TEORI KEYAKINAN DALAM HUKUM ISLAM
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Legal Maxim
Dosen Pengampu: Drs. Asmuni, M.A.
Disusun Oleh:
Ahmad Darsuki
(109 130 19)
Konsentrasi Hukum Bisnis Syari’ah
Program Pascasarjana Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2012
TEORI KEYAKINAN DALAM HUKUM ISLAM[1]
Abstrak:
Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguan adalah merupakan kaidah fiqh yang kedua. Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda. Hanya saja besar kecilnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi sesuai dengan lemah-kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Artinya, ketika keyakinan lemah tentu saja keraguan menjadi lebih besar atau kuat, begitu pula sebaliknya ketika keyakinan lebih kuat atau besar yang terjadi adalah keraguan menjadi lebih lemah. Oleh karena itu, terkait dengan perkembangan bisnis yang berbasis syariah saat ini. Maka penulis merasa tertarik untuk membahas kaidah tersebut dalam konteks bisnis syariah yang dikemas dalam tema teori keyakinan dalam hukum Islam.
Kata Kunci: 1. Teori Keyakinan, 2. Hukum Islam.
A. PENDAHULUAN
Manusia yang hidup di dunia ini tidak mungkin lepas dari beragam perasaan senang, sedih, sakit, sehat, kuat, lemah, rajin, malas, dan beragam sifat manusia lainnya. Bagitu juga dengan rasa yakin dan ragu, selalu menyertai denyut nadi kehidupan manusia. Rasa yakin yang biasa mengawal hidup manusia, baik dalam dunia, bisnis, relasi sosial, hingga interaksi spritualnya, merupakan modal primer yang tidak layak untuk disia-siakan. Rasa yakin akan menggiring manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki keyakinan, perjalanan hidupnya akan goyah tak tentu arah. Oleh karena itu, keraguan yang mengganggu pikiran tidak akan mampu menggoyahkan status hukum yang telah dimiliki oleh kayakinan.[2]
Terkait dengan itu, persoalan yang mendasar yang dihadapi saat ini adalah perkembangan bisnis syariah yang semakin pesat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadinya berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam transaksi atau aktifitas bisnis di masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis dalam Islam. Perkembangan tersebut terbukti dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, BMT, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya.
Disamping itu, perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk memperluas aturan formal hukum Islam ke dalam bidang muamalat. Usulan ini telah dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.[3] Dengan demikian, persoalan tersebut menuntut penjustifikasian dari aspek syariah.
Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan progresif memiliki peran yang sangat urgen untuk menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk transaksi bisnis yang semakin komplek tersebut. Dengan demikian, sebagaimana saran para ahli hukum Islam untuk menjawab kebutuhan di atas, maka pengkajian hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik.[4] Dalam hal ini menurut hemat penulis salah satunya adalah terkait dengan teori keyakinan yang berlandaskan pada kaidah اليقين لايزال بالشك. Dengan demikian, untuk menjawab permasalahan di atas maka penulis dalam makalah ini mencoba untuk membahas dan mengkaji teori keyakinan dalam hukum Islam kaitannya dengan bisnis yang berbasis syariah.
B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Makna
Adapun ditinjau dari segi bahasa, Kata yakin (يقين) merupakan isim mashdar yang berasal dari ,يقنا – ييقن – يقن yang bermakna الأمر (jelas dan pasti).[5] Diskursus seputar makna kata yakin (selanjutnya di-indonesia-kan menjadi yakin) cukup semarak dibicarakan, terutama dalam kajian ilmu fiqh, Ushul Fiqh, maupun Kaidah Fiqh. Dilihat dari sisi bahasa, yakin secara sederhana dimaknai sebagai ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu.[6] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yakin secara bahasa adalah pengetahuan yang tidak disertai keragu-raguan. Sedangkan makna yakin secara istilah, di sini ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut. Di antaranya dikemukakan oleh Ali bin Muhammad al-Jurjani seorang ahli bahasa dan teologi menuturkan bahwa yakin adalah kepercayaan hati terhadap suatu objek bahwa objek tersebut berwujud seperti itu dan wujudnya sesuai dengan kondisi objektifnya. Al-Junaid al-Bagdadi seorang tokoh sufi klasik mengatakan bahwa yakin adalah mantapnya pengetahuan, sehingga orang yang memilikinya tidak ingin berpaling dan berubah haluan.[7]
Selain itu, pendapat Abu Bakar al-Warraq seorang sufi dari Persia mengatakan bahwa keyakinan tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari suatu upaya yang dilakukan secara intensif. Menurutnya, suatu keyakinan dapat tercapai melalui salah satu dan tiga media, yaitu; (1) Kabar (berita), (2) Dalil (petunjuk), dan (3) Musyahadah (penyaksian). Sedangkan Imam Qusyairi mengatakan bahwa pada mulanya keyakinan itu adalah hasil usaha manusia, tetapi akhirnya keyakinan itu merupakan limpahan karunia dari Allah Swt.[8] Berangkat dari beberapa definisi di atas, maka makna yaqin adalah kepercayaan yang tegas dan kokoh sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil-dalil yang jelas.
Dalam kontek kaidah ini, yakin memiliki makna lebih luas daripada pengertian yakin secara bahasa.[9] Secara sistematis, sebagian ulama memilah kondisi hati dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut:[10]
a. Yaqin, yakni keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’i (petunjuk pasti).
Maksud yakin di sini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu obyek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau persepsi yang kuat (zhan).[11] Dengan demikian, setiap orang yang sedang melaksanakan pekerjaan, tetapi masih disertai dengan keraguan maka hal tersebut tidak bisa dimasukkan sebagai kemantapan hati atau katagori yakin seperti di atas.
b. I’tiqad, yakni keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’i.
c. Zhan, yakni persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana salah satunya lebih kuat.
Maksudnya, apabila salah satu dari dua hal ada yang dapat diunggulkan berdasarkan dalil dan dalil tersebut bisa mengantarkan kepada kemungkinan yang lain, maka disebut zhan (dugaan). Jika dugaan adanya kemungkinan makna lain itu hilang, sehingga tidak ada interpretasi lain, maka disebut zhan al-ghalib (dugaan kuat). Zhan al-ghalib (dugaan kuat) tingkatannya sama dengan al-yakin (yakin) dalam tasyri’ (pembentukan hukum).[12] Dengan demikian, adanya zhan al-ghalib (dugaan kuat) disini maka seseorang bisa terlepas atau terhindar dari adanya keragu-raguan.
d. Syak, yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tanpa mengunggulkan salah satu diantara keduanya.
Adapun kata الشَكُّ secara bahasa artinya adalah bimbang atau ragu-ragu.[13] Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ. Artinya, ragu antara dua hal yang bertentangan tanpa ada dalil yang mengunggulkan di antara keduanya. Atau dengan kata lain, ragu adalah kesangsian suatu hal antara terjadi atau tidak, sementara di sisi lain tidak ada dalil yang dapat menguatkan salah satunya.[14] Sedangkan makna syak yang diajukan ahli ushul fiqh, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu. Dalam pengertian ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari kedua kemungkinan yang ada.[15] Seperti si A yang ragu, apakah temannya yang bernama X yang sedang ditunggu di rumanya akan datang atau tidak, maka si A tidak melebihkan kemungkinan antara datang dan tidak.
Terkait dengan syak, Imam Abu Hamid al-Isfirayini seperti dikutib oleh Imam Nakha’i bahwa syak (keraguan) itu ada 3 (tiga) macam, yaitu; ragu pada asal yang haram, ragu pada asal yang mubah, dan ragu pada sesuatu yang tidak diketahui asalnyal.[16] Oleh karena itu, ketiga macam tersebut penulis memberi contoh sebagai berikut:
1. Ragu pada asal yang haram
Misalnya, ada si X bekerja di salah satu instansi dimana setelah si X tersebut berkecimpung setahun lebih, si X melihat banyak hal-hal yang bisa dibilang tidak bisa diterima hati nuraninya. Ada istilah ‘korupsi berjamaah’ dimana me-mark up dana kegiatan dan memalsukan bukti pembayaran menjadi kebiasaan. Sedangkan honor-honor yang seharusnya menjadi hak si X malah tidak dibayarkan, tetapi di sisi lain yang tidak seharusnya hak saya malah diberikan. Dengan demikian, si X di sini merasa ragu terhadap hukum uang yang diperoleh dari hasil korupsi berjemaah tersebut.
2. Ragu pada asal yang mubah.
Misalnya, si X ingin ikut asuransi dan berinvestasi melalui BNI Syariah Insurance, karena MUI sudah membolehkannya. Akan tetapi, si X masih ragu mengenai hukum kebolehan tersebut. Oleh karena itu, si X harus mencari tahu mengenai hukum dan dasar-dasar kebolehan mengenai hal tersebut.
3. Ragu pada sesuatu yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya, si X melakukan hubungan bisnis dengan si Y yang sebagian besar uang milik patnernya adalah haram. Maka secara fiqh, si X tersebut boleh melangsungkan bisnisnya karena tidak diketahui dari mana uang yang digunakan untuk bisnis tersebut berasal.
e. Wahm, atau kemungkinan yang lebih lemah dari dua hal yang diasumsikan.
Dalam lisanu al-Arab kalimat وهم adalah dugaan paling lemah dari dua sisi yang mengandung keragu-raguan.[17] Artinya, dalam istilah ushul fiqh ada tiga kondisi yang masih mengandung keraguan sebagaimana disebutkan di atas yaitu; zhan, syak, dan wahm. Dengan demikian, wahm merupakan keraguan yang paling lemah di antara zhan dan syak. Terkait dengan wahm, literatur lain menyebutkan bahwa manusia lebih menerima dan mengikuti konklusi pancaindra dan wahm (estimasi), karena adanya lebih dahulu dari akal yang dianggap pendatang baru dan terus-menerus ditolak sampai ia mempunyai posisi yang kuat dan dapat mengatasi keduanya.[18] Wahm selalu menolak eksistensi substansi yang tidak mengambil dimensi ruang, atau yang tidak disifati terpisah dan menyatu atau berada tidak di dalam dan tidak di luar alam. Bahkan, wahm mendustakan apa yang lebih dekat pada objek empiri-sensual sendiri.[19]
Misalnya, dalam menghadapi suatu materi yang mempunyai gerak, rasa, warna, dan bau, wahm sulit mengakuinya sebagai satu kesatuan yang berkumpul pada satu tempat, dan membayangkan bahwa sebagiannya digabungkan kepada yang lain dan berdampingan dengannya. Sebab, wahm tidak mungkin dapat memahami berbilangnya keempat unsur itu, kecuali dengan mengandaikan berbilangnya keempat eksis, karena ia hanya mengambil informasi dari indra, sedang indra hanya dapat menangkap bilangan dan perbedaan berdasarkan perbedaan tempat atau waktu.[20] Terlepas itu, dalam kontek ini, hukum syar’i tidak boleh didasarkan pada hal yang mengandung kemungkinan lemah (wahm). Sebagaimana tidak boleh membatalkan sesuatu yang sudah ditetapkan dengan ketetapan yang pasti (qath’iy), hanya gara-gara mempertimbangkan dugaan lemah yang muncul kemudian.[21] Misalnya, jika ada sebuah rumah dijual dan di dekat rumah tersebut ada dua tetangga yang sama-sama memiliki hak syuf’ah, sementara salah satu dari keduanya tidak ada. Apabila tetangganya yang ada mencabut hak syuf’ahnya, maka diperbolehkan dan bahkan tidak boleh menunda pencabutan haknya sampai kedua tetanggnyanya hadir. Kerena tidak adanya salah satu tetangganya tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda putusan hukum bagi yang hadir.
Sehubungan dengan pemahaman kaidah di atas, ulama ushuliyyin sering melontarkan kritik epistemologis kepada para fuqaha seputar rumusan kaidah ini. Sebab menurut ulama ushuliyyin, apabila seseorang telah dihinggapi keraguan dalam hatinya, maka keyakinan yang sebelumnya telah bulat pasti akan hilang, atau minimal terganggu dan tidak utuh lagi. Sedangkan kaidah ini mengklaim bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan, ini jelas sesuatu yang mengada-ada dan tidak rasional. Menanggapi kritik ini, fuqaha menegaskan bahwa yang dimaksud ‘tidak hilang’ (la yuzalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi, melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang.[22] Hal ini berdasarkan argumen pokok bahwa dasarnya keyakinan memiliki nilai hukum lebih kuat daripada keraguan. Sebab, ketika dalam hati telah terbangun suatu keyakinan, maka dia tidak dapat digoyahkan oleh situasi, kondisi, atau faktor eksternal apapun. Artinya, dalam sebuah keyakinan terdapat hukum pasti yang tidak akan tergoyahkan oleh hal-hal yang baru timbul, kecuali oleh keyakinan lain.[23] Terkait dengan pemaknaan kaidah sebagaimana dijelaskan di atas, maka secara umum kaidah ini memiliki makna bahwa perbuatan yang ditetapkan dengan berdasarkan pada keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan. Namun, bukan berarti tidak bisa dihilangkan sama sekali, melainkan bisa saja dihilangkan tetapi harus dengan keyakinan yang serupa atau yang lebih unggul. Hal ini dikarenakan, kapasitas keragua-raguan lemah sehingga tidak dapat menghilangkan keyakinan yang sudah kokoh.
2. Landasan Kaidah
Adapun pondasi terbangunnya kaidah di atas didasarkan kepada beberapa landasan, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’ ulama, dan qiyas seperti yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Firman Allah swt. dalam QS. Yunus ( [10] : 36) yang berbunyi:
وما يتبع أكثرهم إلا ظنا إن الظن لايغني من الحق شيئا إن الله عليم بما يفعلون.
Artinya:“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka / dugaan saja, sesungguhnya prasangka / dugaan tidak sedikit pun berguna menyangkut kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[24]
Adapun maksud kata ( ظن ) pada ayat di atas, zhan berarti dugaan baik yang sangat kuat sehingga mendekati keyakinan maupun yang rapuh. Namun, pada umumnya ia digunakan untuk menggambarkan dugaan pembenaran yang melampaui batas syak. Kata ( شك ) syak (ragu) menggambarkan persamaan antara sisi pembenaran dan penolakan. Harus di catat bahwa sebagian besar hukum-hukum Islam berdasarkan zhan, yakni dugaan yang melampaui batas syak (ragu). Sedikit sekali yang bersifat qath’i atau pasti. Allah swt. mentoleransi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, walaupun dalam batas “dugaan” yang memiliki dasar.[25] Dengan demikian, ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang lebih banyak mengikuti dugaan dan mengingatkan orang yang ikut-ikutan tanpa argumen yang jelas, sehingga diharapkan bisa menyadari lemahnya kepercayaan yang dimiliki.
b. Hadis dari Rasulullah Saw. yang pertama berbunyi:
إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أويجد ريحا.
Artinya:“Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim)[26]
Terkait hadis di atas, menurut al-Nawawi bahwa ini merupakan salah satu landasan dasar hukum Islam yang kemudian dijadikan landasan terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status obyek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya.[27] Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin atau tidak. Akan tetapi, kalau ditarik pada kontek hutang-piutang dan hakim dalam memutuskan perkara, maka hal tersebut harus benar-benar menemukan bukti yang meyakinkan. Dimana bukti tersebut harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga mencapai pada kebenaran materil dan formil.
Sedangkan hadis dari Rasulullah Saw. yang kedua berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا شك أحد كم في صلاته، فلم يدر كم صلى أثلاثا أم أربعا ؟ فليطرح الشك، وليبن على مااستيقن.
Artinya:”Rasulullah Saw. bersabda, apabila diantara kalian ragu ditengah-tengah melaksanakan shalat, kemudian lupa sudah berapa rakaat yang dilakukan, tiga atau empat? Maka buanglah keragu-raguan itu dan berpijaklah pada apa yang diyakini.”(HR. Muslim)[28]
c. Ijma’ Ulama
Ulama sudah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah ini. Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.[29] Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah tersebut, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.[30] Sedangkan Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat Islam”.[31]
c. Qiyas
Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan sesuatu yang meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti itu mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada keragu-raguan yang tiba-tiba datang maka tidak bisa menghapus hukum yang bersifat pasti tersebut”.[32]
Demikian ayat dan hadis di atas, merupakan landasan kaidah yang mendorong terbentuknya kaidah yang berkaitan dengan teori keyakinan dalam hukum Islam. Selain itu, diperkuat lagi oleh adanya ijma’ ulama dan dali qiyas sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, dapat diambil sebuah pesan bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal, maka faktor eksternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya sah, maka hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan yang mampu merubahnya.
3. Aplikasi Kaidah
Dalam aplikasi kaidah ini, sebenarnya banyak sekali persoalan-persoalan hukum yang dicakup oleh kaidah ini. Namun, penulis dalam aplikasi ini hanya mencontohkan dua aplikasi yang terbatas pada transaksi bisnis dan pesengketaan. Adapun dua contoh aplikasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam Akad Mudharabah Muqayyadah
Pembiayaan mudharabah muqayyadah (bagi hasil) adalah akad kerja sama di mana shahibul mal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib, baik mengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha.[33] Artinya kerjasama usaha antara nasabah pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah pengelola dana (mudharib), dimana pihak bank bertindak sebagai perantara pembiayaan. Dan pemilik dana menetapkan pelaksanaan kegiatan dengan syarat-sayarat tertentu berupa jenis usaha, tempat, waktu maupun tatacara pelaksanaannya.
Misalnya, sengketa antara Perusahaan Y dan Bank X Syariah. Pada awalnya Bank X Syariah mengajukan proposal penawaran kerja sama pembiayaan Mudharabah Muqayyadah kepada Perusahaan Y pada tanggal 1 Desember 2003. Dalam proposal penawaran disebutkan, pembiayaan akan digelontorkan untuk PT. AU sebagai biaya pengembangan usaha pembuatan karung. Ketika itu, Perusahaan Y berasumsi skema pembiayaan itu sama dengan penempatan deposito pada Bank Syariah. Karena itu Perusaan Y setuju untuk menempatkan dananya pada Bank X Syariah. Pada 23 Januari 2004, Bank X Syariah, PT. AU dan Perusaan Y membuat kesepakatan bersama Mudharabah Muqayyadah No. 006/MoU/DPAPII/I/2004, No.103/0110/MoU-SIP/I/2004, dan No. 05/1393/017. Saat yang sama, Peusahaan Y mentransfer dana ke Bank X Syariah dengan surat No. 045/DPAP II/KI/I/2004 tentang penerbitan deposito sebesar Rp 5 miliar.
Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam akta pembiayaan Mudharabah Muqayyadah sebesar Rp 10 miliar pada 28 Januari 2004 antara Perusahaan Y, PT. AU dan Bank X Syariah. Perjanjian itu berlaku selama tiga tahun hingga 23 Januari 2008, dengan ketentuan bagi hasil Perusahaan Y sebesar 13,5 % tiap-tahun. Sementara Bank X Syariah mendapat fee sebesar 1 % per-tahun terhitung sejak pembiayaan Mudharabah Muqayyadah masih berjalan (outstanding). Sebulan kemudian, Perusahaan Y kembali mentransfer dana ke Bank X Syariah sebesar Rp 5 miliar melalui surat No.115/DPAP II/KI/II/2004 tanggal 27 Februari 2004.
Enam bulan berselang, Perusahaan Y tidak mendapatkan nisbah bagi hasil karena PT. AU dan Bank X Syariah tidak membayarkan angsuran, baik kewajiban pokok maupun margin (selisih) bagi hasil. Sejak awal proses pembiayaan, Perusahaan Y menilai Bank X Syariah tidak transparan. Hal itu antara lain tercermin dari pembiayaan yang dilakukan lebih dulu pada PT. AU sebesar Rp 6,5 miliar pada Oktober 2003, sebelum akad dibuat. Sementara, dalam akad pembiayaan No. 108 disebutkan bahwa PT. AU tidak dalam keadaan berutang pada pihak lain.
Perusahaan Y menilai, Bank X Syariah tidak melaksanakan prudential banking principles (prinsip kehati-hatian perbankan) dalam proses pengajuan dan pelaksanaan Mudharabah Muqayyadah. Selain itu, Bank X Syariah juga dinilai tidak melaksanakan kewajibannya terhadap pengikatan barang jaminan dan monitoring penggunaan dana untuk kepentingan Perusahaan Y. Hal itu menimbulkan side streaming yang dilakukan PT. AU. Yakni dengan menggunakan dana Perusahaan Y untuk membayar cicilan hutang pada Bank X Syariah.
Untuk menuntaskan sengketa itu, Perusahaan Y telah berusaha untuk musyawarah hingga mengajukan somasi ke Bank X Syariah, namun hasilnya nihil. Padahal dana yang ditempatkan Perusahaan Y berasal dari iuran para anggota / pengurus Perusahaan Y. Karena itu, Perusahaan Y menuntut Bank X Syariah memenuhi kewajibannya.
Perusahaan Y kemudian membawa perkara itu ke Basyarnas. Hal itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang mengatur apabila terjadi perselisihan maka para pihak akan menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa. Setelah enam bulan bersidang di Basyarnas, para pihak tetap tidak menemukan titik temu. Karena itu, pada 21 Agustus 2008 majelis arbiter menjatuhkan putusan.
Basyarnas memutus Bank X Syariah dan PT. AU membayar pokok pembiayaan akad Mudharabah Muqayyadah kepada Perusahaan Y sebesar Rp 10 miliar. Pembayaran sebesar Rp 10 miliar kepada Perusahaan Y secara tenggung renteng, paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan. Keduanya terbukti wanprestasi terhadap Perusahaan Y dalam menunaikan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 tanggal 28 Januari 2004. Karena itu, akad tersebut oleh hakim dibatalkan dan dalam amar putusan dinyatakan bahwa putusan bersifat final dan mengikat.
Berdasarkan uraian di atas, maka keputusan hakim di sini tidak bisa dirubah hanya berdasarkan keraguan yang datang kemudian pada diri hakim. Apalagi keputusan yang dibuat oleh hakim tersebut sudah sesuai berdasarkan bukti-bukti yang kuat bahwa Bank X Syariah dan PT. AU benar-benar terbukti wanprestasi terhadap Perusahaan Y dalam menunaikan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 tanggal 28 Januari 2004. Kecuali pihak Bank X Syariah juga memiliki bukti-bukti yang menguatkan dirinya bahwa tidak terjadi wanprestasi atau bahkan tidak pernah terjadi kesepakatan mengenai Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah sebagaimana yang digugat oleh Perusahaan Y.
b. Dalam Akad Piutang
Seorang debitur mengaku telah membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi kreditur tidak mengakuinya, maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran hutang. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan pula. Seperti adanya kuitansi pembayaran yang sah. Lain halnya dengan kasus misalnya, Si X mengaku bahwa si Y berhutang kepadanya, tetapi si Y menyatakan bahwa dia tidak mempunyai hutang kepada si X. Maka yang diakui adalah perkataan si Y, karena pada asalnya tidak ada hutang-piutang antara si X dan si Y. Kecuali si X mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si Y mempunyai hutang kepadanya, misalnya kuitansi penyerahan uang dari si X kepada si B.
Berdasarkan kedua contoh aplikasi di atas, alasan mendasar mengapa keraguan/kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan dianggap lebih lemah daripada keyakinan. Keyakinan hanya bisa hilang bila telah ada sebab-sebab pasti yang mampu menghilangkan nilai-nilai dasar keyakinan, yang dalam bahasa fuqaha disebut al-sabab al-muzil (sebab yang mampu menghilangkan). Dengan kata lain bahwa keyakinan hanya bisa dihilangkan oleh kayakinan lain yang setara dengannya.
4. Kaidah Cabang
Adapun kaidah cabang dari kaidah اليقين لايزال بالشك , di sini ada beberapa kaidah yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a)
الاصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Artinya:“Yang menjadi dasar adalah ketetapan status hukum sesuatu pada keadaan semula”
Maksud kaidah ini adalah bahwa asal atau pokok dari suatu perkara yang telah berada pada kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil, bukti atau argumen lain yang bisa mngubahnya.[34] Namun, sebagian ulama memaknai kaidah ini bahwa dasar atau tolak ukur dalam memutuskan persoalan yang baru adalah berdasarkan pada keputusan yang telah lalu. Akan tetapi, jika putusan hukum yang telah berlaku sebelumnya bertentangan dengan kenyataan yang sekarang atau bertentangan dengan syariat maka hukum tersebut tidak bisa diteruskan, tetapi harus diperbaharui dengan hukum hasil ijtihad yang baru.[35] Misalnya, Jika pasangan suami istri sudah lama mengarungi bahtera rumah tangga. Kemudian istri mengklaim bahwa suaminya tidak memberikan nafkah. Maka perkataan yang dibenarkan adalah klaim istri selama tidak ada bukti dari suaminya. Dan sang istri juga diharuskan bersumpah.
b)
الأصل عدم الفعل
Artinya: “Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan”
Maksud kaidah adalah bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaannya.[36] Misalnya, seorang yang akad dalam hutang-piutang terjadi sengketa. Pihak pertama mengatakan bahwa akad tersebut digantungkan pada syarat tertentu, sementara pihak kedua mengatakan bahwa akad tersebut tidak digantungkan pada syarat apapun. Maka yang dipegang adalah perkataan pihak kedua, karena menggantungkan suatu syarat pada akad adalah sifat yang datang kemudian. Hukum asalnya adalah akan tanpa syarat apapun. Sudah tentu pula hal ini bisa berubah, apabila pihak pertama mengajukan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa akad tersebut memang digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Seperti, “hutang mau saya bayar ketika pulang dari ibadah haji”, kata-kata, “setelah pulang dari ibadah haji” adalah syarat yang digantungkan kepada akad piutang.
c)
الأصل فى الأشياء الإباحة
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh”
Maksud kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh. Namun, terkait dengan kaidah ini masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah halal, selama belum ada dalil yang mengharamkan. Sebaliknya, beberapa ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukum asal segala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil yang menghalalkan. Dan ada lagi segolongan ulama lainnya yang bersikap diam seputar masalah ini, mereka tidak mengatakan haram atau halal.[37] Dari ketiga pendapat tersebut, tentu mereka memiliki argumen masing-masing baik berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Misalnya, apabila ada seorang menjual barang dan barang tersebut belum ada dalil yang mengharamkan untuk menjual, maka barang tersebut boleh di jual.
d)
الأصل براءة الذ مة
Artinya: ”Pada dasarnya (setiap orang) bebas dari tanggung jawab”
Maksud kaidah adalah bahwa patokan dasar manusia dalam hubungan masyarakat (relasi sosial) maupun individualnya adalah keterlepasannya dari tanggung jawab hak orang lain ketika hak itu belum pasti. Dalam kaidah ini dzimmah diartikan sebagai tanggung jawab manusia terhadap suatu barang, atau tanggung jawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya.[38] Dengan demikian, apabila seseorang memiliki tanggungan terhadap orang lain, maka wajib menunaikannya demi memperoleh kebebasan dari tanggungan orang lain. Misalnya, Antara orang yang merusak dengan pemilik barang berselisih tentang nilai barang yang dirusak. Maka yang dimenangkan adalah perkataan orang yang merusak. Karena pada asalnya dia bebas dari tanggungan yang melebihi dari nilai barang yang dirusak.
e)
الأصل فى االصفا ت العارضة العدم
Artinya:”Asal pada sifat yang baru adalah tidak ada”
Maksuda kaidah ini adalah bahwa apabila terjadi perselisihan antara ada atau tidaknya sifat-sifat yang baru, maka yang dimenangkan adalah perkataan orang yang berpegang teguh bahwa sifat tersebut tidak ada.[39] Misalnya, apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
f)
الأصل فى الألفاظ الحقيقة عند الإطلاق فلا تحمل على المجاز إلا بدليل
Artinya:”Lafadz-lafadz ketika diucapkan asalnya adalah hakikat, tidak dibawa pada makna majaz kecuali ada dalil.”
Untuk memaknai kaidah di atas perlu dijelaskan apa itu hakikat dan majaz. Secara etimologi, hakikat adalah berupa kebenaran sesuatu apabila telah tetap. Akan tetapi secara istilah, hakikat diartikan sebagai makna awal sejak diciptakannya lafadz.[40] Sedangkan majaz adalah kebalikan dari hakikat, yaitu setiap makna lain yang bukan makna awal diciptakannya lafadz. Antara makna hakikat dan majaz harus ada hubungan yang membolehkan seseorang untuk menggunakan selain makna hakikat.[41] Dengan demikian, maksuda kaidah di atas adalah bahwa pembicaraan seseorang tentang banyak hal, misalnya dalam akad jual beli dan sewa menyewa atau lainnya harus diarahkan pada makna hakikat, kecuali ada faktor lain yang mengharuskan makna majaz. Misalnya, jika si X sebagai ayah mewaqafkan sebidang tanah kepada si Y sebagai anaknya, maka cucu-cucunya si X tidak masuk kedalamnya. Karena, yang dimaksud dengan kata anak hakikanya adalah anak kandung.
g)
الأصل إضافة الحاد ث إلى أقرب أوقا ته
Artinya:”Pada asalnya adalah menyadarkan kejadian baru pada waktu yang paling dekat.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam menentukan waktu terjadinya suatu peristiwa, harus dihubungkan pada waktu yang paling dekat ketika tidak ada tanda-tanda atau bukti nyata yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut dinisbatkan pada waktu lampau. Hal ini disebabkan kejadian yang dinisbatkan pada waktu yang dekat adalah lebih diyakini kebenarannya, sedangkan jika dinisbatkan pada waktu yang jauh maka kebenarannya masih diragukan.[42] Misalnya, jika barang dagangan terdapat cacat setelah diserahkan. Kemudian si X sebagai pembeli mengklaim bahwa terjadinya cacat tersebut waktu barangnya masih berada pada si Y sebagai penjual. Sementara si Y mengklaim sebaliknya yaitu cacat tersebut terjadi setelah barangnya ada pada si X. Maka dengan demikian, si X tidak boleh mengajukan membatalkan akadnya selama masih belum terbukti bahwa cacat tersebut memang sudah terjadi sejak ada di tangan penjual.
h)
لاحجة مع احتمال الناشئ عن دليل
Artinya:”Dalil yang mengandung kecurigaan tidak bisa dijadikan hujjah”
Maksud akidah ini adalah bahwa segala bukti dan alasan apapun tidak dapat diterima dan didengar jika masih mengandung kecurigaan. Apabila kecurigaan itu timbul dari tingkah laku atau gerak-gerik pelaku sendiri maka perbuatannya dihukumi fasad, dia dianggap tidak melakukan apa-apa.[43] Artinya, kecurigaan di sini bukan tanpa alasan, tetapi karena perilaku orang itu sendiri yang mencurigakan. Jadi, kecurigaan di sini timbul semata-mata karena dugaan bukan karena dalil atau bukti. Maka hal yang demikian tidak bisa dijadikan dalil/argumen. Misalnya, si X mengaku pada saat sakit berat pada sebagian ahli warisnya bahwa si X memiliki hutang pada si Y. Maka pengakuan si X tidak dapat diterima dan dibenarkan, kecuali disetujui oleh para ahli warisnya. Sebab si X mengaku seperti itu dimungkinkan ada motif untuk melebihkan bagian harta waris pada salah seorang ahli warisnya dalam hal ini si Y. Kecurigaan sangat jelas yaitu pengakuan si X pada saat sakit berat. Namun seandainya si X mengaku pada saat masih sahat maka pengakuan si X bisa diterima dan jelas tidak akan muncul kecurigaan.
Demikian penjelasan mengenai kaidah cabang yang terkait dengan kaidah di atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa cakupan kaidah yang terkait dengan teori keyakinan sangat luas. Dengan demikian, sangat memungkinkan masih banyak kaidah cabang yang penulis masih belum temukan.
C. KESIMPULAN
Terlepas dari penjelasan di atas, maka penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa cakupan kaidah tersebut sangat luas. Dimana cakupan tersebut meliputi masalah ibadah, muamalah, politik, hukum perdata dan pidana serta banyak yang lain. Oleh karena itu, dalam kontek bisnis syariah maka membahas dan mengkaji kaidah di atas sangat penting untuk kembangkan lebih mendalam dalam rangka menjawab persoalan-persoalan bisnis syariah yang akan muncul dan lebih komplek dikemudian hari. Dengan demikian, penulis dapat katakan bahwa kaidah di atas akan selalu relevan jika selalu dikembangkan terkait dengan perkembangan bisnis syariah dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mandzur, Muhammad bin Mukram bin, Lisanu al-Arab”, Bairut: Dar al-Fikr, 2000.
Quraish Shihab, M, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lintera Hati, 2002, jilid 6.
Al-Nisaburi, Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995, jilid 1.
al-Burnu, Muhammad shidqi, Al-Wajiz fi Idlah al-Qawaid, cet. 1, Beirut Libanon: Muassasah al-Risalah, 1983.
Al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Ash-Shonhaji, Syihabuddin, Al-Furuq aw Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Beirut: ‘Alim al-Kutub, t.t, juz 1.
Daqiq al-‘Id, Muhammad bin Ali bin wahab Al-qusyairi Daqiq al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, Kairo: al-Muniriyah, t.t, juz 1.
As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar, Usul As-Sarkhasi, Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1393 H, juz II.
Az-Zarqa, Musthafa Ahmad, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, Damaskus: Dar al-Qalam, t.t, juz II.
Haq, Abdul dan dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku Pertama, Surabaya: Khalista, 2006.
Nakha’i, Imam dan Maksum, Asra, Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam, Situbondo: Ibrahimy Pres, 2011.
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih;Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek), Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Tim Redaksi Sinar Grafika, Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama; UU RI No. 3 Th. 2006, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
[1] Revisi makalah yang presentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah Fiqh Legal Maxim di MSI-UII Yogyakarta pada hari Ahad tanggal 12 Februari 2012.
[2] Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, Buku Pertama, (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 139.
[3] Yang tercakup Bank Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berhargha Berjangka Menengah Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiunan Lembaga Keuangan Syariah dan Bisnis Syariah. (Lihat: Tim Redaksi Sinar Grafika, “Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama; UU RI No. 3 Th. 2006”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 18 dan 32), pasal 49 poin (i) dan penjelasannya).
[4] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Dalam Islam; Kajian Terhadap Masalah Perizinan (Toestemming) dan Cacat Kehendak (Wilsgerbrek)”, Laporan Penelitian Pada Balai Penelitian P3M Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 1996, hlm. 3.
[5] A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1590.
[6] Ibid., hlm. 91.
[7] Abdul Aziz Dahlan, dkk, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 1958.
[8] Ibid.
[9] Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, hlm. 144.
[10] Ibid, hlm. 146.
[11] Ibid, hlm. 139.
[12] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, (Situbondo: Ibrahimy Pres, 2011), hlm. 51.
[13] A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”, hlm. 735.
[14] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, hlm. 51.
[15] Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, hlm. 145.
[16] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, hlm. 51-52.
[17] Muhammad bin Mukram bin Mandzur, “Lisanu al-Arab”, (Bairut: Dar al-Fikr, 2000), hlm. 4943.
[18] Saeful Anwar, “Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi”, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 182.
[19] Ibid, hlm. 185.
[20] Ibid.
[21] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, hlm. 73.
[22] Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, hlm. 145.
[23] Ibid, hlm. 146.
[24] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”, (Jakarta: Lintera Hati, 2002), jilid 6, hlm. 74-75.
[25] Ibid.
[26] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, “Shahih Muslim”, (Beirut: Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), jilid 1, hlm. 276.
[27] Muhammad shidqi al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idlah al-Qawaid”, cet. 1, (Beirut Libanon: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 90.
[28] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Nisaburi, “Shahih Muslim”, jilid 1, hlm. 400.
[29]Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Ash-Shonhaji Al-Qarafi, Syihabuddin, “Al-Furuq aw Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq”, (Beirut: ‘Alim al-Kutub, t.t), juz 1, hlm. 111.
[30] Muhammad bin Ali bin wahab Al-qusyairi Daqiq Al-‘Id, “Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam”, (Kairo: al-Muniriyah, t.t), juz 1, hlm. 78.
[31] Muhammad bin Ahmad Abu Bakar As-Sarkhasi, “Usul As-Sarkhasi”, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1393 H), juz II, hlm. 116.
[32] Musthafa Ahmad Az-Zarqa, “Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am”, (Damaskus: Dar al-Qalam, t.t), juz II, hlm. 981.
[33] Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 228.
[34] A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih;Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, hlm. 49.
[35] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, hlm. 57.
[36] Abdul Haq dan dkk, “Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual”, hlm. 150-151.
[37] Ibid.
[38] Muhammad shidqi al-Burnu, “Al-Wajiz fi Idlah al-Qawaid”, hlm. 99-100.
[39] Imam Nakha’i dan Asra Maksum, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah; Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, hlm. 57-58.
[40] Ibid, hlm. 67.
[41] Ibid, hlm. 68.
[42] Ibid, hlm. 69.
[43] Ibid, hlm. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar