.
Al-Shabuniy,Muhammad 'Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1971), jilid I.
Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad al-Anshariy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Kairo: Dar al-Kutub, 1967,  jilid XIV.
Muhammad bin Abdillah (Ibn al-'Arabiy), Abu Bakar , Ahkam Al-Qur'an, tahqiq
              Muhammad Ali Al-Bajawi, Mesir: 'Isa al-Babi Al-Halabiy, 1957, Jilid III.
Katsir, Ibn, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Singapura: Sulaiman Mar'iy, t.t., jilid III.
Al-Zarkasyiy, Badruddin, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-
                     Fadhil, Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1957, jilid I.
Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar Al-Manar, 1376 H., jilid III.
Al-Thabariy, Muhammad Ibn Jarir, Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1954, Jilid IV.
Al-Nandr, Abdul Mun'im, Al-Ijtihad, Kairo: Dar al-Syuruq, 1986.

Al-Syawkaniy, Muhammad bin 'Ali, Nayl Al-Authar, Mesir: Mushthafa al-Babi al-
              Halabiy, 1952, Jilid V.
Al-Shan’aniy, Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1950), Jilid III.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
              2000.


[1] Makalah ini guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Studi Al-Qur’an di PPs MSI-UII dengan Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah, dikumpulkan pada tanggal 16 Mei 2011.
[2]  Nur Khamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 316.
[3]  Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir; Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 35.
[4]  Mukhtar Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 273.
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonesia, 2003),   hlm. 1.
[6] Ibid, hlm. 22-24.
[7] Ibid, hlm. 10.
[8] Ibid, hlm. 10-11.
[9] Jalaluddin al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, 1318, H), Jilid I, hlm. 27.

[10] Abdullah al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, (Beirut: Al-'Alamiy, 1969), hlm. 60.
[11] Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, (Mesir: Mushthafa al-Babi Al-Halabiy, 1946), jilid III, hlm. 59.
[12] Muhammad 'Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1971), jilid I, hlm. 389.
[13] Muhammad bin Ahmad al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Kutub, 1967),  jilid XIV, hlm. 36.
[14] Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, (Mesir: 'Isa al-Babi Al-Halabiy, 1957), Jilid III, hlm. 1479.
[15] Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Singapura: Sulaiman Mar'iy, t.t.), jilid III, hlm. 434.
[16] Badruddin al-Zarkasyiy, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1957), jilid I., hlm. 409.
[17] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar Al-Manar, 1376 H.), jilid III, hlm. 113.
[18] Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1954), Jilid IV, hlm. 90.
[19] Ibid, Jilid III, hlm. 101.
[20] Ibid.
[21] Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Al-Maraghiy, Jilid IV, hlm. 65.
[22] Al-Thabariy, Jami' al-Bayan, Jilid III, hlm. 101.
[23] Rasyid Ridha, al-Manar, Jilid II, hlm. 113-114.
[24] Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1986), hlm. 351.
[25] Rasyid Ridha, al-Manar, Jilid II, hlm. 113-114.
[26] Al-Thabariy, Jami' al-Bayan, Jilid III, hlm. 106-107.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1952), Jilid V, hlm. 245.
[30] Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Al-Salam, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1950), Jilid III, hlm. 53.
[31] Rasyid Ridha, al-Manar. Jilid II, hlm. 113-114.
[32] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, hlm. 15-16.
[33] Mukhtar Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, hlm. 277.

[34] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 1498.
[35] Ibid.
[36] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, hlm. 16-17.
[37] Ibid, hlm. 1-3.

[38] Ibid, hlm. 21.
[39] Ibid, hlm. 3-5.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar