MEMBEBASKAN PEREKONOMIAN DARI RIBA
Guna Memenuhi Tugas
Akhir Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen pengampu : Dr. H.
Sukamto, MA
Oleh:
Ahmad Darsuki
109 130 19
Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
MEMBEBASKAN
PEREKONOMIAN DARI RIBA[1]
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada
dasarnya, kali pertama pelarangan tentang riba adalah di wilayah Arab
dan setelah itu di wilayah dimana Islam berkuasa. Oleh karena itu, seluruh
operasi pada sistem ekonomi yang mengandung unsur riba diharamkan.[2]
Karena itu, ciri khas ekonomi Islam atau bisnis syari’ah adalah konsep
anti-riba. Konsep ini menghapuskan semua jenis riba dalam setiap transaksi,
baik disektor riil terlebih disektor keuangan.[3] Untuk
menghadapi era globalisasi khususnya dalam bidang ekonomi, nampaknya tak ada
batas lagi antar negara, dunia makin transparan, kekuatan-kekuatan ekonomi semakin
menyatu, mereka bergabung dalam bentuk merger, joint veture, holding
company, atau kerjasama antar negara membentuk perusahaan multinasional,
yaitu suatu gabungan perusahaan antar bangsa. Kalau aktivitas ini tidak
dibimbing oleh suatu etika tertentu, maka mereka mulai menghilangkan
batas-batas yang baik dan yang buruk, yang boleh dan yang terlarang, mereka
mulai mengaburkan yang halal dengan yang haram. Kemajuan usaha yang mereka
peroleh tidak terlepas dan hubungan hutang-piutang yang terjadi di antara
mereka baik pengusaha industri, perdagangan, pertanian dengan perusahaan
perbankan atau pinjam-meminjam antar individu dan perusahaan lain.[4]
Dengan
demikian, dominasi transaksi ribawi dalam perekonomian telah berdampak pada
berfluktuasinya tingkat inflasi dan berpotensi sebagai alat eksploitasi
manusia, mengarah pada ketidakadilan distribusi, dan membawa pada marjinalisasi
kebenaran. Riba adalah tambahan nilai yang diperoleh dengan tanpa resiko dan
bukan merupakan hadiah atau konpensasi kerja. Oleh karena itu, riba
dimungkinkan terjadi pada transaksi perdagangan ataupun keuangan. Riba
perdagangan timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi
kriteria sama kualitas, sama kuantitas, dan sama waktu penyerahan, seperti
kasus jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Transaksi
semacam ini dilarang di dalam Islam karena mengandung unsur gharar atau
ketidakpastian bagi kedua belah pihak dan berdampak pada ketidakadilan.[5]
Terkait
dengan di atas, perkembangan lembaga keuangan syariah dengan berbagai instrumen
yang ada menimbulkan optimisme akan perubahan sikap terhadap keberadaan riba,
walaupun masih ada beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang bisa diterima
sebagai riba seperti masih banyaknya institusi pendidikan lebih mengenalkan
bunga sebagai bagian instrumen moneter dari sistem keuangan di dalam suatu
negara dan masyarakat muslim lebih familiar dengan sistem konvensional.[6]
2.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka sangat penting kiranya melakukan pembahasan terkait dengan persoalan
tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian riba dan dasar hukumnya?
2.
Bagaimana
ayat-ayat tentang riba dan tafsirnya?
3.
Bagaimana
dampak riba dalam perekonomian?
4.
Bagaimana
cara untuk membebaskan perekonomian dari riba?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Riba
Riba
menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-Ziyadah), berkembang (an-numuw),
meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘ulu). Dengan kata lain,
riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman
pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu
tertentu. Dalam hal ini, Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki dalam
kitab Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba
adalah tambahan yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad
(penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah. Demikian juga, Imam Sarakhi
dalam kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwad yang
dibenarkan syariat atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni
dalam kitab Umdatul Qari mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba
adalah tambahan atau harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.[7]
Menurut
Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, yang dimaksud riba adalah
tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga,
menurut Ibnu Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan, baik dalam bentuk barang
maupun uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah
kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih
dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama. Ada
beberapa perbedaan definisi riba dikalangan ulama, tetapi perbedaan ini lebih
dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba di dalam
konteks hidupnya. Sehingga walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya,
tetapi substansi dari definisi tersebut sama. Secara umum ekonomi muslim
tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus
dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang
bertentangan dengan prinsip syari’ah.[8]
2.
Ayat-Ayat Riba dan Tafsir-Nya
Adapun mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan riba
dan tafsir ayat tersebut, yaitu bahwa dalam al-Qur’an ditemukan kata riba berulang
sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu al-Baqarah, Ali
'Imran, al-Nisa', dan al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyah"
(turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat al-Rum adalah
"Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah).[9] Ini
berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah surat al-Rum ayat 39
yang berbunyi:
وما اتيتم من ربا
ليربوا في اموال النا س فلا يربوا عند الله وماءاتيتم من زكوة تريدون وجه الله
فأولئك هم المضعفون
Artinya:”Dan
sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak
bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat
Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat
yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam
rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281
surat al-Baqarah yang berbunyi:
يايهاالذين امنوا
اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين ......
Artinya:”Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba,
jika kamu orang-orang yang beriman.........”
Selanjutnya Al-Zanjani,[10] berdasarkan
beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan
oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran
lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka
berarti ayat 130 dari surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba
secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat
161 dari surat al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang
memakan riba. Adapun ayat tersebut berbunyi:
واخذهم الربوا
وقدنهواعنه واكلهم اموال النا س بالباطل واعتدنا للكفرين منهم عذابا اليما
Artinya:“Dan
karena mereka menjalankan riba, padahal mereka sungguh telah dilarang darinya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami
sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih .”
Menurut al-Maraghi[11] dan
al-Shabuni[12],
tahap-tahap pembicaraan al-Qur’an tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan
tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekedar
menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (QS al-Rum, 30: 39), kemudian
disusul dengan isyarat tentang keharamannya (QS al-Nisa', 4: 161). Selanjutnya
pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya
(QS Ali 'Imran, 3: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam
berbagai bentuknya (QS al-Baqarah, 2: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di
atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang
mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan
turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya
satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh
ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh
ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan
tersebut, maka disini cenderung hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan
terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas
kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami
pengertian atau esensi riba yang diharamkan al-Qur’an, karena sebagaimana
dikemukakan di atas, QS al-Nisa', 4: 161 merupakan kecaman kepada orang-orang
Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 dari
surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap
orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktik riba secara adh'afan
mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun
tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya QS al-Baqarah, 2: 278, serta
dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat QS al-Rum, 30: 39.
Di sisi lain, QS al-Rum, 30: 39 yang merupakan ayat
pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak
berbicara tentang riba yang diharamkan. al-Qurthubi[13] dan
Ibn al-'Arabi[14] menamakan
riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir
menamainya riba mubah.[15] Mereka
semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin
yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang
dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih. Atas dasar
perbedaan arti kata riba dalam ayat QS al-Rum di atas dengan kata riba pada
ayat-ayat lain, al-Zarkasyi dalam al-Burhan[16] menafsirkan
sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat QS
al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw, dan dalam surat-surat
lainnya menggunakannya. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak
uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam al-Qur’an bermula dari ayat Ali'
Imran 131.[17]
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba
yang diharamkan al-Qur’an dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan
ayat-QS Ali 'Imran, 3: 130 dan QS al-Baqarah, 2: 278, atau lebih khusus lagi
dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan
mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu
amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun. Dengan memahami kata-kata kunci
tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan
al-Qur’an. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan
tersebut haram".
Sedangkan pandangan ulama tentang arti Adh'âfan
Mudhâ'afah bahwa dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak
(plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama
dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan
mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabari dalam
tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada
pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya al-Qur’an.
Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa
"riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan
berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila
kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila
tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua
usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur
setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya
pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki
tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan
seterusnya menjadi jaza'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk
menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi
100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya
400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.[18]
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT
adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai
piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu
(tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah
pembayaran tersebut untuknya.[19] Sementara
itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan
seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila
telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan
untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa
pembayarannya.[20]
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya
dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 dari surat Ali
'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat
yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang
digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi
dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat
jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951)
berkomentar dalam tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang
dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau
berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy
(berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari
penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi
pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah
lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa
berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi
pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi,
sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka
memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah
yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa
nash Al-Qur’an menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu)”.[21]
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama
adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga
pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekedar penambahan dari jumlah
kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami
masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa
"riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi
tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda;
(2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang
dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah
penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh
redaksi syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di
atas, dan riwayat-riwayat lainnya, al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan
mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran
atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut al-Thabari, seseorang
yang mempraktikkan riba dinamakan murbin karena ia melipatgandakan harta
yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau
penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.[22] Kesimpulan
al-Thabari ini didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga
merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.[23]
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan
Ulama-Ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa:
"Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta
kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan
kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan
penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan
(peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak
rela."[24] Di
atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat
ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan
pelipatgandaan dan ada pula yang sekedar penambahan. Kini kita kembali
bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda
ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti
"berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan
bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya, bila tidak berlipat ganda maka
ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan
merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan
pada masa turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, kata mereka lebih lanjut,
penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram. Dengan demikian, untuk
menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut
riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat disana. Karena, sekalipun teks adh'afan
mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi
riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga. Di sini yang pertama
dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah
(definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan
untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada QS al-Baqarah ini merujuk
kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.[25] Pertama,
kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah.
Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu
kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang
diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada QS Ali 'Imran,
3: 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada QS al-Baqarah, 2: 278.
Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir
sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan
mudha'afah. Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan
ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba
adalah memahami arti al-riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat
itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali
'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan
terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu. Ketiga, diamati oleh
Rasyid Ridha bahwa pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu digandengkan atau
dihadapkan dengan pembicaraan tentang sadakah, dan riba dinamainya sebagai
zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas,
tentang arti riba yang dimaksud oleh al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam
al-Baqarah tersebut masih dapat ditolak oleh sementara ulama -- antara lain --
dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat
diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi
yang berjauhan sejauh al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan
bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan
tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua
pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut
dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan
banyak tentang sebab nuzul ayat al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
1. Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari
keluarga Bani al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada
orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan
diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda
yang banyak, maka diturunkan ayat ini (QS al-Baqarah, 2: 278) untuk melarang
mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktikkan ala
jahiliyah itu.[26]
2. Ayat tersebut turun menyangkut kabilah
Tsaqif yang melakukan praktik riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan
bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu
pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang
belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba,
seakan-akan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut.
Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba
tersebut.[27] Atas
dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn Jarir
menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan
apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."[28] Karena
itu, sungguh tepat terjemah yang ditemukan dalam al-Quran dan Terjemahnya,
terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum
dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan
pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba
dalam QS Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud
adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan al-Qur’an adalah yang
disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba
al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti
bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda"
menjadi tidak diharamkan al-Qur’an? Jawabannya, disini terdapat pada kata kunci
berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu)
(QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah
modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal
tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada
masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian
kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik
berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al-Qur’an dengan turunnya ayat
tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat
tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan.
Dengan demikian, ini menjadikan persoalan kata adh'afan
mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia merupakan syarat atau
bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya
yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa
kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi
pada masa turunnya al-Qur’an dan yang diisyaratkan oleh penutup QS al-Baqarah,
2: 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Dari beberapa riwayat tentang praktik riba pada masa
turunnya al-Qur’an, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa
praktik tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang
yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Hal tersebut dikonfirmasikan
oleh penutup QS al-Baqarah, 2: 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat
dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sadakah, seperti dikemukakan
Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian
mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi
bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa
menguburkan sadakah. Kemudian pada QS al-Bqarah, 2: 280 ditegaskan bahwa, Dan
jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar
pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan
kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika
kamu mengetahui. Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang
dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si
peminjam.
Dari penjelasan di atas, maka dapat garis bawahi bahwa
riba pada masa turunnya al-Qur’an adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah
utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar
kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Hal tersebut diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadhâ'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang). Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[29]
Hal tersebut diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadhâ'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang). Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[29]
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu
qardhin jarra manfa'atan fahuwa harâm (setiap piutang yang menarik atau
menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para
ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya,
sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.[30]
Dengan demikian, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba
yang dimaksud al-Qur’an: "Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika
seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan
sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena
transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan
riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali
keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan.
Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan
keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal
atau berlaku adil."[31]
3.
Macam-Macam Riba
Secara
garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba
utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh
dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasiah.[32] Adapun penjelasan pembagian di atas adalah sebagai berikut:
1)
Riba
Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
2)
Riba
Jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba jahiliyah
dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap
pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu
penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasiah; dari segi
kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl. Tafsir Qurtuby
menjelaskan: “Pada zaman jahiliah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh
tempo, akan berkata kepada debitur; “Lunaskan hutang anda sekarang, atau
anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur harus
menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kriditur menunggu waktu
pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru”.[33]
3)
Riba
Fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat
pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan
bi mistlin), sama kualitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu
penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan
nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat
menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan
pihak-pihak yang lain. Misalnya, 1 kg beras dijual dengan 1 seper empat kg. Kelebihan
seper empat kg tersebut disebut dengan riba fadhl. Jual beli seperti ini
hanya berlaku dalam al-muqayadah (barter), yaitu barang ditukar dengan
barang, bukan dengan nilai uang.[34]
4)
Riba
Nasiah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat
utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu
bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman).
Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya
karena berjalannya waktu. Riba nasiah yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Misalnya dalam barter barang sejenis, membeli satu
kilogram gula yang akan dibayarkan satu bulan yang akan datang. Atau barter
dalam barang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua
kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah
satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran
pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi’ah.[35]
4.
Prinsip-Prinsip Riba
Adapun mengenai prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba di
dalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah saw,
yaitu:[36]
1)
Pertukaran
barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara
kredit maupun tunai, mengandung unsur riba. Contoh, adanya unsur riba di dalam
pertukaran satu ons emas dengan setengah ons emas.
2)
Pertukaran
barang yang sama jenis dan jumlahnya, tapi berbeda nilai atau harganya dan
dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan
terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
3)
Pertukaran
barang yang sama nilai atau harganya akan tetapi berbeda jenis dan
kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Tetapi
apabila pertukaran dengan cara dari tangan ke tangan tunai, maka pertukaran
tersebut terbebas dari unsur riba. Contoh, jika satu ons emas mempunyai nilai
sama dengan satu ons perak. Kemudian dinyatakan sah apabila dilakukan
pertukaran dari tangan ke tangan tunai. Sebaliknya, transaksi ini dinyatakan
terlarang apabila dilakukan secara kredit karena adanya unsur riba.
4)
Pertukaran
barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya, baik secara kredit maupun
dari tangan ke tangan, terbebas dari riba sehingga diperbolehkan. Contoh, garam
dengan gandum, dapat dipertukarkan, baik dari tangan ke tangan maupun secara
kredit, dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
5)
Jika
barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan
kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan,
terbebas dari unsur riba sehingga sah. Contoh, perhiasan emas ditukar dengan
emas atau gandum ditukar dengan tepung gandum.
6)
Di
dalam perekonomian yang berasaskan uang, dimana harga barang ditentukan dengan
standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan
kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, keduanya
terbebas dari riba, dan oleh karenanya diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum
yang lain 15 kg per dolar. Kadua grade gandum ini dapat ditukarkan
dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya riba karena transaksi
itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau
beratnya.
5.
Dampak Riba Dalam Perekonomian
Dalam
transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan mungkin terjadi. Dalam hal
simpan-pinjam, misalnya, Islam melarang untuk mengenakan denda jika hutang
telat dibayar karena prinsip hutang dalam hal ini adalah menolong orang lain (tabarru’)
dan tidak dibolehkan mengambil keuntungan dalam tabarru’. Dalam riba jahiliyah
tersebut, potensi eksploitasi sangat tinggi. Di samping itu, pengambilan
keuntungan sepihak dalam transaski keuangan juga dilarang dalam Islam, yang
dikenal dengan istilah riba nasi’ah, dimana ada kesepakatan untuk
membayar bunga dalam transaksi hutang-piutang atau pembiayaan. Dalam hal ini,
satu pihak akan mendapatkan keuntungan yang sudah pasti, sedangkan pihak
lainnya hanya menikmati sisa keuntungannya. Jelas hal ini tidaklah adil. Dengan
demikian, implementasi penggunaan riba dapat berdampak buruk bagi perekonomian,
yaitu:[37]
1)
Ketidakadilan
distribusi pendapatan dan kekayaan. Prinsip riba yang memberikan hasil tetap
pada satu pihak (pemodal) dan hasil tak tetap pada pihak lawan (pengusaha).
2)
Potensi
ekploitasi terhadap pihak yang lemah dan keuntungan lebih berpihak pada
orang-orang kaya. Sistem riba memiliki kecenderungan terjadinya akumulasi modal
pada pihak bermodal tinggi.
3)
Alokasi
sumber daya ekonomi tidak efisien. Prinsip dan sistem bunga membawa
kecenderungan alokasi dana tidak di dasarkan atas prospek profitabilitas usaha
melainkan lebih pada dasar kemampuan pengembalian pinjaman (kolektibilitas) dan
nilai jaminan (kolateral).
4)
Terhambatnya
investasi.
Di samping itu, dampak riba juga tidak
saja berpengaruh dalam kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan di
tengah-tengah masyarakat, yaitu:[38]
1)
Riba
dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja
sama/saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada
peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan
tidak mau tahu kesulitan orang lain.
2)
Menimbulkan
tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang, kreditur bisa
mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu ke waktu. Keadaan ini menimbulkan
anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan
pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan kreativitas dalam
bekerja.
3)
Riba
merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan
menuntut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati
bersama. Menjadikan kreditur mempunyai ligetimasi untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena
dalam kesepakatan kreditur telah memperhitugkan keuntungan yang diperoleh dari
kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa
pengharapan dan belum terwujud.
4)
Yang
kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Bagi orang yang mendapatkan
pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya
dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai
pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi
harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan.
5)
Riba
pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak
memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena
nilai uang dan barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak
bernilai lagi, bahkan nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu,
uang tidak bisa dijadikan komoditas.
6)
Tingkat
bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi. Investor akan memperhitungkan
besarnya harga peminjam atau bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya
produksi yang tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya.
Bila hal ini terjadi maka akan
mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan
ekonomi.
Dengan
adanya beberapa dampak riba baik terhadap perekonomian dan kehidupan
masyarakat, maka diperlukan usaha secara kolektif, terencana dan terorganisasi
untuk menguranginya dan memberikan alternatif yang lebih baik. Oleh karena itu,
diperlukan langkah-langkah simultan dan berkesinambungan dalam memperjuangkan
keempat hal berikut:[39]
1)
Mendidik
masyarakat dan mengajak partisipasi mereka dalam proses penghapusan sistem
riba. Sistem pemerintahan yang sudah mulai demokratis memiliki potensi besar
dalam mengajak masyarakat untuk memerangi ketidakadilan dan eksploitasi dari
sistem riba.
2)
Mengurangi
dan menghilangkan sebab-sebab yang membuat para pemodal menggunakan prinsip
bunga. Para pemodal akan enggan menawarkan modalnya kepada pengusaha dengan
prinsip bagi hasil ketika depresiasi mata uang selalu terjadi dan kecilnya
jaminan bahwa pengusaha tidak akan menipu mereka.
3)
Mengurangi
dan menghilangkan sebab-sebab masyarakat dan pengusaha menginginkan sistem
bunga (riba). Selama depresiasi terjadi dan bisa mamkan dana tabungan, dan
disisi lain bank menawarkan bunga tabungan/deposito di atas tingkat inflasi,
maka sangatlah sulit mengajak masyarakat untuk menghindari menabung dana mereka
di bank konvensional. Kebijakan terbaik adalah dengan menurunkan tingkat bunga
pasar dan tingkat inflasi sehingga masyarakat tidak lagi berharap bahwa nilai waktu
dari uang adalah positif. Oleh karena itu, diperlukan standar lain bagi bank
dalam memberikan imbalan kepada para penabung atau deposan, serta diperlukannya
insentif yang cocok bagi para peminjam dana dengan prinsip non-bunga sehingga
peluang tindak penipuan bisa dihindari. Standar semacam ini perlu diubah,
sehingga modal besar hanya akan diberikan pada investasi-investasi yang
benar-benar memerlukan modal besar.
4)
Mencegah
terjadinya penurunan produksi dan pengangguran. Para kapitalis memerlukan waktu
untuk berpindah dari sistem bunga ke sistem bagi hasil, dari sistem risk
shifting menuju sistem risk sharing, karena dalam hal ini mereka
harus turut mengambil resiko usaha.
5)
Perlunya
pemerintah membantu usaha-usaha tersebut. Kebijakan pemerintah sangat sering
berpihak dan didekti oleh kepentingan kapitalis dan penguasa. Sistem
pemerintahan yang demokratis belum menjamin hilangnya praktek ekploitasi pihak
yang lemah dan budaya korupsi/penipuan. Peran para ekonom dalam menetapkan
sistem bebas bunga tidak akan berarti ketika budaya penipuan, eksploitasi masih
bertahan. Karenanya pemerintah perlu mengambil tindakan legislatif dan
administratif yang mendukung pelaksanaan sistem non-bunga.
6.
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil beberapa
poin kesimpulan bahwa:
· Riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip
syari’ah.
· Praktik riba pada masa turunnya al-Qur’an,
mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan
dan yang seharusnya mendapat uluran tangan.
·
Mereka yang berpegang pada teks (berlipat ganda) menyatakan
bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya, bila tidak berlipat ganda maka
ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan
merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan
pada masa turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, kata mereka lebih lanjut,
penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.
·
Riba
sangat berdampak buruk bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat.
·
Diperlukan
usaha secara kolektif, terencana dan terorganisasi untuk mengurangi dan
memberikan alternatif yang lebih baik, khususnya dari komponen masyarakat dan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Khamid,
Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Suwiknyo,
Dwi, Kompilasi Tafsir; Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Alma,
Mukhtar Alma dan Juni Priansa, Donni, Manajemen Bisnis Syari’ah,
Bandung:
Alfabeta, 2009.
Sudarsono,
Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonesia, 2003.
Al-Suyuthy, Jalaluddin, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an,
(Mesir: Al-Azhar, 1318, H), Jilid I.
Al-Zanjany, Abdullah, Tarikh Al-Qur'an, (Beirut:
Al-'Alamiy, 1969).
Al-Maraghiy,Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghiy,
Mesir: Mushthafa al-Babi Al-
Halabiy,
1946, jilid III.
Al-Shabuniy,Muhammad 'Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam,
(Beirut: Dar Al-Qalam, 1971), jilid I.
Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad al-Anshariy, Al-Jami'
li Ahkam Al-Qur'an, Kairo: Dar al-Kutub, 1967, jilid XIV.
Muhammad bin Abdillah (Ibn al-'Arabiy), Abu Bakar , Ahkam
Al-Qur'an, tahqiq
Muhammad
Ali Al-Bajawi, Mesir: 'Isa al-Babi Al-Halabiy, 1957, Jilid III.
Katsir, Ibn, Tafsir Al-Quran Al-Azhim,
Singapura: Sulaiman Mar'iy, t.t., jilid III.
Al-Zarkasyiy, Badruddin, Al-Burhan fi 'Ulum
Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-
Fadhil, Mesir: Isa al-Babi
al-Halabiy, 1957, jilid I.
Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Manar, Mesir:
Dar Al-Manar, 1376 H., jilid III.
Al-Thabariy, Muhammad Ibn Jarir, Jami' al-Bayan fi
Tafsir Al-Qur'an, Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1954, Jilid IV.
Al-Nandr, Abdul Mun'im, Al-Ijtihad, Kairo: Dar
al-Syuruq, 1986.
Al-Syawkaniy, Muhammad bin 'Ali, Nayl Al-Authar,
Mesir: Mushthafa al-Babi al-
Halabiy, 1952, Jilid V.
Al-Shan’aniy, Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy, Subul
Al-Salam, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1950), Jilid III.
Dahlan,
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve,
2000.
[1]
Makalah ini guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Studi Al-Qur’an di PPs
MSI-UII dengan Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah, dikumpulkan pada tanggal 16
Mei 2011.
[2]
Nur Khamid, Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 316.
[3] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir; Ayat-Ayat
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 35.
[4] Mukhtar Alma dan Donni Juni Priansa,
Manajemen Bisnis Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 273.
[5]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonesia, 2003), hlm. 1.
[6]
Ibid, hlm. 22-24.
[7]
Ibid, hlm. 10.
[8]
Ibid, hlm. 10-11.
[9]
Jalaluddin
al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, 1318, H),
Jilid I, hlm. 27.
[11]
Ahmad
Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, (Mesir: Mushthafa al-Babi
Al-Halabiy, 1946), jilid III, hlm. 59.
[12] Muhammad 'Ali al-Shabuniy, Tafsir
Ayat Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Qalam, 1971), jilid I, hlm. 389.
[13] Muhammad bin Ahmad al-Anshariy
Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, (Kairo: Dar al-Kutub, 1967), jilid XIV, hlm. 36.
[14]
Abu
Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq
Muhammad Ali Al-Bajawi, (Mesir: 'Isa al-Babi Al-Halabiy, 1957), Jilid III,
hlm. 1479.
[16] Badruddin al-Zarkasyiy, Al-Burhan
fi 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, (Mesir: Isa al-Babi
al-Halabiy, 1957), jilid I., hlm. 409.
[18] Muhammad
Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, (Mesir: Isa
al-Babi al-Halabiy, 1954), Jilid IV, hlm. 90.
[20]
Ibid.
[25]
Rasyid
Ridha, al-Manar, Jilid II, hlm. 113-114.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29] Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl
Al-Authar, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1952), Jilid V, hlm. 245.
[30] Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy
Al-Shan'aniy, Subul Al-Salam, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy,
1950), Jilid III, hlm. 53.
[32]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
hlm. 15-16.
[33]
Mukhtar Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, hlm.
277.
[34]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), hlm. 1498.
[35]
Ibid.
[36]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
hlm. 16-17.
[37]
Ibid, hlm. 1-3.
[38]
Ibid, hlm. 21.
[39]
Ibid, hlm. 3-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar